Kamis, 11 April 2013

KESIAPAN RUMAH SAKIT DALAM MANAJEMEN BENCANA DI INDONESIA


PENDAHULUAN
            Rumah sakit merupakan salah satu lembaga publik yang terlibat langsung dalam merespon suatu bencana yang terjadi dalam wilayah kerjanya. Hal inilah yang sering dilihat sebab perannya sering baru tampak oleh masyarakat ketika bencana itu terjadi. Padahal, baik atau buruknya respon rumah sakit terhadap bencana sangat tergantung dari serangkaian aktifitas yang sudah dilakukan jauh sebelumnya. Aktifitas-aktifitas persiapan bencana inilah yang sering kali menjadi persoalan di Indonesia karena sering kali tidak dilakukan karena berbagai alasan.
            Tulisan ini coba membahas tentang bagaimana idealnya sebuah rumah sakit memberikan respon terhadap bencana dengan terlebih dahulu memperkenalkan secara singkat konsep manajemen bencana untuk melihat ruang bagi peran rumah sakit di dalam manajemen tersebut. Selanjutnya akan dibahas pula tentang implementasi kesiapan rumah sakit di Indonesia dengan mengacu pada idealisme yang telah dibangun, untuk menemukan jawaban atas persoalan daya tanggap rumah sakit di Indonesia.

KONSEP MANAJEMEN BENCANA
            Manajemen bencana memiliki sejarah yang cukup panjang hingga adanya manajemen bencana moderen saat ini. Kisah tentang Nuh yang menyiapkan sebuah perahu besar untuk melindungi dirinya, keluarganya dan semua binatang yang dipilihnya berpasang-pasangan dari terjangan air bah yang melanda dunia, merupakan salah satu catatan awal bagaimana manusia mempersiapkan dirinya menghadapi bencana dan mempertahankan keberlanjutan kehidupannya. Salah satu bukti sejarah yang lain terjadi pada tahun 3200 SM yakni salah satu kelompok masyarakat di lembah sungai Tigris dan Efrat (Iraq saat ini) yang disebut dengan Asipu. Kelompok masyarakat ini merupakan pemberi pertimbangan terhadap keputusan-keputusan masyarakat yang berresiko tinggi dan berbahaya melalui suatu proses analisis masalah dan selanjutnya memberikan alternatif-alternatif pilihan serta resiko-resiko atas alternatif-alternatif tersebut. Covello dan Mumpower mencatat bahwa  kelompok yang disebut Asipu tersebut bertindak sebagai tipe baru peramal, bukan sebagai orang yang mengklaim untuk meramalkan masa depan, tetapi satu kelompok tempat berkonsultasi tentang resiko keputusan-keputusan yang tidak pasti atau sulit. Saat ini, metodologi ini disebut sebagai analisis keputusan yang merupakan kunci untuk setiap usaha manajemen risiko yang komprehensif.
            Damon P. Coppola (2007)  mengatakan bahwa tidak ada rumus global bagi negara-negara di dunia dalam mengembangkan kapasitas manajemen bencana mereka. Namun secara umum, manajemen bencana moderen yang komprehensif meliputi empat bagian utama yaitu mitigasi, kesiapsiagaan, respon dan pemulihan.  Alexander menggambarkan siklus manajemen bencana sebagaimana gambar di bawah ini.


Mitigasi didefinisikan oleh Coppola (2007) sebagai upaya yang berkelanjutan yang dilakukan untuk mengurangi risiko bahaya melalui pengurangan kemungkinan dan/atau komponen akibat dari risiko bahaya tersebut. Dapat dikatakan pula bahwa mitigasi berusaha sebaik mungkin membuat bahaya itu berkurang atau bahkan tidak terjadi sama sekali, atau apabila terjadi maka efek negatifnya dapat dikurangi. Tujuan adanya mitigasi yaitu memberikan pilihan alternatif kepada manejer kebencanaan dalam hal  resiko  pengurangan kemungkinan, risiko pengurangan konsekuensi, menghindari risiko, penerimaan risiko, dan pengalihan, pembagian atau  penyebaran risiko. Mitigasi memiliki dua tipe utama yaitu mitigasi stuktural dan mitigasi non struktural.  Mitigasi struktural merupakan upaya pengurangan risiko yang dilakukan melalui pembangunan atau mengubah fisik lingkungan hidup dengan penerapan solusi rekayasa. Sedangkan mitigasi non struktural  merupakan suatu ukuran yang ditetapkan untuk mengurangi risiko melalui modifikasi perilaku manusia atau proses alam tanpa memerlukan penggunaan struktur rekayasa. Beberapa model mitigasi struktural misalnya  konstruksi resisten, membangun kode dan langkah-langkah pengaturan, relokasi, modifikasi struktural,  pembangunan tempat penampungan masyarakat, konstruksi penghalang/pembelokan/sistem penyimpanan, sistem deteksi, modifikasi fisik, sistem pengobatan dan redundansi dalam infrastruktur keselamatan jiwa. Sementara itu mitigasi non struktural dapat berupa langkah-langkah pengaturan, kesadaran masyarakat dan program pendidikan, modifikasi fisik non struktural, kontrol lingkungan dan modifikasi perilaku.
Kesiapsiagaan bencana merupakan tindakan yang diambil sebelum bencana untuk memastikan respon yang memadai terhadap dampak yang ditimbulkannya dan pelegaan serta pemulihan dari konsekuensinya. Tujuannya adalah untuk mengetahui apa yang harus dilakukan dalam situasi pascabencana, mengetahui bagaimana harus melakukannya, yang dilengkapi dengan alat yang tepat untuk melakukannya secara lebih efektif. Dalam hal kesiapsiagaan terhadap bencana, kita bisa melakukan pemilahan kedalam dua kelompok besar yaitu kesiapsiagaan pemerintah dan kesiapsiagaan publik. Kesiapsiagaan pemerintah digolongkan lagi kedalam lima kategori umum  yakni perencanaan, latihan, pendidikan/pelatihan, peralatan dan kewenangan hukum. Perencanaan menjadi penting bagi pemerintah sebab pemerintah harus tahu dengan baik sebelumnya, tidak hanya apa yang mereka perlu lakukan tetapi juga bagaimana mereka akan melakukannya, peralatan apa yang mereka gunakan dan bagaimana orang lain dapat dan akan membantu mereka. Metodologi yang paling komprehensif yang dapat digunakan untuk membuat perencanaan kebencanaan adalah dengan membuat Emergency Operations Plan (EOP) bagi suatu negara. EOP merupakan dokumen yang menjelaskan secara rinci tentang orang-orang dan badan-badan yang akan terlibat dalam penanggulangan kejadian bahaya (termasuk bencana), tanggung jawab dan tindakan dari individu-individu dan lembaga, serta sampai di mana batasan tanggung jawab dan tindakan tersebut untuk setiap individu maupun lembaga. Secara sederhana, kesiapsiagaan masyarakat dapat dianggap sebagai tindakan yang diambil dalam memberdayakan masyarakat sipil untuk membantu diri mereka, keluarga mereka, tetangga mereka bahkan orang-orang lain di luar lingkungannya ketika menghadapi suatu bahaya tertentu. Strategi internasional yang dipakai oleh PBB untuk pemberdayaan masyarakat dalam menghadapi bencana adalah dengan menggunakan sistem pendidikan publik. M. Granger Morgan, dkk (Coppola, 2007:222) mendefinisikan pendidikan publik sebagai komunikasi yang dilakukan dengan maksud untuk memasok kepada orang awam sejumlah informasi yang mereka butuhkan untuk membuat mereka menjadi informan serta membuat mereka dapat melakukan penilaian independen tentang risiko kebencanaan terhadap kesehatan, keselamatan dan lingkungan.
Michael Beach (2010) mengatakan bahwa tanggap darurat adalah mobilisasi kekuatan yang dilakukan selama dan segera setelah sebuah peristiwa bencana terjadi untuk menyelamatkan nyawa, anggota tubuh dan harta benda. Hal ini merupakan respon baik yang dilakukan oleh personil terlatih maupun upaya yang dilakukan oleh masyarakat akar rumput maupun oleh korban sendiri yang mungkin dapat membantu diri mereka sendiri dan orang di sekitar mereka. Dengan kata lain, fungsi respon dari manajemen bencana mencakup tindakan-tindakan yang bertujuan untuk membatasi cedera, membatasi kehilangan nyawa dan kerusakan harta benda serta lingkungan, yang dilakukan sebelum, selama dan segera setelah terjadi bencana. Respon bencana sendiri sangat bertumpu pada komunikasi dan koordinasi. Orang juga harus mengerti tentang tahapan terjadinya keadaan darurat agar dapat memberikan respon yang tepat terhadap situasi bahaya yaitu tahap sebelum terjadinya bencana, tahap darurat ketika efek bahaya sedang berlangsung dan tahap darurat ketika efek bahaya telah berhenti. Dalam tahap sebelum terjadinya bencana, respon yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan peringatan dan evakuasi, pra-posisi sumber daya dan kelengkapan serta saat terakhir langkah-langkah mitigasi dan kesiapsiagaan. Dalam tahap darurat setelah bencana terjadi, hal pokok yang harus dilakukan adalah penyelamatan nyawa yang biasanya dilakukan oleh Tim Pencarian dan Penyelamatan (SAR). Selanjutnya prioritas lainnya adalah penilaian terhadap bencana, mengatasi efek bahaya yang tersisa, menyediakan air dan makanan, perlindungan, fatality manajemen, sanitasi, keamanan, layanan sosial, perbaikan infrastruktur yang penting untuk masa tanggap darurat dan sumbangan manajemen.
Bagian terakhir dari manajemen bencana moderen adalah pemulihan. Coppola menjelaskan bahwa pemulihan bencana merupakan fungsi manajemen darurat dimana negara,  masyarakat, keluarga dan individu melakukan perbaikan, rekonstruksi atau mendapatkan kembali apa yang telah hilang akibat bencana dan idealnya adalah mengurangi resiko bencana yang serupa di masa yang akan datang. Tindakan yang dapat dilakukan dalam masa ini bisa berupa komunikasi yang berkelanjutan dengan masyarakat, penyediaan perumahan untuk berlindung sementara atau jangka panjang, penilaian kerusakan dan kebutuhan, pembongkaran struktur yang rusak, pembersihan,pemindahan dan pembuangan puing-puing, rehabilitasi infrastruktur, pemeriksaan struktur yang rusak, perbaikan struktur yang rusak, konstruksi baru, program rehabilitasi sosial, penciptaan kesempatan kerja, penggantian kerugian properti, rehabilitasi yang terluka dan penilaian ulang resiko bahaya.
KESIAPAN RUMAH SAKIT DALAM MANAJEMEN BENCANA
            Rumah sakit memiliki fungsi kritis dalam manajemen bencana, demikian yang dikatakan Robert Powers (Pinkowski, 2008). Konferensi PBB tentang Pengurangan Bencana menegaskan bahwa rumah sakit wajib mengoperasikan beberapa fasilitas segera setelah bencana untuk membatasi dampak dari bencana hilangnya nyawa. Mereka memiliki fungsi kritis yang tidak dimiliki bisnis lain.  Artinya, jika mereka gagal untuk berfungsi selama bencana, mereka akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap dampak bencana di masyarakat.
Rumah sakit dalam kondisi normal saat ini sudah terkendala dengan kurangnya fasilitas dan sarana-prasarana. Oleh karena itu untuk dapat beroperasi secara baik pada saat bencana, pertama-tama yang harus dilakukan adalah  memberikan mitigasi, perencanaan dan kesiapan prioritas yang mereka butuhkan, baik menyangkut peralatan, keahlian staf pelaksana, dana untuk mengimbangi biaya selama penanganan bencana serta kewenangan yang diberikan kepada rumah sakit untuk melaksanakan implementasi program penanggulangan bencana. Perencanaan untuk lonjakan kapasitas juga penting dalam rangka mengantisipasi masuknya pasien ke rumah sakit baik segera setelah bencana atau dalam kasus bencana biologis, ketika mulai terjadi gejala pada korban.
Dalam konteks perencanaan penanganan bencana oleh rumah sakit,  Robert Powers menekankan perlunya fokus terhadap beberapa item untuk memastikan bahwa mereka benar siap  dalam kegiatan-kegiatan mitigasi seperti perlunya keberlanjutan rumah sakit tanpa bantuan dari luar selama 72 jam pasca-bencana; waktu standar yang diperkirakan untuk memperoleh bantuan dari luar. Upaya mitigasi Rumah Sakit dimulai dengan penilaian kerentanan bahaya. Hal ini memungkinkan rumah sakit untuk mendapatkan kesiapan dengan biaya yang rendah. Rumah sakit tidak perlu memiliki rencana yang berbeda untuk setiap jenis bencana, hanya perlu satu rencana yang diperlukan untuk prosedur penanganan semua jenis bahaya. Hal ini juga untuk menyederhanakan respon dimana setiap staf diajarkan hanya salah satu cara untuk tampil saat bencana dan tidak memiliki waktu untuk berhenti dan membuat penentuan mana cara untuk merespon. Dengan demikian, kebingungan berkurang dan ada penurunan risiko staf melakukan prosedur yang salah pada kondisi bencana tersebut.
Rumah sakit memiliki dua cara dalam merespon bencana, yaitu secara struktural maupun non-struktural. Mitigasi struktural di rumah sakit direncanakan untuk meningkatkan kesinambungan struktur yang ada melalui langkah-langkah seperti perencanaan bangunan rumah sakit tahan gempa untuk membatasi kerusakan pada fasilitas saat gempa bumi atau merancang sebuah pintu masuk gawat darurat yang memiliki kemampuan untuk dengan mudah diperluas dan menangani masuknya sebagian besar pasien yang tiba dengan kendaraan pribadi saat bencana. Sementara itu mitigasi non struktural oleh rumah sakit dapat dilakukan dengan pengaturan-pengaturan peran setiap orang yang terlibat dalam pelayanan kesehatan saat bencana. Mitigasi non struktural juga dapat berupa apa yang disebut jalur hidup. Sistem yang disebut sebagai jalur hidup ini penting dalam menjaga keberlanjutan fasilitas. Lifelines menjaga hubungan yang diperlukan dari rumah sakit ke luar berbagai entitas atau pemasok bahan. Ini termasuk komunikasi, utilitas, dan transportasi. Komunikasi bisa datang dari management darurat lokal, pelayanan medis darurat, atau departemen kesehatan dan diperlukan untuk menjaga agar para pejabat rumah sakit tahu tentang situasi saat ini. Komunikasi juga diperlukan untuk mengisi sumber daya yang minim dan mendiskusikan pilihan regional dengan rumah sakit lainnya. Utilitas, seperti listrik dan air, harus direncanakan dan dikelola dengan baik.
Latihan sendiri bagi rumah sakit merupakan strategi lain kesiapan bencana yang penting. Latihan dapat dilakukan bervariasi mulai dari berbasis kertas atau meja untuk simulasi maupun skala penuh dengan pasien yang sebenarnya. Perencanaan untuk latihan sering tidak dilakukan sebab staf apatis berpartisipasi. Latihan juga  sering gagal mensimulasikan kondisi nyata.  Latihan yang dijalankan dengan benar, adalah strategi penting untuk pengukuran dan meningkatkan kesiapan rumah sakit. Evaluator harus berasal dari instansi luar, sehingga ada kebebasan untuk proses dan prosedur kritik. Evaluasi harus memberikan informasi yang relevan yang memandu rumah sakit dalam perubahan apa yang perlu terjadi pada kesiapsiagaan dan respon untuk benar-benar efisien dalam kondisi yang nyata.
Koordinator utama bencana juga harus bekerja untuk mendaftar dan mendidik pelaku kunci dari seluruh rumah sakit. Para pelaku kunci adalah pemimpin administrasi seperti bagian gawat darurat, radiologi, pengendalian infeksi, laboratorium dan teknik untuk memperoleh kesiapan seluruh rumah sakit. Komite keamanan rumah sakit atau manajemen komite khusus darurat  adalah wadah untuk membawa semua pelaku bersama-sama dan memastikan bahwa mereka berbagi visi bersama untuk benar-benar siap menanggapi peristiwa bencana.
Rumah sakit tidak akan berfungsi sendirian pada saat bencana sehingga administrator rumah sakit juga harus melihat melampaui rumah sakit. Interaksi antar komunitas adalah penting karena rumah sakit harus tahu dan membantu membimbing masyarakat untuk memberikan respon terhadap bencana sehingga operasi rumah sakit berjalan sesuai dengan rencana sebab untuk respon optimal dan keberlanjutan rumah sakit selama bencana secara langsung tergantung pada sumber daya dan dukungan yang diterimanya dari lembaga masyarakat lainnya. Sebuah komponen kunci dari interaksi masyarakat adalah respon regional. Rumah Sakit menggunakan rencana saling membantu dan respon regional berencana untuk saling mendukung. Rumah sakit di luar daerah dampak bencana berpotensi bisa mengirim dukungan personel dan peralatan dalam beberapa jam ke rumah sakit.
Sten Lennquist (2012) secara lebih rinci mengemukakan berbagai hal yang berkaitan dengan respon rumah sakit terhadap bencana, di antaranya adalah kebutuhan akan perencanaan, proses dan level alert, koordinasi dan komando, kartu tindakan, persiapan rumah sakit, penerimaan korban, pengobatan lanjutan untuk pasien yang terluka, registrasi pasien, pusat informasi rumah sakit, manajemen media, suplai, fungsi-fungsi teknis, komunikasi, dukungan psikologis dari lingkungan sosial, kejadian-kejadian terutama yang melibatkan rumah sakit, jenis kejadian yang spesial dan tahap pemulihan. Rincian dimaksud dapat dipakai sebagai acuan untuk menilai seberapa besar tingkat kesiapan rumah sakit dalam menghadapi bencana.
IMPLEMENTASI KESIAPAN RUMAH SAKIT DI INDONESIA
            Harus diakui bahwa kesiapan rumah sakit di Indonesia dalam menghadapi bencana masih jauh dari ideal. Bahkan bisa dikatakan bahwa rumah sakit- rumah sakit kita belum siap  untuk menghadapi bencana yang mungkin terjadi. Padahal kita sendiri tahu bahwa wilayah Indonesia yang begitu luas sangat rentan terhadap resiko terjadinya bencana. Apa lagi dengan posisi geografis kita yang ada sekarang, resiko bencanapun menjadi sangat beragam.
            Pernyataan di atas dapat dibuktikan kebenarannya dengan melihat konstruksi bangunan rumah sakit yang kita miliki di Indonesia. Semestinya sebagai negara yang berada di antara dua lempeng benua dengan konsekwensi rawan terhadap gempa tektonik; ditambah lagi wilayah kita juga terdiri dari gugusan gunung berapi yang juga rawan terhadap gempa vulkanik, konstruksi bangunan rumah sakit harus didesain untuk tahan terhadap gempa bumi sebab dalam kondisi semacam itu, rumah sakit harus tetap siap menampung para korban bencana. Yang terjadi adalah bahwa dalam desain konstruksi rumah sakit kita, aspek kesiapan terhadap bencana diabaikan, bahkan tidak masuk dalam pertimbangan kebijakan. Ada banyak faktor yang mengakibatkan pengabaian terhadap pertimbangan kebencanaan dalam perencanaan konstruksi rumah sakit kita, misalnya karena alasan biaya, alasan politis, alasan bisnis dan sebagainya.
            Selain konstruksi, hal lain yang sering dikeluhkan adalah persoalan daya tampung. Rumah sakit belum siap menerima lonjakan pasien akibat bencana sehingga banyak korban yang tidak dapat ditangani dengan semestinya, bahkan mengakibatkan hilangnya nyawa. Dalam kondisi normal saja sering terjadi penolakan terhadap pasien karena alasan daya tampung yang minim, bagaimana nanti jika terjadi lonjakan drastis sebagai akibat suatu bencana?  Hal ini harusnya dapat diatasi melalui sistem komunikasi yang baik, namun dalam hal komunikasipun, kita belum memiliki standar sistem komunikasi rumah sakit yang baku yang dapat diberlakukan secara umum untuk semua rumah sakit baik dalam keadaan normal maupun dalam kondisi khusus ketika terjadi bencana.
            Respon non-struktural lain yang bisa diperdebatkan di sini yaitu dalam hal komando dan koordinasi di dalam rumah sakit dalam penanganan bencana. Hal ini memiliki kaitan erat dengan sistem dan alat komunikasi internal yang sangat minim dan tidak didesain khusus untuk kondisi bencana sehingga ketika bencana terjadi, sistem dan peralatan komunikasi tersebut masih tetap berfungsi. Koordinasi juga berkaitan dengan pembagaian peran masing-masing komponen dalam rumah sakit serta latihan-latihan bagi setiap orang yang berperan di dalamnya. Hal-hal semacam ini jarang dilakukan di rumah sakit kita.
            Melihat berbagai masukan tentang bagaimana seharusnya rumah sakit merespon bencana sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, satu kesimpulan pokok yang dapat dipelajari yaitu bahwa desain perencanaan penanggulangan bencana oleh rumah sakit merupakan kunci pokok dari kesiapan rumah sakit dalam menghadapi situasi bencana mulai dari mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan pascabencana. Desain perencanaan itu juga menghendaki adanya kerja sama yang baik dengan berbagai pihak yang terlibat di dalamnya, entah itu pihak internal maupun pihak eksternal rumah sakit. Desain perencanaan serta kerja sama ini juga yang masih minim dilakukan rumah sakit kita. Ego sektoral kita masih sangat tinggi, padahal penanganan terhadap bencana menghendaki kerja sama sebagai suatu sistem.          
KESIMPULAN
            Merujuk pada pembahasan kita tentang isu kesiapan rumah sakit dalam merespon bencana, kita dapat menarik beberapa kesimpulan pokok di bawah ini :
1.      Secara umum, manajemen bencana moderen mencakup empat aspek pokok yaitu aspek mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan pascabencana.
2.      Rumah sakit memiliki peran kritis dalam merespon kondisi bencana.
3.      Peran kritis tersebut di atas dapat dilakukan melalui suatu desain perencanaan yang lengkap serta proses implementasinya melibatkan banyak pihak dalam satu sistem kerja sama yang kompleks.
4.      Dalam konteks Indonesia, rumah sakit kita belum siap untuk merespon positip kondisi bencana.
Dengan demikian maka beberapa hal yang dapat direkomendasikan di sini adalah:
1.      Perlu dibuat suatu desain perencanaan yang lengkap sebagai dasar pijak pelaksanaan manajemen bencana di Indonesia yang spesifik dengan kondisi geografis dan kondisi psikis masyarakat kita. Perencanaan ini harus pula didukung oleh perangkat peraturan perundang-undangan yang saling mendukung antara setiap sektor, misalnya peraturan dan standarisasi umum manajemen bencana di rumah sakit yang diberlakukan secara menyeluruh untuk semua rumah sakit.
2.      Mengubah orientasi anggaran belanja yang biasanya boros pada tahap tanggap darurat dan pemulihan kepada orientasi mitigasi untuk memberi manfaat lebih kepada usaha menghindari korban, termasuk anggaran biaya untuk mitigasi yang dikelola oleh rumah sakit.
3.      Dibutuhkan komitmen yang kuat dari seorang pemimpin agar dapat dapat mengendalikan manajemen bencana di Indonesia sesuai dengan kondisi lokal kita.

  




DAFTAR PUSTAKA

Pinkowski, Jack (Edt.); 2008. Disaster Management Handbook, CRC Press. Boca Raton, Florida, USA.
Coppola, Damon P.;2007.  Introduction to International Disaster Management, Elsevier Inc. USA.
Beach, Michael; 2010. Disaster Preparedness and Management, F. A. Davis Company, Philadelphia, USA.
Lennquist, Sten (Edt.);2012. Medical Response to Major Incidents and Disasters, (A Practical Guide for All Medical Staf) , Springer, Verlag Berlin Heidelberg.

6 komentar:

  1. artikel di atas ada dalam bentuk jurnal ga ya mas/mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf mas Fahrul Rozi, tulisan ini belum dijurnalkan, namun referensi bukunya bisa diakses. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini.

      Hapus
    2. Bila berkenan mohon ebook referensi bisa dikirimkan via email nsuparni@yahoo.com, saya coba akses tapi belum berhasil, terima kasih

      Hapus
    3. Baik Bu Suparni, saya emailkan.

      Hapus
  2. sangat bermanfaat, tapi saya coba akses ga bisa, bila berkenan bolehkah ebook referensinya dikirimkan ke tammyutamidewi@gmail.com?
    terima kasih yaa

    BalasHapus
  3. silahkan dilihat http://www.indoproject.co.id/2017/10/18/hospital-disaster-management-training-hdmt/

    BalasHapus