PENDAHULUAN
Rumah sakit merupakan
salah satu lembaga publik yang terlibat langsung dalam merespon suatu bencana
yang terjadi dalam wilayah kerjanya. Hal inilah yang sering dilihat sebab
perannya sering baru tampak oleh masyarakat ketika bencana itu terjadi.
Padahal, baik atau buruknya respon rumah sakit terhadap bencana sangat
tergantung dari serangkaian aktifitas yang sudah dilakukan jauh sebelumnya.
Aktifitas-aktifitas persiapan bencana inilah yang sering kali menjadi persoalan
di Indonesia karena sering kali tidak dilakukan karena berbagai alasan.
Tulisan ini coba membahas tentang
bagaimana idealnya sebuah rumah sakit memberikan respon terhadap bencana dengan
terlebih dahulu memperkenalkan secara singkat konsep manajemen bencana untuk
melihat ruang bagi peran rumah sakit di dalam manajemen tersebut. Selanjutnya
akan dibahas pula tentang implementasi kesiapan rumah sakit di Indonesia dengan
mengacu pada idealisme yang telah dibangun, untuk menemukan jawaban atas
persoalan daya tanggap rumah sakit di Indonesia.
KONSEP
MANAJEMEN BENCANA
Manajemen bencana memiliki sejarah
yang cukup panjang hingga adanya manajemen bencana moderen saat ini. Kisah
tentang Nuh yang menyiapkan sebuah perahu besar untuk melindungi dirinya,
keluarganya dan semua binatang yang dipilihnya berpasang-pasangan dari terjangan
air bah yang melanda dunia, merupakan salah satu catatan awal bagaimana manusia
mempersiapkan dirinya menghadapi bencana dan mempertahankan keberlanjutan
kehidupannya. Salah satu bukti sejarah yang lain terjadi pada tahun 3200 SM
yakni salah satu kelompok masyarakat di lembah sungai Tigris dan Efrat (Iraq
saat ini) yang disebut dengan Asipu. Kelompok masyarakat ini merupakan pemberi
pertimbangan terhadap keputusan-keputusan masyarakat yang berresiko tinggi dan
berbahaya melalui suatu proses analisis masalah dan selanjutnya memberikan
alternatif-alternatif pilihan serta resiko-resiko atas alternatif-alternatif
tersebut. Covello dan Mumpower mencatat bahwa kelompok yang disebut Asipu tersebut bertindak
sebagai tipe baru peramal, bukan sebagai orang yang mengklaim untuk meramalkan
masa depan, tetapi satu kelompok tempat berkonsultasi tentang resiko keputusan-keputusan
yang tidak pasti atau sulit. Saat ini, metodologi ini disebut sebagai analisis
keputusan yang merupakan kunci untuk setiap usaha manajemen risiko yang
komprehensif.
Damon P. Coppola (2007) mengatakan bahwa tidak ada rumus global bagi negara-negara
di dunia dalam mengembangkan kapasitas manajemen bencana mereka. Namun secara
umum, manajemen bencana moderen yang komprehensif meliputi empat bagian utama
yaitu mitigasi, kesiapsiagaan, respon dan pemulihan. Alexander menggambarkan siklus manajemen
bencana sebagaimana gambar di bawah ini.
Mitigasi didefinisikan oleh Coppola
(2007) sebagai upaya yang berkelanjutan yang dilakukan untuk mengurangi risiko
bahaya melalui pengurangan kemungkinan dan/atau komponen akibat dari risiko
bahaya tersebut. Dapat dikatakan pula bahwa mitigasi berusaha sebaik mungkin
membuat bahaya itu berkurang atau bahkan tidak terjadi sama sekali, atau
apabila terjadi maka efek negatifnya dapat dikurangi. Tujuan adanya mitigasi
yaitu memberikan pilihan alternatif kepada manejer kebencanaan dalam hal resiko pengurangan kemungkinan, risiko pengurangan
konsekuensi, menghindari risiko, penerimaan risiko, dan pengalihan, pembagian atau
penyebaran risiko. Mitigasi memiliki dua
tipe utama yaitu mitigasi stuktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural merupakan upaya
pengurangan risiko yang dilakukan melalui pembangunan atau mengubah fisik
lingkungan hidup dengan penerapan solusi rekayasa. Sedangkan mitigasi non
struktural merupakan suatu ukuran yang
ditetapkan untuk mengurangi risiko melalui modifikasi perilaku manusia atau
proses alam tanpa memerlukan penggunaan struktur rekayasa. Beberapa model
mitigasi struktural misalnya konstruksi resisten,
membangun kode dan langkah-langkah pengaturan, relokasi, modifikasi struktural, pembangunan tempat penampungan masyarakat, konstruksi
penghalang/pembelokan/sistem penyimpanan, sistem deteksi, modifikasi fisik, sistem
pengobatan dan redundansi dalam infrastruktur keselamatan jiwa. Sementara itu
mitigasi non struktural dapat berupa langkah-langkah pengaturan, kesadaran
masyarakat dan program pendidikan, modifikasi fisik non struktural, kontrol
lingkungan dan modifikasi perilaku.
Kesiapsiagaan bencana merupakan tindakan
yang diambil sebelum bencana untuk memastikan respon yang memadai terhadap
dampak yang ditimbulkannya dan pelegaan serta pemulihan dari konsekuensinya. Tujuannya
adalah untuk mengetahui apa yang harus dilakukan dalam situasi pascabencana,
mengetahui bagaimana harus melakukannya, yang dilengkapi dengan alat yang tepat
untuk melakukannya secara lebih efektif. Dalam hal kesiapsiagaan terhadap
bencana, kita bisa melakukan pemilahan kedalam dua kelompok besar yaitu
kesiapsiagaan pemerintah dan kesiapsiagaan publik. Kesiapsiagaan pemerintah
digolongkan lagi kedalam lima kategori umum
yakni perencanaan, latihan, pendidikan/pelatihan, peralatan dan
kewenangan hukum. Perencanaan menjadi penting bagi pemerintah sebab pemerintah
harus tahu dengan baik sebelumnya, tidak hanya apa yang mereka perlu lakukan
tetapi juga bagaimana mereka akan melakukannya, peralatan apa yang mereka
gunakan dan bagaimana orang lain dapat dan akan membantu mereka. Metodologi
yang paling komprehensif yang dapat digunakan untuk membuat perencanaan
kebencanaan adalah dengan membuat Emergency
Operations Plan (EOP) bagi suatu negara. EOP merupakan dokumen yang menjelaskan
secara rinci tentang orang-orang dan badan-badan yang akan terlibat dalam
penanggulangan kejadian bahaya (termasuk bencana), tanggung jawab dan tindakan dari
individu-individu dan lembaga, serta sampai di mana batasan tanggung jawab dan
tindakan tersebut untuk setiap individu maupun lembaga. Secara sederhana,
kesiapsiagaan masyarakat dapat dianggap sebagai tindakan yang diambil dalam
memberdayakan masyarakat sipil untuk membantu diri mereka, keluarga mereka,
tetangga mereka bahkan orang-orang lain di luar lingkungannya ketika menghadapi
suatu bahaya tertentu. Strategi internasional yang dipakai oleh PBB untuk pemberdayaan
masyarakat dalam menghadapi bencana adalah dengan menggunakan sistem pendidikan
publik. M. Granger Morgan, dkk (Coppola, 2007:222) mendefinisikan pendidikan
publik sebagai komunikasi yang dilakukan dengan maksud untuk memasok kepada
orang awam sejumlah informasi yang mereka butuhkan untuk membuat mereka menjadi
informan serta membuat mereka dapat melakukan penilaian independen tentang
risiko kebencanaan terhadap kesehatan, keselamatan dan lingkungan.
Michael Beach (2010) mengatakan bahwa
tanggap darurat adalah mobilisasi kekuatan yang dilakukan selama dan segera
setelah sebuah peristiwa bencana terjadi untuk menyelamatkan nyawa, anggota
tubuh dan harta benda. Hal ini merupakan respon baik yang dilakukan oleh
personil terlatih maupun upaya yang dilakukan oleh masyarakat akar rumput maupun
oleh korban sendiri yang mungkin dapat membantu diri mereka sendiri dan orang
di sekitar mereka. Dengan kata lain, fungsi respon dari manajemen bencana mencakup
tindakan-tindakan yang bertujuan untuk membatasi cedera, membatasi kehilangan
nyawa dan kerusakan harta benda serta lingkungan, yang dilakukan sebelum,
selama dan segera setelah terjadi bencana. Respon bencana sendiri sangat
bertumpu pada komunikasi dan koordinasi. Orang juga harus mengerti tentang
tahapan terjadinya keadaan darurat agar dapat memberikan respon yang tepat
terhadap situasi bahaya yaitu tahap sebelum terjadinya bencana, tahap darurat
ketika efek bahaya sedang berlangsung dan tahap darurat ketika efek bahaya
telah berhenti. Dalam tahap sebelum terjadinya bencana, respon yang dapat
dilakukan adalah dengan memberikan peringatan dan evakuasi, pra-posisi sumber
daya dan kelengkapan serta saat terakhir langkah-langkah mitigasi dan
kesiapsiagaan. Dalam tahap darurat setelah bencana terjadi, hal pokok yang harus
dilakukan adalah penyelamatan nyawa yang biasanya dilakukan oleh Tim Pencarian
dan Penyelamatan (SAR). Selanjutnya prioritas lainnya adalah penilaian terhadap
bencana, mengatasi efek bahaya yang tersisa, menyediakan air dan makanan,
perlindungan, fatality manajemen, sanitasi, keamanan, layanan sosial, perbaikan
infrastruktur yang penting untuk masa tanggap darurat dan sumbangan manajemen.
Bagian terakhir dari manajemen bencana
moderen adalah pemulihan. Coppola menjelaskan bahwa pemulihan bencana merupakan
fungsi manajemen darurat dimana negara,
masyarakat, keluarga dan individu melakukan perbaikan, rekonstruksi atau
mendapatkan kembali apa yang telah hilang akibat bencana dan idealnya adalah mengurangi
resiko bencana yang serupa di masa yang akan datang. Tindakan yang dapat
dilakukan dalam masa ini bisa berupa komunikasi yang berkelanjutan dengan
masyarakat, penyediaan perumahan untuk berlindung sementara atau jangka
panjang, penilaian kerusakan dan kebutuhan, pembongkaran struktur yang rusak,
pembersihan,pemindahan dan pembuangan puing-puing, rehabilitasi infrastruktur,
pemeriksaan struktur yang rusak, perbaikan struktur yang rusak, konstruksi
baru, program rehabilitasi sosial, penciptaan kesempatan kerja, penggantian
kerugian properti, rehabilitasi yang terluka dan penilaian ulang resiko bahaya.
KESIAPAN RUMAH SAKIT DALAM
MANAJEMEN BENCANA
Rumah
sakit memiliki fungsi kritis dalam manajemen bencana, demikian yang dikatakan
Robert Powers (Pinkowski, 2008). Konferensi PBB tentang Pengurangan Bencana
menegaskan bahwa rumah sakit wajib mengoperasikan beberapa fasilitas segera
setelah bencana untuk membatasi dampak dari bencana hilangnya nyawa. Mereka
memiliki fungsi kritis yang tidak dimiliki bisnis lain. Artinya, jika mereka gagal untuk berfungsi
selama bencana, mereka akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
dampak bencana di masyarakat.
Rumah sakit dalam
kondisi normal saat ini sudah terkendala dengan kurangnya fasilitas dan
sarana-prasarana. Oleh karena itu untuk dapat beroperasi secara baik pada saat
bencana, pertama-tama yang harus dilakukan adalah memberikan mitigasi, perencanaan dan kesiapan
prioritas yang mereka butuhkan, baik menyangkut peralatan, keahlian staf
pelaksana, dana untuk mengimbangi biaya selama penanganan bencana serta
kewenangan yang diberikan kepada rumah sakit untuk melaksanakan implementasi
program penanggulangan bencana. Perencanaan untuk lonjakan kapasitas juga penting
dalam rangka mengantisipasi masuknya pasien ke rumah sakit baik segera setelah
bencana atau dalam kasus bencana biologis, ketika mulai terjadi gejala pada
korban.
Dalam konteks
perencanaan penanganan bencana oleh rumah sakit, Robert Powers menekankan perlunya fokus terhadap
beberapa item untuk memastikan bahwa mereka benar siap dalam kegiatan-kegiatan mitigasi seperti
perlunya keberlanjutan rumah sakit tanpa bantuan dari luar selama 72 jam pasca-bencana;
waktu standar yang diperkirakan untuk memperoleh bantuan dari luar. Upaya
mitigasi Rumah Sakit dimulai dengan penilaian kerentanan bahaya. Hal ini
memungkinkan rumah sakit untuk mendapatkan kesiapan dengan biaya yang rendah. Rumah
sakit tidak perlu memiliki rencana yang berbeda untuk setiap jenis bencana,
hanya perlu satu rencana yang diperlukan untuk prosedur penanganan semua jenis bahaya.
Hal ini juga untuk menyederhanakan respon dimana setiap staf diajarkan hanya
salah satu cara untuk tampil saat bencana dan tidak memiliki waktu untuk
berhenti dan membuat penentuan mana cara untuk merespon. Dengan demikian,
kebingungan berkurang dan ada penurunan risiko staf melakukan prosedur yang
salah pada kondisi bencana tersebut.
Rumah sakit memiliki dua
cara dalam merespon bencana, yaitu secara struktural maupun non-struktural.
Mitigasi struktural di rumah sakit direncanakan untuk meningkatkan
kesinambungan struktur yang ada melalui langkah-langkah seperti perencanaan
bangunan rumah sakit tahan gempa untuk membatasi kerusakan pada fasilitas saat gempa
bumi atau merancang sebuah pintu masuk gawat darurat yang memiliki kemampuan
untuk dengan mudah diperluas dan menangani masuknya sebagian besar pasien yang tiba
dengan kendaraan pribadi saat bencana. Sementara itu mitigasi non struktural
oleh rumah sakit dapat dilakukan dengan pengaturan-pengaturan peran setiap
orang yang terlibat dalam pelayanan kesehatan saat bencana. Mitigasi non
struktural juga dapat berupa apa yang disebut jalur hidup. Sistem yang disebut
sebagai jalur hidup ini penting dalam menjaga keberlanjutan fasilitas.
Lifelines menjaga hubungan yang diperlukan dari rumah sakit ke luar berbagai entitas
atau pemasok bahan. Ini termasuk komunikasi, utilitas, dan transportasi.
Komunikasi bisa datang dari management darurat lokal, pelayanan medis darurat,
atau departemen kesehatan dan diperlukan untuk menjaga agar para pejabat rumah
sakit tahu tentang situasi saat ini. Komunikasi juga diperlukan untuk mengisi sumber
daya yang minim dan mendiskusikan pilihan regional dengan rumah sakit lainnya.
Utilitas, seperti listrik dan air, harus direncanakan dan dikelola dengan baik.
Latihan sendiri bagi
rumah sakit merupakan strategi lain kesiapan bencana yang penting. Latihan dapat
dilakukan bervariasi mulai dari berbasis kertas atau meja untuk simulasi maupun
skala penuh dengan pasien yang sebenarnya. Perencanaan untuk latihan sering
tidak dilakukan sebab staf apatis berpartisipasi. Latihan juga sering gagal mensimulasikan kondisi nyata. Latihan yang dijalankan dengan benar, adalah
strategi penting untuk pengukuran dan meningkatkan kesiapan rumah sakit.
Evaluator harus berasal dari instansi luar, sehingga ada kebebasan untuk proses
dan prosedur kritik. Evaluasi harus memberikan informasi yang relevan yang
memandu rumah sakit dalam perubahan apa yang perlu terjadi pada kesiapsiagaan
dan respon untuk benar-benar efisien dalam kondisi yang nyata.
Koordinator utama
bencana juga harus bekerja untuk mendaftar dan mendidik pelaku kunci dari seluruh
rumah sakit. Para pelaku kunci adalah pemimpin administrasi seperti bagian
gawat darurat, radiologi, pengendalian infeksi, laboratorium dan teknik untuk
memperoleh kesiapan seluruh rumah sakit. Komite keamanan rumah sakit atau manajemen
komite khusus darurat adalah wadah untuk
membawa semua pelaku bersama-sama dan memastikan bahwa mereka berbagi visi
bersama untuk benar-benar siap menanggapi peristiwa bencana.
Rumah sakit tidak akan
berfungsi sendirian pada saat bencana sehingga administrator rumah sakit juga harus
melihat melampaui rumah sakit. Interaksi antar komunitas adalah penting karena
rumah sakit harus tahu dan membantu membimbing masyarakat untuk memberikan respon
terhadap bencana sehingga operasi rumah sakit berjalan sesuai dengan rencana sebab
untuk respon optimal dan keberlanjutan rumah sakit selama bencana secara
langsung tergantung pada sumber daya dan dukungan yang diterimanya dari lembaga
masyarakat lainnya. Sebuah komponen kunci dari interaksi masyarakat adalah
respon regional. Rumah Sakit menggunakan rencana saling membantu dan respon
regional berencana untuk saling mendukung. Rumah sakit di luar daerah dampak
bencana berpotensi bisa mengirim dukungan personel dan peralatan dalam beberapa
jam ke rumah sakit.
Sten Lennquist (2012) secara lebih rinci
mengemukakan berbagai hal yang berkaitan dengan respon rumah sakit terhadap
bencana, di antaranya adalah kebutuhan akan perencanaan, proses dan level alert,
koordinasi dan komando, kartu tindakan, persiapan rumah sakit, penerimaan
korban, pengobatan lanjutan untuk pasien yang terluka, registrasi pasien, pusat
informasi rumah sakit, manajemen media, suplai, fungsi-fungsi teknis,
komunikasi, dukungan psikologis dari lingkungan sosial, kejadian-kejadian
terutama yang melibatkan rumah sakit, jenis kejadian yang spesial dan tahap
pemulihan. Rincian dimaksud dapat dipakai sebagai acuan untuk menilai seberapa
besar tingkat kesiapan rumah sakit dalam menghadapi bencana.
IMPLEMENTASI KESIAPAN
RUMAH SAKIT DI INDONESIA
Harus diakui
bahwa kesiapan rumah sakit di Indonesia dalam menghadapi bencana masih jauh
dari ideal. Bahkan bisa dikatakan bahwa rumah sakit- rumah sakit kita belum
siap untuk menghadapi bencana yang
mungkin terjadi. Padahal kita sendiri tahu bahwa wilayah Indonesia yang begitu
luas sangat rentan terhadap resiko terjadinya bencana. Apa lagi dengan posisi
geografis kita yang ada sekarang, resiko bencanapun menjadi sangat beragam.
Pernyataan
di atas dapat dibuktikan kebenarannya dengan melihat konstruksi bangunan rumah
sakit yang kita miliki di Indonesia. Semestinya sebagai negara yang berada di
antara dua lempeng benua dengan konsekwensi rawan terhadap gempa tektonik;
ditambah lagi wilayah kita juga terdiri dari gugusan gunung berapi yang juga
rawan terhadap gempa vulkanik, konstruksi bangunan rumah sakit harus didesain
untuk tahan terhadap gempa bumi sebab dalam kondisi semacam itu, rumah sakit
harus tetap siap menampung para korban bencana. Yang terjadi adalah bahwa dalam
desain konstruksi rumah sakit kita, aspek kesiapan terhadap bencana diabaikan,
bahkan tidak masuk dalam pertimbangan kebijakan. Ada banyak faktor yang
mengakibatkan pengabaian terhadap pertimbangan kebencanaan dalam perencanaan
konstruksi rumah sakit kita, misalnya karena alasan biaya, alasan politis,
alasan bisnis dan sebagainya.
Selain
konstruksi, hal lain yang sering dikeluhkan adalah persoalan daya tampung.
Rumah sakit belum siap menerima lonjakan pasien akibat bencana sehingga banyak
korban yang tidak dapat ditangani dengan semestinya, bahkan mengakibatkan
hilangnya nyawa. Dalam kondisi normal saja sering terjadi penolakan terhadap
pasien karena alasan daya tampung yang minim, bagaimana nanti jika terjadi
lonjakan drastis sebagai akibat suatu bencana?
Hal ini harusnya dapat diatasi melalui sistem komunikasi yang baik,
namun dalam hal komunikasipun, kita belum memiliki standar sistem komunikasi
rumah sakit yang baku yang dapat diberlakukan secara umum untuk semua rumah
sakit baik dalam keadaan normal maupun dalam kondisi khusus ketika terjadi
bencana.
Respon
non-struktural lain yang bisa diperdebatkan di sini yaitu dalam hal komando dan
koordinasi di dalam rumah sakit dalam penanganan bencana. Hal ini memiliki
kaitan erat dengan sistem dan alat komunikasi internal yang sangat minim dan
tidak didesain khusus untuk kondisi bencana sehingga ketika bencana terjadi,
sistem dan peralatan komunikasi tersebut masih tetap berfungsi. Koordinasi juga
berkaitan dengan pembagaian peran masing-masing komponen dalam rumah sakit
serta latihan-latihan bagi setiap orang yang berperan di dalamnya. Hal-hal
semacam ini jarang dilakukan di rumah sakit kita.
Melihat berbagai masukan tentang
bagaimana seharusnya rumah sakit merespon bencana sebagaimana dijelaskan pada
bagian terdahulu, satu kesimpulan pokok yang dapat dipelajari yaitu bahwa
desain perencanaan penanggulangan bencana oleh rumah sakit merupakan kunci
pokok dari kesiapan rumah sakit dalam menghadapi situasi bencana mulai dari
mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan pascabencana. Desain
perencanaan itu juga menghendaki adanya kerja sama yang baik dengan berbagai
pihak yang terlibat di dalamnya, entah itu pihak internal maupun pihak
eksternal rumah sakit. Desain perencanaan serta kerja sama ini juga yang masih
minim dilakukan rumah sakit kita. Ego sektoral kita masih sangat tinggi,
padahal penanganan terhadap bencana menghendaki kerja sama sebagai suatu
sistem.
KESIMPULAN
Merujuk pada pembahasan
kita tentang isu kesiapan rumah sakit dalam merespon bencana, kita dapat
menarik beberapa kesimpulan pokok di bawah ini :
1. Secara
umum, manajemen bencana moderen mencakup empat aspek pokok yaitu aspek
mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan pascabencana.
2. Rumah
sakit memiliki peran kritis dalam merespon kondisi bencana.
3. Peran
kritis tersebut di atas dapat dilakukan melalui suatu desain perencanaan yang
lengkap serta proses implementasinya melibatkan banyak pihak dalam satu sistem
kerja sama yang kompleks.
4. Dalam
konteks Indonesia, rumah sakit kita belum siap untuk merespon positip kondisi
bencana.
Dengan
demikian maka beberapa hal yang dapat direkomendasikan di sini adalah:
1. Perlu
dibuat suatu desain perencanaan yang lengkap sebagai dasar pijak pelaksanaan
manajemen bencana di Indonesia yang spesifik dengan kondisi geografis dan
kondisi psikis masyarakat kita. Perencanaan ini harus pula didukung oleh
perangkat peraturan perundang-undangan yang saling mendukung antara setiap
sektor, misalnya peraturan dan standarisasi umum manajemen bencana di rumah
sakit yang diberlakukan secara menyeluruh untuk semua rumah sakit.
2. Mengubah
orientasi anggaran belanja yang biasanya boros pada tahap tanggap darurat dan
pemulihan kepada orientasi mitigasi untuk memberi manfaat lebih kepada usaha
menghindari korban, termasuk anggaran biaya untuk mitigasi yang dikelola oleh
rumah sakit.
3. Dibutuhkan
komitmen yang kuat dari seorang pemimpin agar dapat dapat mengendalikan
manajemen bencana di Indonesia sesuai dengan kondisi lokal kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Pinkowski,
Jack (Edt.); 2008. Disaster Management
Handbook, CRC Press. Boca Raton, Florida,
USA.
Coppola, Damon P.;2007. Introduction
to International Disaster Management, Elsevier Inc. USA.
Beach,
Michael; 2010. Disaster Preparedness and
Management, F. A. Davis Company, Philadelphia, USA.
Lennquist,
Sten (Edt.);2012. Medical Response to
Major Incidents and Disasters, (A Practical Guide for All Medical Staf) ,
Springer,
Verlag Berlin Heidelberg.
artikel di atas ada dalam bentuk jurnal ga ya mas/mbak?
BalasHapusMaaf mas Fahrul Rozi, tulisan ini belum dijurnalkan, namun referensi bukunya bisa diakses. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini.
HapusBila berkenan mohon ebook referensi bisa dikirimkan via email nsuparni@yahoo.com, saya coba akses tapi belum berhasil, terima kasih
HapusBaik Bu Suparni, saya emailkan.
Hapussangat bermanfaat, tapi saya coba akses ga bisa, bila berkenan bolehkah ebook referensinya dikirimkan ke tammyutamidewi@gmail.com?
BalasHapusterima kasih yaa
silahkan dilihat http://www.indoproject.co.id/2017/10/18/hospital-disaster-management-training-hdmt/
BalasHapus