Kamis, 11 April 2013

SUSTAINABLE DEVELOPMENT DAN PERAN MEDIA DI INDONESIA


PENDAHULUAN
McPhail (2009) dalam bukunya Development Communication, Reframing the Role of the Media, mendefinisikan komunikasi pembangunan sebagai proses intervensi secara sistematis atau strategis melalui salah satu media (cetak, radio, telepon, video, dan internet), atau melalui pendidikan (pelatihan, literasi, sekolah) untuk tujuan menghasilkan suatu  perubahan sosial yang positif. Karena lokus dari studi pembangunan berada di negara-negara dunia ketiga atau negara-negara berkembang maka komunikasi pembangunan juga memiliki lokus yang sama.
Mengacu pada pengertian di atas, kita dapat berasumsi bahwa keberhasilan perubahan sosial yang positif sebagai tujuan dari intervensi sistematis atau strategis sangat bergantung pada  media maupun model pendidikan yang digunakan.  Perubahan sosial dapat terwujud apabila ada ketepatan dan kecermatan dalam perencanaan media maupun implementasi model pendidikan. Sering terjadi, perubahan sosial tidak dapat terwujud bukan karena perencanaannya keliru melainkan karena pengabaian terhadap peran media bagi keberhasilan suatu perubahan sosial. Ada indikasi kecenderungan mengadopsi media yang seragam untuk semua situasi maupun semua kultur yang berbeda, termasuk di dalamnya memakai media yang sama untuk setiap jenis perubahan sosial yang diinginkan. Padahal semestinya pemilihan media yang tepat wajib mempertimbangkan aspek-aspek seperti kultur masyarakat, situasi dan kondisi masyarakat setempat, serta jenis perubahan yang dikehendaki.
Untuk membahas lebih dalam tentang peran media di atas maka tulisan ini akan menggambarkan tentang peran media dalam komunikasi pembangunan serta bagaimana implementasinya di Indonesia secara khusus dalam kaitannya dengan isu pembangunan yang sedang banyak didiskusikan yaitu isu lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Kita akan melihat terlebih dahulu tentang apa itu pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebagai sebuah model pembangunan, selanjutnya melihat fakta implementasinya di Indonesia serta menganalisis peran media sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan implementasinya.
  
SUSTAINABLE DEVELOPMENT MODEL
            Pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) adalah pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pada saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Definisi ini dikemukakan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 dalam laporannya yang berjudul  Our Common Future. (Brandon dan Lombardi, 2005). However Brundtland kemudian menegaskan bahwa pada dasarnya pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses perubahan dimana eksploitasi sumber daya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi dan perubahan kelembagaan semuanya dijalankan secara selaras serta dapat meningkatkan potensi saat ini dan masa depan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Sebagai suatu proses; bukan suatu tujuan akhir, pembangunan berkelanjutan terbuka untuk suatu ruang belajar dan adaptasi dimana semua orang dapat membangun persepsi masa depannya sesuai kebutuhannya dalam harmoni yang seimbang dengan kebutuhan orang lain baik pada masa sekarang maupun masa yang akan datang.
            Banyak definisi dan interpretasi kemudian muncul atas satu konsep yang sama di atas baik dalam perdebatan-perdebatan pada konferensi internasional maupun melalui tulisan-tulisan ilmiah. Berikut dikemukakan beberapa contoh definisi maupun interpretasi yang dikumpulkan oleh Jennifer A. Elliott dalam bukunya An Introduction to Sustainable Development, Third edition (2006).
In principle, such an optimal (sustainable growth) policy would seek to maintain an “acceptable” rate of growth in per-capita real incomes without depleting the national capital asset stock or the natural environmental asset stock. (Turner, 1988: 12).
The net productivity of biomass (positive mass balance per unit area per unit time) maintained
over decades to centuries.(Conway, 1987: 96).
Development that meets the needs of the present without compromising the ability of future
generations to meet their own needs. (World Commission on Environment and Development,1987: 43).
A creatively ambiguous phrase . . . an intuitively attractive but slippery concept. (Mitchell, 1997: 28).
Like motherhood, and God, it is difficult not to approve of it. At the same time, the idea of sustainable development is fraught with contradictions. (Redclift, 1997: 438).
It is indistinguishable from the total development of society. (Barbier, 1987: 103).
Its very ambiguity enables it to transcend the tensions inherent in its meaning. (O’Riordan, 1995: 21).
Sustainable development appears to be an over-used, misunderstood phrase. (Mawhinney, 2001: 5).

Banyaknya perdebatan tersebut bahkan memunculkan pesimisme bahwa pembangunan berkelanjutan tidak mungkin dapat diaplikasikan secara global; padahal butuh kesadaran global untuk mengimplementasikan model ini sebab kondisi keterbatasan sumber daya dan juga perubahan iklim dunia sebagai alasan yang mendasari munculnya konsep keberlanjutan tidak akan signifikan jika hanya diimplementasikan dalam ruang lingkup lokal atau regional.
            Pesimisme di atas terbantahkan oleh apa yang ditunjukkan oleh Jeffrey Sayer dan Bruce Campbell (2004), dua orang praktisi lingkungan hidup; tentang contoh sukses penelitian dan manajemen terpadu yang pernah dikembangkan di berbagai negara di dunia, dimana kunci suksesnya terletak pada adaptasi manajemen dengan lingkungan penelitiannya. Mereka bahkan mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan di sana yakni:
1.      Dalam jangka pendek, pendekatan terpadu dalam pengelolaan sumber daya alam akan lebih mahal dibandingkan berbasiskan pendekatan-pendekatan sektor atau disiplin. Dalam jangka panjang, pendekatan terpadu lebih cenderung untuk menghasilkan sistem manajemen yang berkesinambungan, lembaga yang kuat dan lebih berdasar pada sumber daya alami yang baik.
2.      Kita tidak pernah tahu cukup banyak tentang sistem sumber daya alam untuk dapat mengelolanya dengan pasti. Oleh karena itu, intervensi manusia harus selalu eksperimental dan harus memberikan kontribusi untuk belajar tentang sistem.
3.      Pengetahuan yang dibutuhkan untuk pembelajaran dan adaptasi manajemen terakumulasi perlahan-lahan. Waktu dan sumber daya yang diinvestasikan dalam belajar akan menentukan seberapa cepat perkembangan yang berarti akan terjadi.
4.      Pendekatan terpadu dalam ilmu sumber daya alam tidak akan menghasilkan resep yang tepat bagi manajer, tetapi mereka akan membantu manajer untuk membuat keputusan yang tepat dan bahkan lebih penting untuk belajar dari kesalahan mereka.
5.      Keberhasilan penerapan ilmu pengetahuan untuk pengelolaan sumber daya alam memerlukan perubahan hubungan antara ilmuwan dan manajer sumber daya lokal. Pengetahuan ilmiah formal dan pengetahuan lokal harus dipadukan dalam kerangka manajemen adaptasi. Semua manajemen harus diperlakukan sebagai eksperimen dan peran ilmu adalah untuk belajar dari percobaan ini.
Apa yang dikemukakan keduanya ini mau menegaskan bahwa sustainable development bukan sekedar idealisme yang muncul dari kesadaran akan masa depan melainkan interdependensi dari seperangkat sistem nilai yang berbeda secara substansial dalam satu kesatuan sistem global. Tiga pilar utama yang menjadi penopang idealisme harmoni pembangunan berkelanjutan tersebut adalah masyarakat, ekonomi dan lingkungan. Apapun konteksnya, idenya tetap berasal dari sumber yang sama yaitu manusia, habitatnya dan sistem ekonomi yang digunakan yang saling berkaitan satu sama lain.

IMPLEMENTASI DAN PERAN MEDIA
            Dalam konteks implementasi sustainable development di Indonesia, kita akan fokus pada peran media sebagai penentu keberhasilannya. Oleh karena itu kita juga perlu memahami esensi media dalam komunikasi pembangunan. Media dan teknologi informasi merupakan bagian penting dari komunikasi pembangunan yang berfungsi sebagai pendukung pembangunan itu sendiri. Kesalahan dalam pemanfaatan media akan berakibat fatal bagi kemajuan dari pembangunan.
            Pemanfaatan media dalam pembangunan dapat dilakukan melalui dua level yaitu pertama, media massa seperti televisi, radio dan media cetak dalam kampanye yang bertujuan untuk menginduksi adopsi inovasi atau perubahan lain dalam perilaku dan yang kedua melalui media komunitas terutama menggunakan radio atau ekspresi tradisional rakyat seperti teater yang berkaitan dengan menyuarakan dan mewakili berbagai segmen masyarakat setempat. (Mefalopulos, 2008). 
            Di dalam model sistem media, dikenal ada tiga aliran yang berkembang di dunia yaitu model liberal, model demokratis korporatis dan model pluralis terpolarisasi. (Hallin dan Mancini, 2004).  Di dalam model liberal, peran sosial negara relatif sedikit sedangkan peran pasar dan sektor privat relatif lebih banyak. Sekalipun demikian, bagaimanapun juga negara selalu memainkan peran penting dalam pengembangan masyarakat kapitalis,  dan perannya dalam pengembangan media penting bahkan dalam masyarakat yang paling liberal sekalipun. Hubungan antara negara dan media tidak semata-mata dalam hal regulasi, subsidi, dan kepemilikan negara, tetapi juga melibatkan aliran informasi termasuk gambar, simbol, dan kerangka interpretasi. Hubungan keduanya merupakan hubungan yang saling membutuhkan dimana kedekatan hubungan antara media berita dan negara sangat dipengaruhi oleh perkembangan  keamanan nasional negara. Sementara itu dalam model demokratis korporatis, negara-negara korporatis demokrat juga cenderung untuk kuat menggabungkan perlindungan bagi kebebasan pers dengan tingkat signifikansi peraturan yang mencerminkan asumsi bahwa media massa juga adalah lembaga sosial, bukan hanya bisnis swasta. Dan yang terakhir, di negara-negara korporatis demokrat, peran negara dalam sistem media sangat besar. Peran negara juga kompleks; mencerminkan kombinasi dari tradisi intervensi otoriter dan tradisi demokratis negara kesejahteraan. Negara juga berperan sebagai pemilik perusahaan media. Dengan demikian maka negara memiliki otoritas penuh atas media yang dimilikinya serta memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhannya.
            Di Indonesia, kita telah memiliki UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dimana pada pasal 4 dikatakan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara (ayat 1), terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran(ayat 2), untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi(ayat 3), dan pada ayat ke-4 dikatakan bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Secara keseluruhan, UU ini memberikan kebebasan kepada pers untuk menjalankan fungsinya tanpa ada intervensi dari negara.
Dilema yang muncul   dengan adanya kebebasan pers di Indonesia adalah bahwa pemerintah tidak dengan mudah memanfaatkan media massa sebagai saluran untuk melakukan komunikasi pembangunan sesuai dengan kemauannya sendiri. Media massa memiliki cara pandangnya sendiri terhadap pembangunan, bahkan secara abstrak ia punya kuasa untuk membangun opininya sendiri dan menggiring publik untuk sejalan dengan opini yang ia bangun. Dalam hal model pembangunan berkelanjutan sebagaimana sudah dijelaskan di atas, media massa di Indonesia semakin sulit dimanfaatkan untuk mengkomunikasikannya kepada masyarakat. Beberapa alasan yang bisa diajukan di sini yaitu:
1.   Secara substantif sustainable development telah membatasi ruang gerak pasar produksi dimana media massa merupakan tempat promosi paling ampuh bagi produk yang dihasilkan.
2.  Dari perspektif ekonomi, media massa pasti akan lebih memberikan prioritas kepada informasi yang lebih banyak mendatangkan pendapatan bagi perusahaan media ketimbang pada informasi model pembangunan yang objek pasarnya hanya terbatas pada kalangan tertentu yang sangat minim jumlahnya, sebab sistem pasar akan berlaku di sini.
3.  Media massa di Indonesia banyak dijadikan sebagai wahana perjuangan politik oleh kelompok-kelompok tertentu sehingga independensinya semakin diragukan. Bagi media yang dimiliki oleh kelompok yang sejalan dengan rezim yang sedang berkuasa, ia dapat dijadikan corong bagi komunikasi pembangunan; itupun setidaknya dengan motivasi melanggengkan kekuasaan, bukan hanya untuk tujuan pembangunan. Di lain pihak jika media massa dikuasai oleh oposisi rezim maka jelas yang akan dilakukan adalah memanfaatkan media tersebut untuk membangun basis politiknya sendiri, menarik simpati massa dan juga memberikan opini negatif terhadap konsep dan implenetasi pembangunan yang sedang dijalankan.

PENUTUP
            Dalam kondisi sebagaimana dikemukakan di atas, ada dua rekomendasi yang dapat menjadi pilihan bagi pemerintah Indonesia dalam memanfaatkan media untuk mengkomunikasikan model pembangunan berkelanjutan yaitu:
1.      Memanfaatkan pilihan media yang lain untuk sarana komunikasi pembangunan yaitu media komunitas. Media ini memang sudah banyak dipakai selama ini namun perlu kreatifitas untuk mengembangkan media ini agar tidak monoton dan lebih menarik bagi masyarakat dalam membangun keterlibatan mereka.
2.      Memanfaatkan media massa untuk komunikasi pembangunan namun dibutuhkan perencanaan media yang tepat agar apa yang hendak dikomunikasikan dapat dikemas dalam bentuk yang lebih kompetitif dengan pesan lain yang selalu mendominasi pasar media massa. Pemerintah bisa memanfaatkan orientasi ekonomi pada media massa untuk menjadikan pesan pembangunan dapat diterima secara baik oleh pasar media massa.


DAFTAR PUSTAKA
McPhail, Thomas L. (Edit.);2009. Development Communication, Reframing the Role of the Media, Blackwell Publishing Ltd, United Kingdom.
Brandon, Peter S. & Lombardi, Patrizia;2005. Evaluating Sustainable Development In The Built Environment, Blackwell Science Ltd, Oxford, United Kingdom.
Elliott, Jennifer A.;2006.  An Introduction to Sustainable Development, Third edition. Routledge, Abingdon, Oxon.
Sayer,Jeffrey & Campbell,Bruce;2004. The Science of Sustainable Development, Local Livelihoods and the Global Environment, Cambridge University Press, Cambridge,United Kingdom.
Mefalopulos,Paulo; 2008.  Development Communication Sourcebook,Broadening the Boundaries of Communication,The World Bank, Washington DC, USA.
Hallin,Daniel C.& Mancini,Paolo; 2004. Comparing Media Systems, Three Models Of Media And Politics, Cambridge University Press, Cambridge,United Kingdom.
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar