Kamis, 11 April 2013

SUSTAINABLE DEVELOPMENT DAN PERAN MEDIA DI INDONESIA


PENDAHULUAN
McPhail (2009) dalam bukunya Development Communication, Reframing the Role of the Media, mendefinisikan komunikasi pembangunan sebagai proses intervensi secara sistematis atau strategis melalui salah satu media (cetak, radio, telepon, video, dan internet), atau melalui pendidikan (pelatihan, literasi, sekolah) untuk tujuan menghasilkan suatu  perubahan sosial yang positif. Karena lokus dari studi pembangunan berada di negara-negara dunia ketiga atau negara-negara berkembang maka komunikasi pembangunan juga memiliki lokus yang sama.
Mengacu pada pengertian di atas, kita dapat berasumsi bahwa keberhasilan perubahan sosial yang positif sebagai tujuan dari intervensi sistematis atau strategis sangat bergantung pada  media maupun model pendidikan yang digunakan.  Perubahan sosial dapat terwujud apabila ada ketepatan dan kecermatan dalam perencanaan media maupun implementasi model pendidikan. Sering terjadi, perubahan sosial tidak dapat terwujud bukan karena perencanaannya keliru melainkan karena pengabaian terhadap peran media bagi keberhasilan suatu perubahan sosial. Ada indikasi kecenderungan mengadopsi media yang seragam untuk semua situasi maupun semua kultur yang berbeda, termasuk di dalamnya memakai media yang sama untuk setiap jenis perubahan sosial yang diinginkan. Padahal semestinya pemilihan media yang tepat wajib mempertimbangkan aspek-aspek seperti kultur masyarakat, situasi dan kondisi masyarakat setempat, serta jenis perubahan yang dikehendaki.
Untuk membahas lebih dalam tentang peran media di atas maka tulisan ini akan menggambarkan tentang peran media dalam komunikasi pembangunan serta bagaimana implementasinya di Indonesia secara khusus dalam kaitannya dengan isu pembangunan yang sedang banyak didiskusikan yaitu isu lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Kita akan melihat terlebih dahulu tentang apa itu pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebagai sebuah model pembangunan, selanjutnya melihat fakta implementasinya di Indonesia serta menganalisis peran media sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan implementasinya.
  
SUSTAINABLE DEVELOPMENT MODEL
            Pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) adalah pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pada saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Definisi ini dikemukakan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 dalam laporannya yang berjudul  Our Common Future. (Brandon dan Lombardi, 2005). However Brundtland kemudian menegaskan bahwa pada dasarnya pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses perubahan dimana eksploitasi sumber daya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi dan perubahan kelembagaan semuanya dijalankan secara selaras serta dapat meningkatkan potensi saat ini dan masa depan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Sebagai suatu proses; bukan suatu tujuan akhir, pembangunan berkelanjutan terbuka untuk suatu ruang belajar dan adaptasi dimana semua orang dapat membangun persepsi masa depannya sesuai kebutuhannya dalam harmoni yang seimbang dengan kebutuhan orang lain baik pada masa sekarang maupun masa yang akan datang.
            Banyak definisi dan interpretasi kemudian muncul atas satu konsep yang sama di atas baik dalam perdebatan-perdebatan pada konferensi internasional maupun melalui tulisan-tulisan ilmiah. Berikut dikemukakan beberapa contoh definisi maupun interpretasi yang dikumpulkan oleh Jennifer A. Elliott dalam bukunya An Introduction to Sustainable Development, Third edition (2006).
In principle, such an optimal (sustainable growth) policy would seek to maintain an “acceptable” rate of growth in per-capita real incomes without depleting the national capital asset stock or the natural environmental asset stock. (Turner, 1988: 12).
The net productivity of biomass (positive mass balance per unit area per unit time) maintained
over decades to centuries.(Conway, 1987: 96).
Development that meets the needs of the present without compromising the ability of future
generations to meet their own needs. (World Commission on Environment and Development,1987: 43).
A creatively ambiguous phrase . . . an intuitively attractive but slippery concept. (Mitchell, 1997: 28).
Like motherhood, and God, it is difficult not to approve of it. At the same time, the idea of sustainable development is fraught with contradictions. (Redclift, 1997: 438).
It is indistinguishable from the total development of society. (Barbier, 1987: 103).
Its very ambiguity enables it to transcend the tensions inherent in its meaning. (O’Riordan, 1995: 21).
Sustainable development appears to be an over-used, misunderstood phrase. (Mawhinney, 2001: 5).

Banyaknya perdebatan tersebut bahkan memunculkan pesimisme bahwa pembangunan berkelanjutan tidak mungkin dapat diaplikasikan secara global; padahal butuh kesadaran global untuk mengimplementasikan model ini sebab kondisi keterbatasan sumber daya dan juga perubahan iklim dunia sebagai alasan yang mendasari munculnya konsep keberlanjutan tidak akan signifikan jika hanya diimplementasikan dalam ruang lingkup lokal atau regional.
            Pesimisme di atas terbantahkan oleh apa yang ditunjukkan oleh Jeffrey Sayer dan Bruce Campbell (2004), dua orang praktisi lingkungan hidup; tentang contoh sukses penelitian dan manajemen terpadu yang pernah dikembangkan di berbagai negara di dunia, dimana kunci suksesnya terletak pada adaptasi manajemen dengan lingkungan penelitiannya. Mereka bahkan mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan di sana yakni:
1.      Dalam jangka pendek, pendekatan terpadu dalam pengelolaan sumber daya alam akan lebih mahal dibandingkan berbasiskan pendekatan-pendekatan sektor atau disiplin. Dalam jangka panjang, pendekatan terpadu lebih cenderung untuk menghasilkan sistem manajemen yang berkesinambungan, lembaga yang kuat dan lebih berdasar pada sumber daya alami yang baik.
2.      Kita tidak pernah tahu cukup banyak tentang sistem sumber daya alam untuk dapat mengelolanya dengan pasti. Oleh karena itu, intervensi manusia harus selalu eksperimental dan harus memberikan kontribusi untuk belajar tentang sistem.
3.      Pengetahuan yang dibutuhkan untuk pembelajaran dan adaptasi manajemen terakumulasi perlahan-lahan. Waktu dan sumber daya yang diinvestasikan dalam belajar akan menentukan seberapa cepat perkembangan yang berarti akan terjadi.
4.      Pendekatan terpadu dalam ilmu sumber daya alam tidak akan menghasilkan resep yang tepat bagi manajer, tetapi mereka akan membantu manajer untuk membuat keputusan yang tepat dan bahkan lebih penting untuk belajar dari kesalahan mereka.
5.      Keberhasilan penerapan ilmu pengetahuan untuk pengelolaan sumber daya alam memerlukan perubahan hubungan antara ilmuwan dan manajer sumber daya lokal. Pengetahuan ilmiah formal dan pengetahuan lokal harus dipadukan dalam kerangka manajemen adaptasi. Semua manajemen harus diperlakukan sebagai eksperimen dan peran ilmu adalah untuk belajar dari percobaan ini.
Apa yang dikemukakan keduanya ini mau menegaskan bahwa sustainable development bukan sekedar idealisme yang muncul dari kesadaran akan masa depan melainkan interdependensi dari seperangkat sistem nilai yang berbeda secara substansial dalam satu kesatuan sistem global. Tiga pilar utama yang menjadi penopang idealisme harmoni pembangunan berkelanjutan tersebut adalah masyarakat, ekonomi dan lingkungan. Apapun konteksnya, idenya tetap berasal dari sumber yang sama yaitu manusia, habitatnya dan sistem ekonomi yang digunakan yang saling berkaitan satu sama lain.

IMPLEMENTASI DAN PERAN MEDIA
            Dalam konteks implementasi sustainable development di Indonesia, kita akan fokus pada peran media sebagai penentu keberhasilannya. Oleh karena itu kita juga perlu memahami esensi media dalam komunikasi pembangunan. Media dan teknologi informasi merupakan bagian penting dari komunikasi pembangunan yang berfungsi sebagai pendukung pembangunan itu sendiri. Kesalahan dalam pemanfaatan media akan berakibat fatal bagi kemajuan dari pembangunan.
            Pemanfaatan media dalam pembangunan dapat dilakukan melalui dua level yaitu pertama, media massa seperti televisi, radio dan media cetak dalam kampanye yang bertujuan untuk menginduksi adopsi inovasi atau perubahan lain dalam perilaku dan yang kedua melalui media komunitas terutama menggunakan radio atau ekspresi tradisional rakyat seperti teater yang berkaitan dengan menyuarakan dan mewakili berbagai segmen masyarakat setempat. (Mefalopulos, 2008). 
            Di dalam model sistem media, dikenal ada tiga aliran yang berkembang di dunia yaitu model liberal, model demokratis korporatis dan model pluralis terpolarisasi. (Hallin dan Mancini, 2004).  Di dalam model liberal, peran sosial negara relatif sedikit sedangkan peran pasar dan sektor privat relatif lebih banyak. Sekalipun demikian, bagaimanapun juga negara selalu memainkan peran penting dalam pengembangan masyarakat kapitalis,  dan perannya dalam pengembangan media penting bahkan dalam masyarakat yang paling liberal sekalipun. Hubungan antara negara dan media tidak semata-mata dalam hal regulasi, subsidi, dan kepemilikan negara, tetapi juga melibatkan aliran informasi termasuk gambar, simbol, dan kerangka interpretasi. Hubungan keduanya merupakan hubungan yang saling membutuhkan dimana kedekatan hubungan antara media berita dan negara sangat dipengaruhi oleh perkembangan  keamanan nasional negara. Sementara itu dalam model demokratis korporatis, negara-negara korporatis demokrat juga cenderung untuk kuat menggabungkan perlindungan bagi kebebasan pers dengan tingkat signifikansi peraturan yang mencerminkan asumsi bahwa media massa juga adalah lembaga sosial, bukan hanya bisnis swasta. Dan yang terakhir, di negara-negara korporatis demokrat, peran negara dalam sistem media sangat besar. Peran negara juga kompleks; mencerminkan kombinasi dari tradisi intervensi otoriter dan tradisi demokratis negara kesejahteraan. Negara juga berperan sebagai pemilik perusahaan media. Dengan demikian maka negara memiliki otoritas penuh atas media yang dimilikinya serta memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhannya.
            Di Indonesia, kita telah memiliki UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dimana pada pasal 4 dikatakan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara (ayat 1), terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran(ayat 2), untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi(ayat 3), dan pada ayat ke-4 dikatakan bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Secara keseluruhan, UU ini memberikan kebebasan kepada pers untuk menjalankan fungsinya tanpa ada intervensi dari negara.
Dilema yang muncul   dengan adanya kebebasan pers di Indonesia adalah bahwa pemerintah tidak dengan mudah memanfaatkan media massa sebagai saluran untuk melakukan komunikasi pembangunan sesuai dengan kemauannya sendiri. Media massa memiliki cara pandangnya sendiri terhadap pembangunan, bahkan secara abstrak ia punya kuasa untuk membangun opininya sendiri dan menggiring publik untuk sejalan dengan opini yang ia bangun. Dalam hal model pembangunan berkelanjutan sebagaimana sudah dijelaskan di atas, media massa di Indonesia semakin sulit dimanfaatkan untuk mengkomunikasikannya kepada masyarakat. Beberapa alasan yang bisa diajukan di sini yaitu:
1.   Secara substantif sustainable development telah membatasi ruang gerak pasar produksi dimana media massa merupakan tempat promosi paling ampuh bagi produk yang dihasilkan.
2.  Dari perspektif ekonomi, media massa pasti akan lebih memberikan prioritas kepada informasi yang lebih banyak mendatangkan pendapatan bagi perusahaan media ketimbang pada informasi model pembangunan yang objek pasarnya hanya terbatas pada kalangan tertentu yang sangat minim jumlahnya, sebab sistem pasar akan berlaku di sini.
3.  Media massa di Indonesia banyak dijadikan sebagai wahana perjuangan politik oleh kelompok-kelompok tertentu sehingga independensinya semakin diragukan. Bagi media yang dimiliki oleh kelompok yang sejalan dengan rezim yang sedang berkuasa, ia dapat dijadikan corong bagi komunikasi pembangunan; itupun setidaknya dengan motivasi melanggengkan kekuasaan, bukan hanya untuk tujuan pembangunan. Di lain pihak jika media massa dikuasai oleh oposisi rezim maka jelas yang akan dilakukan adalah memanfaatkan media tersebut untuk membangun basis politiknya sendiri, menarik simpati massa dan juga memberikan opini negatif terhadap konsep dan implenetasi pembangunan yang sedang dijalankan.

PENUTUP
            Dalam kondisi sebagaimana dikemukakan di atas, ada dua rekomendasi yang dapat menjadi pilihan bagi pemerintah Indonesia dalam memanfaatkan media untuk mengkomunikasikan model pembangunan berkelanjutan yaitu:
1.      Memanfaatkan pilihan media yang lain untuk sarana komunikasi pembangunan yaitu media komunitas. Media ini memang sudah banyak dipakai selama ini namun perlu kreatifitas untuk mengembangkan media ini agar tidak monoton dan lebih menarik bagi masyarakat dalam membangun keterlibatan mereka.
2.      Memanfaatkan media massa untuk komunikasi pembangunan namun dibutuhkan perencanaan media yang tepat agar apa yang hendak dikomunikasikan dapat dikemas dalam bentuk yang lebih kompetitif dengan pesan lain yang selalu mendominasi pasar media massa. Pemerintah bisa memanfaatkan orientasi ekonomi pada media massa untuk menjadikan pesan pembangunan dapat diterima secara baik oleh pasar media massa.


DAFTAR PUSTAKA
McPhail, Thomas L. (Edit.);2009. Development Communication, Reframing the Role of the Media, Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom.
Brandon, Peter S. & Lombardi, Patrizia;2005. Evaluating Sustainable Development In The Built Environment, Blackwell Science Ltd, Oxford, United Kingdom.
Elliott, Jennifer A.;2006.  An Introduction to Sustainable Development, Third edition. Routledge, Abingdon, Oxon.
Sayer,Jeffrey & Campbell,Bruce;2004. The Science of Sustainable Development, Local Livelihoods and the Global Environment, Cambridge University Press, Cambridge,United Kingdom.
Mefalopulos,Paulo; 2008.  Development Communication Sourcebook,Broadening the Boundaries of Communication,The World Bank, Washington DC, USA.
Hallin,Daniel C.& Mancini,Paolo; 2004. Comparing Media Systems, Three Models Of Media And Politics, Cambridge University Press, Cambridge,United Kingdom.
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

KESIAPAN RUMAH SAKIT DALAM MANAJEMEN BENCANA DI INDONESIA


PENDAHULUAN
            Rumah sakit merupakan salah satu lembaga publik yang terlibat langsung dalam merespon suatu bencana yang terjadi dalam wilayah kerjanya. Hal inilah yang sering dilihat sebab perannya sering baru tampak oleh masyarakat ketika bencana itu terjadi. Padahal, baik atau buruknya respon rumah sakit terhadap bencana sangat tergantung dari serangkaian aktifitas yang sudah dilakukan jauh sebelumnya. Aktifitas-aktifitas persiapan bencana inilah yang sering kali menjadi persoalan di Indonesia karena sering kali tidak dilakukan karena berbagai alasan.
            Tulisan ini coba membahas tentang bagaimana idealnya sebuah rumah sakit memberikan respon terhadap bencana dengan terlebih dahulu memperkenalkan secara singkat konsep manajemen bencana untuk melihat ruang bagi peran rumah sakit di dalam manajemen tersebut. Selanjutnya akan dibahas pula tentang implementasi kesiapan rumah sakit di Indonesia dengan mengacu pada idealisme yang telah dibangun, untuk menemukan jawaban atas persoalan daya tanggap rumah sakit di Indonesia.

KONSEP MANAJEMEN BENCANA
            Manajemen bencana memiliki sejarah yang cukup panjang hingga adanya manajemen bencana moderen saat ini. Kisah tentang Nuh yang menyiapkan sebuah perahu besar untuk melindungi dirinya, keluarganya dan semua binatang yang dipilihnya berpasang-pasangan dari terjangan air bah yang melanda dunia, merupakan salah satu catatan awal bagaimana manusia mempersiapkan dirinya menghadapi bencana dan mempertahankan keberlanjutan kehidupannya. Salah satu bukti sejarah yang lain terjadi pada tahun 3200 SM yakni salah satu kelompok masyarakat di lembah sungai Tigris dan Efrat (Iraq saat ini) yang disebut dengan Asipu. Kelompok masyarakat ini merupakan pemberi pertimbangan terhadap keputusan-keputusan masyarakat yang berresiko tinggi dan berbahaya melalui suatu proses analisis masalah dan selanjutnya memberikan alternatif-alternatif pilihan serta resiko-resiko atas alternatif-alternatif tersebut. Covello dan Mumpower mencatat bahwa  kelompok yang disebut Asipu tersebut bertindak sebagai tipe baru peramal, bukan sebagai orang yang mengklaim untuk meramalkan masa depan, tetapi satu kelompok tempat berkonsultasi tentang resiko keputusan-keputusan yang tidak pasti atau sulit. Saat ini, metodologi ini disebut sebagai analisis keputusan yang merupakan kunci untuk setiap usaha manajemen risiko yang komprehensif.
            Damon P. Coppola (2007)  mengatakan bahwa tidak ada rumus global bagi negara-negara di dunia dalam mengembangkan kapasitas manajemen bencana mereka. Namun secara umum, manajemen bencana moderen yang komprehensif meliputi empat bagian utama yaitu mitigasi, kesiapsiagaan, respon dan pemulihan.  Alexander menggambarkan siklus manajemen bencana sebagaimana gambar di bawah ini.


Mitigasi didefinisikan oleh Coppola (2007) sebagai upaya yang berkelanjutan yang dilakukan untuk mengurangi risiko bahaya melalui pengurangan kemungkinan dan/atau komponen akibat dari risiko bahaya tersebut. Dapat dikatakan pula bahwa mitigasi berusaha sebaik mungkin membuat bahaya itu berkurang atau bahkan tidak terjadi sama sekali, atau apabila terjadi maka efek negatifnya dapat dikurangi. Tujuan adanya mitigasi yaitu memberikan pilihan alternatif kepada manejer kebencanaan dalam hal  resiko  pengurangan kemungkinan, risiko pengurangan konsekuensi, menghindari risiko, penerimaan risiko, dan pengalihan, pembagian atau  penyebaran risiko. Mitigasi memiliki dua tipe utama yaitu mitigasi stuktural dan mitigasi non struktural.  Mitigasi struktural merupakan upaya pengurangan risiko yang dilakukan melalui pembangunan atau mengubah fisik lingkungan hidup dengan penerapan solusi rekayasa. Sedangkan mitigasi non struktural  merupakan suatu ukuran yang ditetapkan untuk mengurangi risiko melalui modifikasi perilaku manusia atau proses alam tanpa memerlukan penggunaan struktur rekayasa. Beberapa model mitigasi struktural misalnya  konstruksi resisten, membangun kode dan langkah-langkah pengaturan, relokasi, modifikasi struktural,  pembangunan tempat penampungan masyarakat, konstruksi penghalang/pembelokan/sistem penyimpanan, sistem deteksi, modifikasi fisik, sistem pengobatan dan redundansi dalam infrastruktur keselamatan jiwa. Sementara itu mitigasi non struktural dapat berupa langkah-langkah pengaturan, kesadaran masyarakat dan program pendidikan, modifikasi fisik non struktural, kontrol lingkungan dan modifikasi perilaku.
Kesiapsiagaan bencana merupakan tindakan yang diambil sebelum bencana untuk memastikan respon yang memadai terhadap dampak yang ditimbulkannya dan pelegaan serta pemulihan dari konsekuensinya. Tujuannya adalah untuk mengetahui apa yang harus dilakukan dalam situasi pascabencana, mengetahui bagaimana harus melakukannya, yang dilengkapi dengan alat yang tepat untuk melakukannya secara lebih efektif. Dalam hal kesiapsiagaan terhadap bencana, kita bisa melakukan pemilahan kedalam dua kelompok besar yaitu kesiapsiagaan pemerintah dan kesiapsiagaan publik. Kesiapsiagaan pemerintah digolongkan lagi kedalam lima kategori umum  yakni perencanaan, latihan, pendidikan/pelatihan, peralatan dan kewenangan hukum. Perencanaan menjadi penting bagi pemerintah sebab pemerintah harus tahu dengan baik sebelumnya, tidak hanya apa yang mereka perlu lakukan tetapi juga bagaimana mereka akan melakukannya, peralatan apa yang mereka gunakan dan bagaimana orang lain dapat dan akan membantu mereka. Metodologi yang paling komprehensif yang dapat digunakan untuk membuat perencanaan kebencanaan adalah dengan membuat Emergency Operations Plan (EOP) bagi suatu negara. EOP merupakan dokumen yang menjelaskan secara rinci tentang orang-orang dan badan-badan yang akan terlibat dalam penanggulangan kejadian bahaya (termasuk bencana), tanggung jawab dan tindakan dari individu-individu dan lembaga, serta sampai di mana batasan tanggung jawab dan tindakan tersebut untuk setiap individu maupun lembaga. Secara sederhana, kesiapsiagaan masyarakat dapat dianggap sebagai tindakan yang diambil dalam memberdayakan masyarakat sipil untuk membantu diri mereka, keluarga mereka, tetangga mereka bahkan orang-orang lain di luar lingkungannya ketika menghadapi suatu bahaya tertentu. Strategi internasional yang dipakai oleh PBB untuk pemberdayaan masyarakat dalam menghadapi bencana adalah dengan menggunakan sistem pendidikan publik. M. Granger Morgan, dkk (Coppola, 2007:222) mendefinisikan pendidikan publik sebagai komunikasi yang dilakukan dengan maksud untuk memasok kepada orang awam sejumlah informasi yang mereka butuhkan untuk membuat mereka menjadi informan serta membuat mereka dapat melakukan penilaian independen tentang risiko kebencanaan terhadap kesehatan, keselamatan dan lingkungan.
Michael Beach (2010) mengatakan bahwa tanggap darurat adalah mobilisasi kekuatan yang dilakukan selama dan segera setelah sebuah peristiwa bencana terjadi untuk menyelamatkan nyawa, anggota tubuh dan harta benda. Hal ini merupakan respon baik yang dilakukan oleh personil terlatih maupun upaya yang dilakukan oleh masyarakat akar rumput maupun oleh korban sendiri yang mungkin dapat membantu diri mereka sendiri dan orang di sekitar mereka. Dengan kata lain, fungsi respon dari manajemen bencana mencakup tindakan-tindakan yang bertujuan untuk membatasi cedera, membatasi kehilangan nyawa dan kerusakan harta benda serta lingkungan, yang dilakukan sebelum, selama dan segera setelah terjadi bencana. Respon bencana sendiri sangat bertumpu pada komunikasi dan koordinasi. Orang juga harus mengerti tentang tahapan terjadinya keadaan darurat agar dapat memberikan respon yang tepat terhadap situasi bahaya yaitu tahap sebelum terjadinya bencana, tahap darurat ketika efek bahaya sedang berlangsung dan tahap darurat ketika efek bahaya telah berhenti. Dalam tahap sebelum terjadinya bencana, respon yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan peringatan dan evakuasi, pra-posisi sumber daya dan kelengkapan serta saat terakhir langkah-langkah mitigasi dan kesiapsiagaan. Dalam tahap darurat setelah bencana terjadi, hal pokok yang harus dilakukan adalah penyelamatan nyawa yang biasanya dilakukan oleh Tim Pencarian dan Penyelamatan (SAR). Selanjutnya prioritas lainnya adalah penilaian terhadap bencana, mengatasi efek bahaya yang tersisa, menyediakan air dan makanan, perlindungan, fatality manajemen, sanitasi, keamanan, layanan sosial, perbaikan infrastruktur yang penting untuk masa tanggap darurat dan sumbangan manajemen.
Bagian terakhir dari manajemen bencana moderen adalah pemulihan. Coppola menjelaskan bahwa pemulihan bencana merupakan fungsi manajemen darurat dimana negara,  masyarakat, keluarga dan individu melakukan perbaikan, rekonstruksi atau mendapatkan kembali apa yang telah hilang akibat bencana dan idealnya adalah mengurangi resiko bencana yang serupa di masa yang akan datang. Tindakan yang dapat dilakukan dalam masa ini bisa berupa komunikasi yang berkelanjutan dengan masyarakat, penyediaan perumahan untuk berlindung sementara atau jangka panjang, penilaian kerusakan dan kebutuhan, pembongkaran struktur yang rusak, pembersihan,pemindahan dan pembuangan puing-puing, rehabilitasi infrastruktur, pemeriksaan struktur yang rusak, perbaikan struktur yang rusak, konstruksi baru, program rehabilitasi sosial, penciptaan kesempatan kerja, penggantian kerugian properti, rehabilitasi yang terluka dan penilaian ulang resiko bahaya.
KESIAPAN RUMAH SAKIT DALAM MANAJEMEN BENCANA
            Rumah sakit memiliki fungsi kritis dalam manajemen bencana, demikian yang dikatakan Robert Powers (Pinkowski, 2008). Konferensi PBB tentang Pengurangan Bencana menegaskan bahwa rumah sakit wajib mengoperasikan beberapa fasilitas segera setelah bencana untuk membatasi dampak dari bencana hilangnya nyawa. Mereka memiliki fungsi kritis yang tidak dimiliki bisnis lain.  Artinya, jika mereka gagal untuk berfungsi selama bencana, mereka akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap dampak bencana di masyarakat.
Rumah sakit dalam kondisi normal saat ini sudah terkendala dengan kurangnya fasilitas dan sarana-prasarana. Oleh karena itu untuk dapat beroperasi secara baik pada saat bencana, pertama-tama yang harus dilakukan adalah  memberikan mitigasi, perencanaan dan kesiapan prioritas yang mereka butuhkan, baik menyangkut peralatan, keahlian staf pelaksana, dana untuk mengimbangi biaya selama penanganan bencana serta kewenangan yang diberikan kepada rumah sakit untuk melaksanakan implementasi program penanggulangan bencana. Perencanaan untuk lonjakan kapasitas juga penting dalam rangka mengantisipasi masuknya pasien ke rumah sakit baik segera setelah bencana atau dalam kasus bencana biologis, ketika mulai terjadi gejala pada korban.
Dalam konteks perencanaan penanganan bencana oleh rumah sakit,  Robert Powers menekankan perlunya fokus terhadap beberapa item untuk memastikan bahwa mereka benar siap  dalam kegiatan-kegiatan mitigasi seperti perlunya keberlanjutan rumah sakit tanpa bantuan dari luar selama 72 jam pasca-bencana; waktu standar yang diperkirakan untuk memperoleh bantuan dari luar. Upaya mitigasi Rumah Sakit dimulai dengan penilaian kerentanan bahaya. Hal ini memungkinkan rumah sakit untuk mendapatkan kesiapan dengan biaya yang rendah. Rumah sakit tidak perlu memiliki rencana yang berbeda untuk setiap jenis bencana, hanya perlu satu rencana yang diperlukan untuk prosedur penanganan semua jenis bahaya. Hal ini juga untuk menyederhanakan respon dimana setiap staf diajarkan hanya salah satu cara untuk tampil saat bencana dan tidak memiliki waktu untuk berhenti dan membuat penentuan mana cara untuk merespon. Dengan demikian, kebingungan berkurang dan ada penurunan risiko staf melakukan prosedur yang salah pada kondisi bencana tersebut.
Rumah sakit memiliki dua cara dalam merespon bencana, yaitu secara struktural maupun non-struktural. Mitigasi struktural di rumah sakit direncanakan untuk meningkatkan kesinambungan struktur yang ada melalui langkah-langkah seperti perencanaan bangunan rumah sakit tahan gempa untuk membatasi kerusakan pada fasilitas saat gempa bumi atau merancang sebuah pintu masuk gawat darurat yang memiliki kemampuan untuk dengan mudah diperluas dan menangani masuknya sebagian besar pasien yang tiba dengan kendaraan pribadi saat bencana. Sementara itu mitigasi non struktural oleh rumah sakit dapat dilakukan dengan pengaturan-pengaturan peran setiap orang yang terlibat dalam pelayanan kesehatan saat bencana. Mitigasi non struktural juga dapat berupa apa yang disebut jalur hidup. Sistem yang disebut sebagai jalur hidup ini penting dalam menjaga keberlanjutan fasilitas. Lifelines menjaga hubungan yang diperlukan dari rumah sakit ke luar berbagai entitas atau pemasok bahan. Ini termasuk komunikasi, utilitas, dan transportasi. Komunikasi bisa datang dari management darurat lokal, pelayanan medis darurat, atau departemen kesehatan dan diperlukan untuk menjaga agar para pejabat rumah sakit tahu tentang situasi saat ini. Komunikasi juga diperlukan untuk mengisi sumber daya yang minim dan mendiskusikan pilihan regional dengan rumah sakit lainnya. Utilitas, seperti listrik dan air, harus direncanakan dan dikelola dengan baik.
Latihan sendiri bagi rumah sakit merupakan strategi lain kesiapan bencana yang penting. Latihan dapat dilakukan bervariasi mulai dari berbasis kertas atau meja untuk simulasi maupun skala penuh dengan pasien yang sebenarnya. Perencanaan untuk latihan sering tidak dilakukan sebab staf apatis berpartisipasi. Latihan juga  sering gagal mensimulasikan kondisi nyata.  Latihan yang dijalankan dengan benar, adalah strategi penting untuk pengukuran dan meningkatkan kesiapan rumah sakit. Evaluator harus berasal dari instansi luar, sehingga ada kebebasan untuk proses dan prosedur kritik. Evaluasi harus memberikan informasi yang relevan yang memandu rumah sakit dalam perubahan apa yang perlu terjadi pada kesiapsiagaan dan respon untuk benar-benar efisien dalam kondisi yang nyata.
Koordinator utama bencana juga harus bekerja untuk mendaftar dan mendidik pelaku kunci dari seluruh rumah sakit. Para pelaku kunci adalah pemimpin administrasi seperti bagian gawat darurat, radiologi, pengendalian infeksi, laboratorium dan teknik untuk memperoleh kesiapan seluruh rumah sakit. Komite keamanan rumah sakit atau manajemen komite khusus darurat  adalah wadah untuk membawa semua pelaku bersama-sama dan memastikan bahwa mereka berbagi visi bersama untuk benar-benar siap menanggapi peristiwa bencana.
Rumah sakit tidak akan berfungsi sendirian pada saat bencana sehingga administrator rumah sakit juga harus melihat melampaui rumah sakit. Interaksi antar komunitas adalah penting karena rumah sakit harus tahu dan membantu membimbing masyarakat untuk memberikan respon terhadap bencana sehingga operasi rumah sakit berjalan sesuai dengan rencana sebab untuk respon optimal dan keberlanjutan rumah sakit selama bencana secara langsung tergantung pada sumber daya dan dukungan yang diterimanya dari lembaga masyarakat lainnya. Sebuah komponen kunci dari interaksi masyarakat adalah respon regional. Rumah Sakit menggunakan rencana saling membantu dan respon regional berencana untuk saling mendukung. Rumah sakit di luar daerah dampak bencana berpotensi bisa mengirim dukungan personel dan peralatan dalam beberapa jam ke rumah sakit.
Sten Lennquist (2012) secara lebih rinci mengemukakan berbagai hal yang berkaitan dengan respon rumah sakit terhadap bencana, di antaranya adalah kebutuhan akan perencanaan, proses dan level alert, koordinasi dan komando, kartu tindakan, persiapan rumah sakit, penerimaan korban, pengobatan lanjutan untuk pasien yang terluka, registrasi pasien, pusat informasi rumah sakit, manajemen media, suplai, fungsi-fungsi teknis, komunikasi, dukungan psikologis dari lingkungan sosial, kejadian-kejadian terutama yang melibatkan rumah sakit, jenis kejadian yang spesial dan tahap pemulihan. Rincian dimaksud dapat dipakai sebagai acuan untuk menilai seberapa besar tingkat kesiapan rumah sakit dalam menghadapi bencana.
IMPLEMENTASI KESIAPAN RUMAH SAKIT DI INDONESIA
            Harus diakui bahwa kesiapan rumah sakit di Indonesia dalam menghadapi bencana masih jauh dari ideal. Bahkan bisa dikatakan bahwa rumah sakit- rumah sakit kita belum siap  untuk menghadapi bencana yang mungkin terjadi. Padahal kita sendiri tahu bahwa wilayah Indonesia yang begitu luas sangat rentan terhadap resiko terjadinya bencana. Apa lagi dengan posisi geografis kita yang ada sekarang, resiko bencanapun menjadi sangat beragam.
            Pernyataan di atas dapat dibuktikan kebenarannya dengan melihat konstruksi bangunan rumah sakit yang kita miliki di Indonesia. Semestinya sebagai negara yang berada di antara dua lempeng benua dengan konsekwensi rawan terhadap gempa tektonik; ditambah lagi wilayah kita juga terdiri dari gugusan gunung berapi yang juga rawan terhadap gempa vulkanik, konstruksi bangunan rumah sakit harus didesain untuk tahan terhadap gempa bumi sebab dalam kondisi semacam itu, rumah sakit harus tetap siap menampung para korban bencana. Yang terjadi adalah bahwa dalam desain konstruksi rumah sakit kita, aspek kesiapan terhadap bencana diabaikan, bahkan tidak masuk dalam pertimbangan kebijakan. Ada banyak faktor yang mengakibatkan pengabaian terhadap pertimbangan kebencanaan dalam perencanaan konstruksi rumah sakit kita, misalnya karena alasan biaya, alasan politis, alasan bisnis dan sebagainya.
            Selain konstruksi, hal lain yang sering dikeluhkan adalah persoalan daya tampung. Rumah sakit belum siap menerima lonjakan pasien akibat bencana sehingga banyak korban yang tidak dapat ditangani dengan semestinya, bahkan mengakibatkan hilangnya nyawa. Dalam kondisi normal saja sering terjadi penolakan terhadap pasien karena alasan daya tampung yang minim, bagaimana nanti jika terjadi lonjakan drastis sebagai akibat suatu bencana?  Hal ini harusnya dapat diatasi melalui sistem komunikasi yang baik, namun dalam hal komunikasipun, kita belum memiliki standar sistem komunikasi rumah sakit yang baku yang dapat diberlakukan secara umum untuk semua rumah sakit baik dalam keadaan normal maupun dalam kondisi khusus ketika terjadi bencana.
            Respon non-struktural lain yang bisa diperdebatkan di sini yaitu dalam hal komando dan koordinasi di dalam rumah sakit dalam penanganan bencana. Hal ini memiliki kaitan erat dengan sistem dan alat komunikasi internal yang sangat minim dan tidak didesain khusus untuk kondisi bencana sehingga ketika bencana terjadi, sistem dan peralatan komunikasi tersebut masih tetap berfungsi. Koordinasi juga berkaitan dengan pembagaian peran masing-masing komponen dalam rumah sakit serta latihan-latihan bagi setiap orang yang berperan di dalamnya. Hal-hal semacam ini jarang dilakukan di rumah sakit kita.
            Melihat berbagai masukan tentang bagaimana seharusnya rumah sakit merespon bencana sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, satu kesimpulan pokok yang dapat dipelajari yaitu bahwa desain perencanaan penanggulangan bencana oleh rumah sakit merupakan kunci pokok dari kesiapan rumah sakit dalam menghadapi situasi bencana mulai dari mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan pascabencana. Desain perencanaan itu juga menghendaki adanya kerja sama yang baik dengan berbagai pihak yang terlibat di dalamnya, entah itu pihak internal maupun pihak eksternal rumah sakit. Desain perencanaan serta kerja sama ini juga yang masih minim dilakukan rumah sakit kita. Ego sektoral kita masih sangat tinggi, padahal penanganan terhadap bencana menghendaki kerja sama sebagai suatu sistem.          
KESIMPULAN
            Merujuk pada pembahasan kita tentang isu kesiapan rumah sakit dalam merespon bencana, kita dapat menarik beberapa kesimpulan pokok di bawah ini :
1.      Secara umum, manajemen bencana moderen mencakup empat aspek pokok yaitu aspek mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan pascabencana.
2.      Rumah sakit memiliki peran kritis dalam merespon kondisi bencana.
3.      Peran kritis tersebut di atas dapat dilakukan melalui suatu desain perencanaan yang lengkap serta proses implementasinya melibatkan banyak pihak dalam satu sistem kerja sama yang kompleks.
4.      Dalam konteks Indonesia, rumah sakit kita belum siap untuk merespon positip kondisi bencana.
Dengan demikian maka beberapa hal yang dapat direkomendasikan di sini adalah:
1.      Perlu dibuat suatu desain perencanaan yang lengkap sebagai dasar pijak pelaksanaan manajemen bencana di Indonesia yang spesifik dengan kondisi geografis dan kondisi psikis masyarakat kita. Perencanaan ini harus pula didukung oleh perangkat peraturan perundang-undangan yang saling mendukung antara setiap sektor, misalnya peraturan dan standarisasi umum manajemen bencana di rumah sakit yang diberlakukan secara menyeluruh untuk semua rumah sakit.
2.      Mengubah orientasi anggaran belanja yang biasanya boros pada tahap tanggap darurat dan pemulihan kepada orientasi mitigasi untuk memberi manfaat lebih kepada usaha menghindari korban, termasuk anggaran biaya untuk mitigasi yang dikelola oleh rumah sakit.
3.      Dibutuhkan komitmen yang kuat dari seorang pemimpin agar dapat dapat mengendalikan manajemen bencana di Indonesia sesuai dengan kondisi lokal kita.

  




DAFTAR PUSTAKA

Pinkowski, Jack (Edt.); 2008. Disaster Management Handbook, CRC Press. Boca Raton, Florida, USA.
Coppola, Damon P.;2007.  Introduction to International Disaster Management, Elsevier Inc. USA.
Beach, Michael; 2010. Disaster Preparedness and Management, F. A. Davis Company, Philadelphia, USA.
Lennquist, Sten (Edt.);2012. Medical Response to Major Incidents and Disasters, (A Practical Guide for All Medical Staf) , Springer, Verlag Berlin Heidelberg.

ISU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM KONTEKS BUDAYA LAMAHOLOT


PENDAHULUAN

            Isu pemberdayaan perempuan telah menjadi topik yang hangat dewasa ini, mulai dari lingkup global hingga ke tataran lokal. Hal ini merupakan reaksi atas adanya diskriminasi gender yang sudah lama terjadi. Pemberdayaan perempuan dilihat sebagai salah satu cara yang efektif dalam memperjuangkan adanya kesetaraan gender, khususnya dalam konteks perempuan sebagai korban diskriminasi oleh sistem atau struktur sosial di dalam masyarakat. Kita dapat melihat bahwa dalam berbagai kesempatan, sering kali perempuan mengalami diskriminasi misalnya dijadikan objek eksploitasi, mengalami kekerasan, subordinasi, serta adanya upaya marginalisasi perempuan. Kemudian permasalahan lain yang kerap dialami perempuan yaitu double burden (beban ganda) dimana peningkatan jumlah perempuan yang bekerja di wilayah publik, tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestik. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda. (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2012).
Salah satu dilema yang kemudian muncul dalam upaya pemberdayaan perempuan adalah dilema kultural. Malinowski (1960),  berpendapat bahwa budaya merupakan komposisi integral dari sebagian hal otonom dan sebagian lain yang dikordinasikan oleh organisasi. Budaya terintegrasi oleh serangkaian prinsip seperti yang ada pada satu kelompok masyarakat yang memiliki hubungan darah, kedekatan dalam ruang yang terkait dengan kerja sama, spesialisasi dalam kegiatan dan penggunaan kekuasaan dalam organisasi politik.
Di satu sisi kita menolak adanya diskriminasi terhadap perempuan tetapi di sisi lain, kita hidup dalam suatu budaya yang menempatkan perempuan pada posisi kedua setelah laki-laki. Tulisan ini hendak mengulas isu pemberdayaan perempuan dalam konteks kultur tersebut. Secara khusus salah satu budaya yang dapat dijadikan objek kajian adalah budaya Lamaholot di wilayah Flores Timur dan Lembata, Propinsi NTT. Kita akan terlebih dahulu mengenal tentang apa itu budaya Lamaholot dan dimana perempuan diposisikan dalam budaya itu, barulah dikomparasikan dengan isu pemberdayaan perempuan untuk melihat benang merah antara keduanya serta memberikan kesimpulan dan rekomendasi pada bagian akhirnya.

BUDAYA LAMAHOLOT

            Raymond Williams (John Storey, 2009) mendefinisikan budaya dalam tiga rujukan. Pertama, budaya bisa digunakan untuk merujuk kepada sebuah proses umum dari perkembangan intelektual, spiritual dan estetika. Kedua, budaya juga bisa menunjukkan tentang cara hidup tertentu baik itu seseorang, kelompok orang maupun cara hidup pada periode tertentu. Dan yang ketiga yakni budaya merujuk kepada karya dan praktek intelektual, terutama kegiatan artistik. Dengan demikian, dalam perspektif budaya Lamaholot, kita dapat melihat tiga aspek di atas dalam pembahasan kita tentang pemberdayaan perempuan. Pertama, kita bisa melihat tentang perkembangan intelektual, spiritual dan estetika Lamaholot. Kedua, kita juga bisa melihat cara hidup orang-orang Lamaholot dan bagaimana pergeseran cara hidupnya. Dan yang terakhir kita bisa melihat tentang karya dan praktek intelektual terutama di bidang artistik. Tentu saja ketiga aspek di atas tidak dapat dibahas seluruhnya dalam tulisan ini. Kita hanya melihat aspek-aspek tertentu yang erat kaitannya dengan konsep pemberdayaan perempuan.
            Untuk memahami konteks perkembangan intelektual yang ada dalam budaya Lamaholot, kita merujuk pada cara pandang Aguste Comte tentang tahap perkembangan intelektual.  Menurut Comte, proses evolusi ini melalui tiga tahapan utama:
1.      Tahapan teologis, yaitu tahapan dimana akal budi manusia mencari kodrat manusia serta semua gejala yang ada di sekitarnya dan menemukan bahwa ada  kekuatan yang mengendalikan semua itu yaitu dewa-dewa atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia mencari sebab pertama dan sebab akhir dari segala akibat. Singkatnya, pengetahuan absolute, mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supranatural.
2.      Tahapan metafisis,  yaitu tahap transisi antara tahap teologis dan positivis. Tahap ini ditandai dengan suatu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi. Atau dengan kata lain akal budi mengandaikan bukan hal supranatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada semua benda.
3.      Tahapan positivistic, yaitu akal budi telah meninggalkan pencarian yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian yang absolut, asal dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab gejala dan memusatkan perhatiannya pada studi tentang hukum-hukumnya,  yakni hubungan-hubungan urutan dan persamaanya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan, digabungkan secara tepat  sebagai sarana pengetahuan.
Dalam tahapan teologis, Comte juga menguraikannya dalam tiga bagian. Yang pertama fetisisme dan dinamisme yang menganggap alam semesta ini mempunyai jiwa, serta animisme yang mempercayai dunia sebagai kediaman roh-roh atau bangsa halus. Yang kedua politeisme yang mengelompokkan semua kejadian alam berdasarkan kesamaan-kesamaan di antara mereka, sehingga politeisme menyederhanakan alam semesta yang beraneka ragam. Yang terakhir, monoteisme yaitu kepercayaan yang menganggap hanya ada satu tuhan.
            Vatter dalam catatannya menulis bahwa dalam struktur desa tradisional Lamaholot, sebuah desa harus memiliki korke untuk upacara keagamaan dan rumah pertemuan yang menyertainya atau sering disebut bale. Idealnya struktur korke yang baik harus berdiri di pusat desa, sering berlawanan arah dengan candi dari suku yang  mengklaim statusnya sebagai tuan tanah. Tuan tanah jugalah yang mengambil peran utama dalam setiap urusan. Selanjutnya Arndt menyatakan bahwa jika candi tersebut berada di luar desa, itu menandakan lokasi bekas desa. Sebelum candi biasanya ditemukan sejumlah tumpukan batu yang sangat penting artinya bagi agama yang disebut dengan Nuba Nara. Persembahan kepada bipartit keilahian yang disebut dengan Lera Wulan (Matahari dan Bulan = langit) Tana Ekan (bumi), dilakukan di korke tersebut. (Barnes, 2009).
            Bagi orang Lamaholot, Nuba Nara merupakan simbol dan tempat bersemayamnya wujud tertinggi yang disebut dengan Lera Wulan Tana Ekan. Oleh karena itu berbagai ritus pasti dilakukan di tempat tersebut. Salah satu di antara berbagai ritus itu  yakni ritus Tuno Manuk (bakar ayam) yang merupakan rekonsiliasi antara manusia dengan Lera Wulan Tana Ekan atas hubungan yang rusak oleh keserakahan manusia. Tradisi tuno manuk ini digelar di Desa Demondei, Kecamatan Wotan Ulumado, Flores Timur, NTT. Dalam ritus ini, setiap kaum pria wajib membawa seekor ayam jantan sehat. Wakil dari perantau pun mempersembahkan seekor ayam jantan. Sebelum dibawa ke rumah adat, ayam didoakan terlebih dahulu di depan pintu rumah sekitar pukul 18.00 oleh seluruh anggota keluarga. Ayam-ayam itu lalu dibawa pemilik atau yang mewakili ke rumah adat yang disebut koke bale. Sambil berdoa, ayam-ayam itu disembelih oleh ketua adat. Darah ayam disiramkan di atas sebuah batu bulat ceper yang disebut nuba nara. Sepanjang ritual itu, masyarakat memperagakan tarian tradisional yang disebut Lian Namang. Mereka berbalas pantun; berisikan cinta dan suka-duka hidup dengan kata-kata berupa kiasan. Saat matahari terbit, ratusan ayam itu dicincang. Bagian hati dikumpulkan dan dipersembahkan kepada Lera Wulan-Tanah Ekan oleh ketua adat pada puncak acara. Puncak upacara ditandai dengan makan perjamuan bersama pada sore hari. Semua laki-laki duduk membentuk lingkaran di dekat koke bale. Ayam yang matang dibagikan kepada semua laki-laki yang duduk melingkar. Daging dan nasi disimpan dalam daun waru sebagai pengganti piring. Hanya laki-laki yang mengambil bagian dalam perjamuan itu. Seusai perjamuan adat, tetua adat bergerak menuju sumber air dan pohon besar. Arwah leluhur diyakini tinggal di hutan, pohon, batu, dan sumber air. Mereka menjaga dan melindungi kelestarian alam sekitar.(Kewa Ama, 2012).
            Siklus hidup orang Lamaholot mulai dari prakelahiran sampai dengan pascakematian juga sangat kental dengan ritus-ritus budaya, selain ritus-ritus keagamaan yang baru muncul setelah masuknya Agama Katolik di Flores Timur dan Lembata. Dalam masa kehamilan, dikenal adanya upacara penyucian diri yang disebut dengan Hoing Temodok. Proses pembersihan ibu hamil ini dilakukan dalam bentuk pengakuan dosa suami istri di korke tempat bersemayamnya Lera Wulan Tana Ekan, pembersihan diri oleh marang, persembahan sesaji kepada roh-roh leluhur, pemberian motivasi rohani dan jasmani kepada ibu hamil (gelete geluwer) dan makan bersama. Ada banyak juga larangan terhadap ibu hamil seperti tidak boleh mengkonsumsi makanan tertentu (misalnya gurita, pisang, babi landak), dilarang duduk di depan pintu rumah, dilarang keluar pada malam hari, dilarang duduk dekat tungku api, dilarang mengambil kayu bakar yang masih terikat, larangan mengunjungi orang meninggal serta masih banyak larangan yang lain.
            Suban Tukan dalam bukunya Keluarga Lamaholot Opulake Opubine menggambarkan tentang sistem perkawinan Lamaholot yang exogami yaitu tidak boleh saling tukar menukar wanita serta tidak boleh dari suku sendiri, sehingga dikenal adanya opulake yaitu suku yang menyerahkan wanita dan menerima mas kawin serta opubine yaitu suku pria yang menerima wanita dan memberi mas kawin berupa gading gajah. (Magdalena G.,2004).  Hubungan ini akan terus berlangsung turun temurun sehingga tidak dapat dipertukarkan posisi opulake dan opubine tersebut. Dalam hal mas kawin berupa gading gajah, ia merupakan lambang harga diri dari seorang wanita yang patut dihargai dan dijunjung tinggi. Selain itu ada juga implikasi negatifnya yaitu bahwa karena wanita sudah dibelis dengan nilai yang sangat mahal maka dia bisa diperlakukan semaunya suami tanpa ada intervensi dari keluarga perempuan. Sering terjadi perempuan sangat dibatasi ruang geraknya dalam ritus-ritus adat misalnya saja tidak diperbolehkan berbicara dan menyampaikan pendapat dalam urusan adat, wanita baru boleh makan setelah kaum pria selesai makan dan tempatnya juga harus di belakang, tidak boleh di antara kaum pria yang duduk di atas balai-balai. 
            Karya estetika yang masih banyak ditemui dalam budaya Lamaholot adalah sarung tenun. Sarung tenun ini ada berbagai macam. Untuk perempuan, orang Ile Ape misalnya, dikenal ada beberapa jenis sarung. Ada yang disebut dengan Wate Hebak, Wate Kerokong, Wate biasa, juga ada Bala Ohi. Untuk pria disebut Senai atau Nowing. Dari semua jenis itu, yang paling lama dikerjakan adalah jenis Bala Ohi, karena untuk menenun sarung jenis ini tidak gampang dan butuh ketelitian yang tinggi, bisa sampai satu tahun baru selesai, disertai banyak pantangan bagi perempuan yang menenunnya. Harga sarungpun,  bervariatif tergantung jenis sarungnya. Selembar Wate Hebak kini mencapai  harga Rp. 1 juta, Wate Krokong sekitar Rp. 500 ribuh kalau sarung biasa untuk dipakai di rumah, dihargai dengan Rp. 100 sampai Rp. 200 ribu, tetapi untuk selembar Wate Bala Ohi harganya bisa mencapai Rp. 15 juta. Semua aktifitas dari proses menenun inipun hanya bisa dilakukan oleh kaum perempuan.

ISU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

            Pemberdayaan adalah sebuah strategi yang pertama kali diusulkan secara internasional pada tahun 1980 oleh sekelompok aktivis dari Selatan untuk menantang hegemoni feminis utara dalam wacana internasional tentang perempuan.(Elliott, 2008). Hal ini dilatarbelakangi oleh  keprihatinan negara-negara di dunia terhadap praktek diskriminasi terhadap perempuan jauh sebelumnya, yang diwujudkan dalam deklarasi dan konvensi internasional.
Salah satu deklarasi yang melandasi perlawanan terhadap diskriminasi perempuan adalah The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), oleh Majelis Umum PBB di tahun 1948. Dalam perkembangannya, konvensi yang menjadi landasan hukum tentang hak perempuan adalah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 1979. Konvensi tersebut disebut juga Konvensi Wanita, atau Konvensi Perempuan atau Konvensi CEDAW (Committee on the Elimination of Discrimination Against Women). Selanjutnya, Hak Asasi Perempuan yang merupakan Hak Asasi Manusia kembali dideklarasikan dalam Konferensi Dunia ke-IV tentang Perempuan di Beijing tahun 1995. Selanjutnya pada tahun 2000, 189 negara anggota PBB menyepakati Millennium Declaration untuk melaksanakan MDG’s (Millennium Development Goals).  Ada delapan komitmen kunci yang ditetapkan dan disepakati dalam MDGs, salah satunya tertulis dalam Tujuan 3 MDG’s yaitu mendorong tercapainya kesetaraan dan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan. (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2012).
            Esther (Elliott,2008) mendefinisikan pemberdayaan perempuan sebagai proses peningkatan kapasitas untuk menguasai sumber daya, untuk membuat keputusan tentang pilihan hidup strategis, dan untuk menantang kekuatan rezim gender yang membatasi pilihan seseorang, otonomi dan kesejahteraan pada saat mencari untuk mencapai hasil hidup yang diinginkan. Inti dari konsep pemberdayaan perempuan adalah membangun kekuatan batin mereka dari bawah ke atas, bukan oleh proses top-down yang dipaksakan kepada mereka dari luar. Pemberdayaan ini memiliki dua dimensi pokok yaitu dimensi diri sendiri untuk individu perempuan dan dimensi kolektif dengan yang lain dalam rangka mobilisasi dan aksi. Tujuan utama pemberdayaan perempuan adalah transformasi ketika perempuan, secara individual maupun kolektif, terlibat dalam introspeksi diri, menyuarakan kebutuhan dan kepentingan mereka, dan menjadi agen yang aktif untuk mengubah kekuatan hubungan dan ketimpangan sosial.
            Konteks hukum negara kita sebenarnya telah mengakomodir kesetaraan gender terutama seperti yang terlihat dalam pasal 27 UUD 1945. Sayangnya masih banyak UU juga yang memperlihatkan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Tidak hanya itu, berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2012,  telah teridentifikasi ada sekitar 282 peraturan daerah yang diduga bias gender. Sejumlah peraturan perundangan tersebut tidak mampu mengakomodir kesetaraan gender yang telah dijamin oleh UUD. Langkah-langkah dalam perbaikan tatanan hukum tentu harus dilaksanakan secara terintegrasi.
            Langkah-langkah hukum kemudian tidak begitu saja bisa menjawabi persoalan diskriminasi terhadap perempuan sebab bisa jadi langkah-langkah tersebut justru melemahkan bahkan menghapuskan dimensi budaya tertentu yang sangat tinggi nilainya terhadap jati diri bangsa Indonesia yang tergambar dalam semboyan kebinekaan. Apalagi kita menyadari bahwa ragam kultur di Indonesia sangat bervariasi dan begitu banyak jumlahnya yang tidak dapat didekati oleh satu tataran hukum yang universal. Itulah sebabnya ada banyak UU dan PP yang masih diperdebatkan dan belum dilaksanakan secara optimal. Dalam kondisi semacam ini maka kita butuh pendekatan yang lain yaitu pendekatan kultural dalam upaya pemberdayaan terhadap kaum perempuan di Indonesia. Alasan mendasarnya adalah bahwa pendekatan ini lebih mungkin diterima masyarakat dimana bias gender ini cenderung lebih dominan pada masyarakat yang masih tradisional seperti masyarakat di wilayah pedesaan dan di wilayah-wilayah tertinggal.
            Yang harus dilakukan dengan pendekatan budaya ini adalah menafsirkan dan menjelaskan representasi budaya. Dalam antropologi, yang perlu ditafsirkan adalah representasi budaya yang bersifat kolektif yang dikaitkan dengan sebuah kelompok sosial secara keseluruhan. Sedangkan penjelasan tentang representasi budaya dapat dilihat dalam dua pengertian yaitu membuat ia menjadi jelas  dan untuk menunjukkan bagaimana hasil dari mekanisme yang relatif umum di tempat kerja dalam situasi khusus yang diberikan. (Sperber,1996).

KESIMPULAN

            Berdasarkan alur pikir tentang budaya sebagai sebuah proses umum dari perkembangan intelektual, spiritual dan estetika, budaya sebagai cara hidup tertentu baik itu seseorang, kelompok orang maupun cara hidup pada periode tertentu, dan budaya yang merujuk kepada karya dan praktek intelektual, terutama kegiatan artistik, maka konteks pemberdayaan perempuan Lamaholot tidak saja menggunakan pendekatan hukum formal yang terbukti belum mampu mengangkat martabat perempuan melainkan dibutuhkan juga pendekatan kultural. Pendekatan kultural ini lebih bisa  diterima oleh masyarakat sebab ia mampuh menginterpretasikan dan menjelaskan representasi budaya Lamaholot yang dapat ditemukan dalam wujud ritus-ritus adat mulai dari prakelahiran sampai dengan pascakematian, dalam wujud hubungan sosial dan kekerabatan di dalam masyarakat,  dalam wujud cara hidup kelompok suku dan juga dalam wujud karya-karya artistik seperti sarung tenun, musik tradisional serta tarian-tarian tradisional.
            Interpretasi dan penjelasan tentang representasi budaya Lamaholot akan memberikan gambaran yang sebenarnya dari kultur tersebut sehingga setiap orang yang terlibat dalam usaha pemberdayaan bagi perempuan Lamaholot mampuh menemukan cara terbaik untuk membangun kekuatan batin bagi perempuan Lamaholot baik secara individu maupun kelompok agar mereka mampuh memiliki kapasitas untuk menguasai sumber daya, untuk membuat keputusan tentang pilihan hidup strategis bagi diri mereka, dan untuk menantang kekuatan rezim gender yang membatasi pilihan seorang perempuan, yang membatasi otonomi perempuan dan yang membatasi usaha mencapai kesejahteraan sebagai cita-cita hidup yang diinginkan. Lebih jauh lagi, interpretasi dan penjelasan tentang representasi budaya Lamaholot mampuh memberikan kesadaran kepada perempuan Lamaholot sendiri tentang jati diri mereka yang sebenarnya sebab terbukti bahwa nilai belis yang tinggi sebenarnya mau menunjukkan posisi perempuan sebagai pribadi yang harus dijunjung tinggi. Tingginya nilai seorang perempuan juga dapat ditemukan dalam interpretasi bahasa yang ada dalam syair-syair adat misalnya istilah puken tawan wai matan. Kiranya korelasi pemberdayaan perempuan dalam konteks budaya Lamaholot yang menawarkan pendekatan kultural dalam tulisan ini dapat menyegarkan pikiran para praktisi dan pemikir pemberdayaan perempuan untuk mampu mengambil langkah yang tepat dalam upaya pemberdayaan kita.


DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Elliott, Carolyn M.(Edt.); 2008. Global Empowerment of Women. Responses to Globalization and Politicized Religions, Routledge, New York.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 2012. Pembangunan      Manusia Berbasis Gender 2012, CV. Permata Andhika, Jakarta.
Magdalena G.,Maria;2004. Hak dan Peranan Wanita Dalam Hukum Perkawinan Adat Lamaholot (Skripsi), Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta.
Malinowski, Bronislaw; 1960. A Scientific Theory of Culture and Other Essays, Oxford     University Press, NewYork.
Sperber, Dan; 1996. Explaining Culture, A Naturalistic Approach, Blackwell Publishing, Oxford, Inggris.
Storey, John; 2009.  Cultural Theory and Popular Culture,  An Introduction (Fifth edition),            Pearson Education Limited, Edinburgh Gate, England.

Jurnal :

Barnes, R.H.; 2009. A temple, a mission, and a war (Jesuit missionaries and local culture in East Flores in the nineteenth century), Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) 165-1 (2009):32-6, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.

Website:

Kornelis Kewa Ama; 2012. Tuno Manuk, Harmonisasi Langit dan Alam Semesta. Website:                                 http://nasional.kompas.com.  Diakses tanggal 6 April 2013.
Sholihatun Najidatil Umam; 2011. Tahap Perkembangan Intelektual August Comte. Website:                 http://didanel.wordpress.com.  Diakses tanggal 6 April 2013.

Yogi Making;2013. Tenun Ikat Warisan Budaya yang Kian Hilang. Website: http://www.floresbangkit.com. Diakses tanggal 6 April 2013.

Yusuf Efendi;2010. Hoing Temodok: Upacara Penyucian Diri Ibu Hamil Suku Lamaholot NTT. Website: http://melayuonline.com. Diakses tanggal 6 April 2013.