Senin, 26 November 2012

Ebang, rumah adat Kedang

Ebang, rumah adat Kedang yang berfungsi ganda (Foto: Kornelis Rahalaka/FBC)
LEWOLEBA, FBC- Bagi masyarakat Kedang, Kabupaten Lembata, Propinsi Nusa Tenggara Timur, Ebang atau rumah adat khas merupakan bentuk identitas diri yang tak bisa terpisahkan dari kehidupan masyarakat Kedang.
Rumah adat lebih khusus rumah adat khas orang Kedang ini dapat kita jumpai hampir di semua kampung dan desa di wilayah ini. Hampir di setiap keluarga memiliki bangunan unik berbentuk lonjong bersegi empat ini.
Ebang memiliki beberapa fungsi baik sebagai tempat untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan berbagai persoalan juga sebagai lumbung pangan, tempat untuk menyimpan hasil panen.
Karenanya melalui tempat ini, segala urusan yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial seperti masalah adat istiadat mereka selesaikan di tempat ini. Para tetua adat dari suku-suku setempat datang duduk bersama untuk membahas dan menyelesaikan semua persoalan secara arif dan bijaksana.
Selain sebagai tempat untuk bermusyawarah, Ebang berfungsi strategis untuk menyimpan hasil panen. Biasanya, pangan disimpan di loteng yang terbagi dalam bilik-bilik kamar berukuran kecil terbuat dari bambu atau papan. Di tempat ini tersimpan berbagai jenis pangan seperti padi, jagung dan kacang-kacangan.
Keberadaan Ebang sangat penting terutama di masa-masa sulit atau krisis pangan. Bila krisis pangan terjadi dan berlangsung lama akibat perubahan iklim atau bencana alam lainnya maka mereka akan mengambil dari stok pangan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, ketersediaan pangan juga sangat berguna untuk membatu warga lain yang berkekurangan.
Selain sebagai tempat musyawarah, Ebang juga merupakan simbol perdamaian dan pemersatu keluarga dan masyarakat. Biasanya, dalam urusan adat, pejabat pemerintah turut diundang hadir untuk menyaksikan penyelesaian adat oleh para tetua adat. Di tempat ini semua masalah akan dibicarakan secara terbuka dan dalam suasana kekeluargaan dan persaudaraan.
Hasil musyawarah akan disampaikan kepada semua pihak terutama pihak-pihak yang terkait dengan sengketa atau masalah social itu. Semua persoalan akan diselesaikan secara adil karena semua pihak akan diperlakukan secara setara, adil dan bermartabat dengan memperhatikan kepentingan baik korban maupun pelaku.
Di beberapa kampung, hukum dan sanksi adat masih diberlakukan sehingga membuat warga yang melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum adat akan merasa jerah. Pada umumnya, sanksi adat diberikan dalam bentuk gong atau gading dengan sejumlah hewan jika masalah tersebut berkaitan dengan urusan kawin mawin seperti si pemuda menghamili anak gadis orang lain tetapi tidak mau bertanggung jawab. Atau saksi adat juga bisa diberikan dalam bentuk sumbangan batu, pasir atau semen untuk pembanguan desa apabila pelanggaran-pelanggaran tersebut berkaitan dengan masalah pemerintahan dan kemasyaratan pada umumnya.
Bangunan Ebang biasanya terbuat dari bahan lokal seperti kayu berbentuk balok atau bambu dengan atap dari rumput alang-alang. Beberapa tahun belakangan ini, di sejumlah kampung atap Ebang diganti dengan seng. Bangunan Ebang dilengkapi pula sebuah bale-bale besar, tempat untuk bermusyawarah.
Bangunan Ebang terdiri dari 4 tiang/tonggak utama dilengkapi dengan lawen (papan berbentuk bundar) berfungsi untuk menahan hama tikus atau biinatang pengerat lainnya agar tidak masuk ke dalam lumbung.
Usia bangunan Ebang bisa mencapai puluhan tahun tergantung dari perawatan. Bila ada kerusakan maka penduduk setempat secara bergotong royong melakukan perbaikan, entah kerusakan atap atau pada bagian lainnya. Sifat kegotong royongan di daerah ini masih cukup terpelihara meskipun perlahan mulai terkikis oleh arus perkembangan zaman.
Ebang meskipun merupakan salah satu kekhasan masyarakat Kedang, namun keberadaannya selalu dalam bayangan akan ancaman modernisasi. Karena itu adalah kewajiban  semua pihak untuk menjaga dan merawat tradisi unik ini sebelum hilang ditelan arus perubahan zaman. (Kornelius Rahalaka)

Jumat, 16 November 2012

KONFLIK DAN MEMBANGUN KEBERSAMAAN ATAS DASAR KEPERCAYAAN DI DALAM ORGANISASI



PENDAHULUAN
            Perspektif politik dalam organisasi menggambarkan bahwa organisasi merupakan wilayah dimana berbagai kepentingan menyatu dan saling berbenturan dalam proses politik yang terus-menerus meningkat. Proses politik di dalam organisasi berkisar antara berbagai isu dan kekhawatiran yang dapat membawa berbagai jenis kelompok ke dalam konflik langsung satu dengan yang lain (Hatch, 1997). Cara pandang ini menunjukkan bahwa di dalam organisasi, konflik dapat terjadi karena adanya proses politik yang melibatkan berbagai kelompok kepentingan yang memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Biasanya  kepentingan-kepentingan setiap kelompok itu selalu berbeda-beda dan bahkan saling bertentangan. Gareth R. Jones mengatakan bahwa konflik organisasional merupakan bentrokan yang terjadi ketika tujuan yang diarahkan oleh perilaku satu kelompok terhalang atau terbentur oleh tujuan dari kelompok yang lain (Winardi,2011). Selanjutnya Winardi (2011) juga menjelaskan;  mengingat bahwa tujuan-tujuan, preferensi-preferensi dan kepentingan-kepentingan para kelompok kepentingan berbeda-beda maka konflik merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindari pada organisasi-organisasi.
            Berhadapan dengan situasi di atas maka peran seorang pemimpin menjadi sangat urgen dalam rangka membangun kesamaan persepsi ke arah tujuan organisasi dengan tidak mengabaikan kepentingan-kepentingan individu dan kelompok yang ada di dalam satu organisasi. Seorang pemimpin perlu membangun kebersamaan yang didasarkan atas rasa kepercayaan bersama anggota agar tujuan organisasi dapat tercapai. Pertanyaan selanjutnya adalah apabila suatu konflik tidak dapat dihindari maka bagaimana sikap seorang pemimpin ketika berhadapan dengan konflik di dalam organisasi serta bagaimana pemimpin tersebut dapat membangun kebersamaan yang dilandasi oleh sikap saling percaya di dalam organisasi? Untuk menjawabi pertanyaan tersebut maka tulisan ini akan menjelaskan tentang apa itu konflik di dalam organisasi, bagaimana konflik tersebut dimanage dan pokok-pokok pikiran bagi seorang pemimpin dalam membangun kebersamaan.
  
KONFLIK DALAM ORGANISASI
            Ada berbagai pengertian tentang konflik, baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit yaitu konflik yang ada di dalam organisasi. Dalam arti luas, Clinton F. Fink (Kartini Kartono,2011) mengemukakan dua pandangannya tentang konflik. Pertama, konflik adalah relasi-relasi psikologis yang antagonistis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan interest-interest eksklusif dan tidak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan dan struktur-struktur nilai yang berbeda. Kedua, konflik adalah interaksi yang antagonistis, mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas, mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tidak langsung; sampai pada bentuk perlawanan terbuka, kekerasan, perjuangan tidak terkontrol, benturan laten, pemogokan, huru-hara, makar, gerilya, perang dan lain-lain. Sedangkan dalam arti sempit; Stoner, J.A.F. dan Freeman (Wahyudi,2011) berpendapat bahwa konflik organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumber daya yang langka atau perselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi atau kepribadian. Pendapat lain dikemukakan oleh Stoner dan Wankel dalam Wahyudi (2011), bahwa konflik organisasi adalah ketidaksesuaian antara dua orang anggota organisasi atau lebih yang timbul karena fakta bahwa mereka harus berbagi dalam hal mendapatkan  sumber-sumber daya yang terbatas atau aktifitas-aktifitas pekerjaan dan atau karena fakta bahwa mereka memiliki status, tujuan, nilai-nilai atau persepsi yang berbeda.
            Berdasarkan pengertian di atas maka menurut Wahyudi (2011), suatu organisasi yang sedang mengalami konflik dalam aktifitasnya menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Terdapat perbedaan pendapat atau pertentangan antar individu atau kelompok.
2. Terdapat perselisihan dalam mencapai tujuan yang disebabkan adanya perbedaan persepsi dalam menafsirkan program organisasi.
3. Terdapat pertentangan norma dan nilai-nilai individu maupun kelompok.
4. Adanya sikap dan perilaku saling meniadakan, menghalangi pihak lain untuk memperoleh kemenangan dalam memperebutkan sumber daya organisasi yang terbatas.
5. Adanya perdebatan dan pertentangan sebagai akibat munculnya kreatifitas, inisiatif atau gagasan-gagasan baru dalam mencapai tujuan organisasi.
Pengenalan akan ciri-ciri tersebut akan membantu kita memahami permodelan-permodelan konflik yang dikemukakan oleh para ahli. Salah satu model yang akan dikemukakan di bawah ini berasal dari Louis R. Pondy yang memandang konflik sebagai sebuah proses yang terdiri dari lima macam episode sekuensial atau tahapan-tahapan. Model konflik Pondy memberikan banyak petunjuk tentang bagaimana cara mengendalikan dan memanaje konflik di dalam suatu organisasi (Winardi,2011).
1. Tahapan Pertama:  Konflik Laten
Pada tahapan ini, tidak terdapat konflik terbuka, namun potensi munculnya konflik tetap ada karena berbagai macam faktor walaupun ia bersifat laten; dan biasanya hal ini disebabkan oleh cara suatu organisasi beroperasi.
2. Tahapan Kedua: Konflik Yang Dipersepsi
Subunit-subunit makin menyadari adanya konflik dan mereka mulai menganalisisnya. Konflik bereskalasi sewaktu kelompok – kelompok bertengkar tentang konflik.
3. Tahapan Ketiga: Konflik Yang Dirasakan
Subunit-subunit bereaksi secara emosional terhadap satu sama lain dan sikap-sikap mulai terpolarisasi. Apa yang semula timbul sebagai masalah kecil bereskalasi menjadi konflik besar.
4.  Tahapan Keempat: Konflik Termanifestasi
Subunit-subunit berupaya untuk bertempur. Pertempuran dan agresi terbuka bersifat umum dan efektifitas keorganisasian menyusut.
5.  Tahapan Kelima: Setelah Konflik Usai
Konflik diselesaikan dengan cara yang menyebabkan subunit-subunit merasa ingin menentang atau ingin bekerja sama.
            Berdasarkan model di atas maka dapat diidentifikasi lima macam sumber-sumber konflik potensial menurut Pondy. Identifikasi ini berguna untuk menentukan dengan cara apa suatu konflik dapat diselesaikan dalam suatu organisasi.
Pertama, Interdependensi:
Mengingat bahwa aktivitas-aktivitas subunit-subunit yang berbeda bersifat interdependen, maka hasrat subunit-subunit untuk mencapai otonomi menyebabkan timbulnya konflik antara kelompok-kelompok.
Kedua, Perbedaan dalam tujuan dan prioritas:
Masing-masing subunit mengejar tujuan-tujuan yang berbeda yang sering tidak      konsisten atau tidak sesuai sehingga muncul  potensi konflik.
Ketiga, Faktor-faktor birokratik:
Cara dengan apa hubungan-hubungan tugas berkembang di dalam organisasi dimana terjadi ketidakkonsistenan status antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam birokrasi organisasi yang bersangkutan.
Keempat, Kriteria kinerja yang tidak sesuai:
Konflik terjadi karena cara organisasi melaksanakan monitoring, evaluasi dan memberikan imbalan-imbalan yang berbeda kepada masing-masing subunit.
Kelima, Persaingan mencapai sumber daya yang langka:
Sumber daya yang langka menyebabkan setiap unit bertarung mendapatkan lebih   banyak bagian dari modal yang dialokasikan kepada mereka.
            Selain kelima sumber konflik di atas, Stephen P. Robbins juga mengemukakan tiga kategori umum sebagai penyebab atau sumber konflik yaitu komunikasi, struktur dan faktor pribadi. Sumber komunikasi merupakan penyebab konflik yang muncul dari kesulitan semantik, kesalahpahaman dan hambatan dalam saluran komunikasi. Struktur sebagai sumber konflik meliputi variabel ukuran, tingkat kerutinan, spesialisasi dan standardisasi tugas yang dibebankan pada anggota kelompok, keheterogenan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem penghargaan dan tingkat ketergantungan antar kelompok. Sementara itu faktor pribadi yang paling penting untuk dilihat sebagai sumber konflik yaitu keistimewaan dan perbedaan sistem nilai individu.
 Menurut Robbins (2002), dampak dari suatu konflik dalam organisasi bisa fungsional maupun disfungsional. Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung tujuan kelompok dan memperbaiki kinerjanya sedangkan konflik disfungsional cenderung destruktif dan menghalangi kinerja kelompok. Ia kemudian mengemukakan tiga transisi pemikiran tentang konflik yaitu pandangan tradisional, pandangan hubungan kemanusiaan dan pandangan interaksionis. Pandangan tradisional melihat bahwa konflik merupakan sesuatu yang buruk dan harus dihindari yang merupakan akibat dari komunikasi yang buruk, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan di antara individu dan kegagalan para manejer untuk menanggapi kebutuhan dan aspirasi para karyawannya. Pandangan hubungan kemanusiaan berpendapat bahwa konflik merupakan kejadian alamiah dalam seluruh kelompok dan organisasi dan tidak dapat dihindari. Oleh karena itu pandangan ini merekomendasikan agar konflik itu diterima. Sedangkan Pandangan Interaksionis tidak hanya menerima konflik sebagai sesuatu yang alamiah melainkan mendorong adanya konflik dengan alasan bahwa suatu kelompok yang harmonis, damai, tenang dan kooperatif dapat menjadi kelompok yang statis, apatis dan tidak tanggap pada kebutuhan untuk melakukan perubahan dan inovasi.
            Melalui pemahaman tentang pengertian, ciri-ciri, model, sumber-sumber serta dampak dari konflik di dalam organisasi maka kita dapat merekomendasikan kepada pemimpin dalam organisasi bagaimana cara menangani konflik di dalam organisasi.
1.  Menggunakan pendekatan pemimpin yang interaksional. (Kartini Kartono,2011)
2. Menggunakan Conflict Reduction Methods dan Conflict Resolution Methods oleh Stoner dan Freeman. (Winardi,2011)
3. Menggunakan lima pendekatan penanganan konflik Robbins (2002).
4. Menggunakan alat-alat manajemen konflik. (Kartini Kartono,2011)
Pendekatan pemimpin yang interaksionis bersumber dari pemahaman akan  pandangan interaksionis tentang konflik dimana konflik dilihat dapat memperkokoh fundamen organisasi dan dapat melancarkan fungsi organisasi berkat adanya introspeksi, refleksi, wawasan kembali,revisi dan reorganisasi. Oleh karena itu tugas seorang pemimpin moderen bukan menciptakan harmoni/keselarasan yang statis tetapi harus dapat memaksimalkan seni dan manajemen konflik atau seni memimpin dalam situasi dan kondisi konflik. Seorang pemimpin di puncak hirarki lebih banyak bertindak sebagai wasit atau pemutus pertentangan/konflik dalam organisasi serta mengurangi ketegangan yang ditimbulkan oleh macam-macam konflik.
Dalam kaitan dengan fungsi pemimpin tersebut maka seorang pemimpin dapat memanfaatkan alat-alat bagi manajemen konflik yaitu:
1.      Memecahkan masalah melalui sikap koperatif
2.      Mempersatukan tujuan
3.      Menghindari konflik
4.      Ekspansi dari sumber energi
5.      Memperhalus atau memperlunak konflik
6.      Kompromi
7.      Tindakan otoriter
8.      Mengubah struktur organisasi dan struktur individual
Bukanlah perkara mudah untuk memanfaatkan alat-alat di atas terutama dalam usaha merangsang dan mengembangkan konflik sebab untuk dapat melakukannya, dibutuhkan jiwa yang dinamis,kreatif, berani, bertanggung jawab dan berdedikasi penuh pengabdian dari pribadi seorang pemimpin yang berkarakter kuat.
            Stoner dan Freeman juga menawarkan dua metode dalam penanganan konflik yakni metode untuk mengurangi konflik dan metode untuk menyelesaikan konflik. Tiga metode yang dipakai untuk mengurangi konflik yaitu: Pertama, masing-masing kelompok yang berkonflik diberi informasi yang menguntungkan tentang kelompok yang berhadapan dengan mereka. Kedua, kontak sosial yang menyenangkan antara kelompok-kelompok diintensifkan dengan jalan makan bersama atau nonton bersama. Ketiga, pemimpin-pemimpin kelompok diminta untuk bernegosiasi dan memberikan informasi positip tentang kelompok yang berhadapan dengan kelompok mereka. Sementara itu metode untuk menyelesaikan konflik dapat dilakukan dengan dominasi atau supresi, kompromis dan pemecahan problem secara integratif. Supremasi dan dominasi dapat terjadi melalui cara-cara memaksakan, meredakan, menghindari dan penyelesaian melalui suara terbanyak sedangkan pemecahan problem secara integratif dapat menggunakan tiga metode yakni konsensus, konfrontasi dan penggunaan tujuan-tujuan superordinat.
Cara lain yang dianjurkan di sini yakni seorang pemimpin dapat memanfaatkan lima pendekatan yang dikemukakan Robbins yakni melaui kompetisi, kolaborasi, penghindaran, akomodasi dan kompromi. Kompetisi akan menghasilkan pihak yang kalah dan menang sedangkan kolaborasi akan menghasilkan pihak yang menang dan menang sebab solusi yang dicari bermanfaat untuk semua pihak. Penghindaran merupakan salah satu cara menarik diri dari konflik atau mendiamkan konflik, akomodasi merupakan cara dimana setiap pihak mencari jalan untuk memenuhi tuntutan lawan mereka sedangkan kompromi terjadi dengan cara saling tukar pendapat. Tugas pemimpin adalah menentukan pilihan yang tepat berdasarkan situasi yang sedang dialami organisasinya, dengan cara mana ia harus menyelesaikan konflik tersebut agar  kepentingan-kepentingan di dalam organisasi terpenuhi dengan tetap mengedepankan usaha ke arah pencapaian tujuan organisasi.

MEMBANGUN KEBERSAMAAN ATAS DASAR KEPERCAYAAN
            Salah satu persoalan bernegara yang muncul di Indonesia dewasa ini adalah adanya krisis kepercayaan terhadap para pemimpin bangsa. Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Saleh P Daulay mengatakan partai politik saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat karena penampilan yang tidak memuaskan dalam dunia politik. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kasus korupsi yang melibatkan politisi,sehingga  masyarakat menjadi antipati terhadap partai politik. Menurut salah satu hasil survei, setengah rakyat Indonesia sudah tidak percaya dengan parpol. (http://www.republika.co.id). Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif dalam pertemuan 100 aktivis pergerakan kritis di Gedung Joang 45 Jakarta, Senin 17 Januari 2011. Ia  mengatakan, terjadi gejala krisis kepercayaan terhadap pemerintah karena politik pencitraan yang dinilai tidak sesuai dengan fakta. (http://www.antaranews.com).
            Kedua pandangan di atas mau menunjukkan bahwa aspek kepercayaan merupakan salah satu faktor kunci pencapaian tujuan suatu organisasi sebab suatu kebersamaan dan kerja sama yang baik di dalam organisasi sangat perlu dilandasi oleh rasa saling percaya di antara pemimpin dan anggotanya. Robbins berpendapat bahwa tim yang berkinerja tinggi dicirikan dengan adanya kepercayaan yang tinggi antara sesama anggotanya. Kepercayaan yang tinggi membutuhkan waktu yang lama untuk membangunnya namun dapat hancur dengan mudah dan sukar untuk diperoleh kembali. Hal inilah yang menegaskan betapa pentingnya aspek kepercayaan di dalam organisasi.
            Konsep kepercayaan menurut Robbins (2002) didasari oleh lima dimensi pokok yaitu integritas yang berkaitan dengan kejujuran dan kepercayaan, kompetensi yaitu pengetahuan dan keterampilan interpersonal dan teknis, konsistensi yaitu dapat diandalkan, mudah diprediksi dan penilaian yang baik dalam mengendalikan situasi, loyalitas yaitu keinginan untuk melindungi dan menutupi aib orang lain dan keterbukaan yaitu keinginan untuk membagi ide dan informasi dengan bebas.
            Untuk membangun kebersamaan yang didasari oleh rasa saling percaya maka Robbins juga mengemukakan beberapa cara yang dapat dipakai yakni:
1.  Tunjukkan bahwa anda bekerja untuk kepentingan orang lain, sekaligus untuk kepentingan anda juga.
2.  Jadilah seorang pemain tim.
3.  Praktekkan keterbukaan.
4.  Bertindaklah adil.
5.  Katakan perasaan anda.
6. Perlihatkan konsistensi mengenai nilai-nilai dasar yang menjadi pedoman dalam membuat keputusan.
7. Pertahankan kepercayaan.
8. Tunjukkan kompetensi.
Seorang pemimpin harus menunjukkan keberpihakannya kepada semua orang, termasuk dirinya sendiri agar orang merasa bahwa tujuan-tujuan pribadinya dapat terpenuhi di dalam organisasi. Seorang pemimpin juga harus menjadi pemeran utama di dalam tim, terutama dalam proses pengambilan keputusan-keputusan yang sifatnya strategis bagi organisasi. Seorang pemimpin patut mempraktekkan keterbukaan serta bertindak adil kepada semua orang di dalam organisasi dengan tujuan agar tidak terjadi saling curiga di antara para aktor di dalam organisasi. Sikap terbuka tersebut salah satunya ditunjukkan dengan kemampuan mengungkapkan perasaannya dalam waktu yang tepat dan dengan maksud yang konstruktif dalam membangun kebersamaan dan ikatan emosional di dalam organisasi. Sikap konsistensi terhadap nilai-nilai yang dipakai sebagai pedoman pengambilan keputusan akan menjadikan seorang pemimpin dapat dipercaya oleh bawahannya dan dengan demikian ia dapat dengan mudah menguasai dan mengendalikan tindakan-tindakan anggotanya dalam organisasi. Hal yang tidak kalah penting yang perlu dimiliki seorang pemimpin dalam membangun kebersamaan adalah kompetensi yaitu kemampuan yang dimiliki seorang pemimpin untuk membangun kebersamaan atas dasar rasa saling percaya sebab tanpa kompetensi, seorang pemimpin tidak dapat berbuat apa-apa. Pemimpin merupakan panutan bagi organisasi sehingga dengan adanya kompetensi yang dimilikinya, seorang pemimpin dapat memberikan contoh dan teladan yang baik kepada para bawahannya.

PENUTUP
            Melalui penjelasan atas beberapa teori tentang konflik di dalam organisasi serta rekomendasi sikap dan tindakan yang harus diambil oleh seorang pemimpin ketika menghadapi konflik maka diharapkan agar konflik di dalam organisasi dapat dimanage sedemikian rupa agar perannya yang fungsional dapat lebih menonjol dan sedapat mungkin peran yang disfungsional dapat dihilangkan. Demikian juga halnya dengan sikap seorang pemimpin dalam membangun kebersamaan atas dasar saling percaya. Kiranya krisis kepercayaan yang sedang melanda bangsa kita dapat dieliminasi oleh para pemimpin yang memiliki sikap kepedulian terhadap orang lain, sikap adil, konsisten,terbuka dan memiliki kompetensi serta sikap moral yang baik.


DAFTAR PUSTAKA
1.    Harch, Mary Jo. 1997. Organization Theory. New York:Oxford University Press
2.      Robbins,P.Stephen.2002.Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi.Edisi        kelima,Jakarta: Erlangga.
3.      Wahyudi. 2011.Manajemen Konflik Dalam Organisasi,Pedoman Praktis Bagi Pemimpin Visioner. Bandung: Alfabeta.
4.      Kartono,Kartini. 2011.Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu? Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
5.      Winardi. 2011. Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta: PT. Raja         Grafindo Persada.
6.      http://www.republika.co.id. Diakses 20 Oktober 2012.
7.      http://www.antaranews.com. Diakses 20 Oktober 2012.











            

PENGARUH LINGKUNGAN SOSIAL TERHADAP PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH




PENDAHULUAN
Banyak ahli telah mencoba mendefinisikan konsep perencanaan menurut cara pandangnya masing-masing dan biasanya definisinya sangat tergantung dari perspektifnya terhadap perencanaan yang dimaksud. Diana Conyers dan Peter Hills (1984,hal.3) juga memberikan definisinya tentang perencanaan. Menurut mereka, perencanaan adalah suatu proses berkelanjutan yang melibatkan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tentang alternatif pemanfaatan sumber daya yang ada dengan maksud mencapai tujuan tertentu di masa yang akan datang. Definisi ini melihat perencanaan dari perspektif sistem sebab suatu proses yang berkelanjutan tidak mungkin terlepas dari serangkaian hubungan yang saling terkait satu sama lain dan saling berpengaruh di antara mereka. Dalam konteks sistem ini maka ada komponen input, proses, output dan feedback dalam suatu perencanaan dimana masing-masing komponen tersebut dapat diintervensi oleh faktor-faktor di luar maupun di dalam sistem perencanaan tersebut.
Conyers dan Hills menegaskan dalam tulisannya tentang keterkaitan perencanaan dengan faktor-faktor lain melalui pernyataannya bahwa “Salah satu implikasi yang paling signifikan dari keterkaitan antara perencanaan, pembuatan kebijakan dan pelaksanaan adalah kenyataan bahwa perencanaan tidak dapat dianggap terpisah dari lingkungan sosial, administrasi dan khususnya lingkungan politik dimana ia harus beroperasi. Hal ini penting terutama untuk mempertimbangkan sistem politik di negara yang bersangkutan (misalnya cara dimana para pemimpin politik berkuasa, apakah menggunakan sistem satu partai atau multi partai dan derajat sentralisasi atau desentralisasi), ideologi politik pemerintah yang berkuasa dan struktur sosial masyarakat.“ (Conyers dan Hills, 1984, hal.17). Tulisan ini secara khusus akan menggambarkan bagaimana pengaruh aspek lingkungan sosial di dalam perencanaan pembangunan di Indonesia. Menurut Mary Jo Hatch (1997,hal. 68), sektor lingkungan sosial  selalu dikaitkan dengan struktur kelas, demografi, pola mobilitas, gaya hidup dan lembaga sosial tradisional termasuk sistem pendidikan, praktik-praktik keagamaan, perdagangan dan profesi. Beberapa  sektor lingkungan sosial yang dikemukakan Hatch di atas akan dibahas dalam tulisan ini.

LINGKUNGAN SOSIAL DAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN
1.      Pengaruh Lembaga Sosial Tradisional Terhadap Perencanaan Pembangunan
Lembaga sosial tradisional yang dibicarakan dalam konteks tulisan ini mengacu pada cara pandang Hyden terhadap masyarakat sipil. Hyden (1997) menegaskan bahwa masyarakat sipil  adalah arena tempat asosiasi-asosiasi berkompetisi untuk mempengaruhi, dalam interaksinya dengan negara atau organisasi-organisasi antar  pemerintah dan sekaligus adalah agen pada dirinya sendiri. Foley dan Edward melihat masyarakat sipil atas dua sudut pandang yaitu sebagai aktor/agen dan sebagai arena. Dalam konteks masyarakat sipil sebagai aktor/agen, maka istilah yang biasanya digunakan adalah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Hyden membedakan OMS dalam dua pengertian yaitu yang minimalis dan maksimalis. OMS yang minimalis hanya mencakup mereka yang secara politis dan civic benar-benar melindungi dan memperjuangkan norma-norma demokratis; sedangkan OMS yang maksimalis adalah semua organisasi atau asosiasi yang berada di luar sektor negara.
Diamond kemudian mengkategorikan OMS atas beberapa sifatnya yaitu bersifat ekonomis, bersifat kultural (institusi dan asosiasi religius, etnis, komunal, dan asosiasi-asosiasi lain yang mempertahankan hak-hak, nilai-nilai,keyakinan dan simbol kolektif), bersifat informasional dan edukasional, berkaitan dengan kepentingan, berkaitan dengan pembangunan, berorientasi isu, berorientasi civic dan berhubungan dengan “the ideological marketplace”. OMS juga memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakannya dari kelompok-kelompok lain yaitu memiliki kepedulian yang berhubungan dengan tujuan-tujuan publik dari pada tujuan-tujuan privat, berhubungan dengan negara dalam berbagai cara namun tidak berupaya untuk memenangkan kontrol atas atau posisi di dalam negara, memperjuangkan pluralisme dan diversitas, tidak berupaya mewakili serangkaian kepentingan yang utuh dari orang per orang atau komunitas dan juga OMS berbeda dari demokrasi yang telah maju.
Berdasarkan pengertian dan karakteristik lembaga sosial tradisional di atas maka dapat dimengerti bahwa ada kaitan yang erat antara pemerintah dengan lembaga sosial tradisional yang dalam istilahnya disebut OMS tersebut. Keterkaitan ini jelas akan berpengaruh terhadap perencanaan pembangunan sebab keputusan-keputusan yang dibuat dalam sistem perencanaan akan dapat diintervensi oleh adanya kepedulian OMS terhadap tujuan-tujuan negara. Di sisi lain, lembaga-lembaga tersebut memiliki kearifan tersendiri dalam pengelolaan sumber daya-sumber daya yang dimiliki. Karena perencanaan pembangunan juga meliputi keputusan-keputusan menyangkut pemanfaatan sumber daya untuk mencapai tujuan bersama maka ilmu perencanaan kontemporer sudah melihat kearifan-kearifan itu sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan untuk membangun keterlibatan masyarakat di dalam proses pembangunan dan juga dalam rangka mengembangkan model perencanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

2.      Pengaruh Demografi Terhadap Perencanaan Pembangunan
Dalam Perencanaan Pembangunan, data kependudukan memegang peranan yang penting. Makin lengkap dan akurat data kependudukan yang tersedia, makin mudah dan tepat rencana pembangunan itu dibuat (Mantra, 2011). Demografi sendiri menurut Philip M. Hauser dan Duddley Duncan dalam Mantra (2011) didefinisikan sebagai studi tentang jumlah, persebaran, teritorial dan komposisi penduduk serta perubahan-perubahannya dan sebab-sebab perubahan itu yang biasanya timbul karena natalitas (fertilitas), mortalitas, gerak teritorial (migrasi) dan mobilitas sosial (perubahan status). Untuk mendapatkan data-data demografis, metode yang biasanya dipakai adalah sensus penduduk, registrasi penduduk dan survey penduduk.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa data kependudukan memiliki peran yang penting dalam perencanaan pembangunan maka perubahan-perubahan metode dan pendekatan dalam ilmu kependudukan dengan sendirinya akan mempengaruhi kwalitas proses dan hasil suatu perencanaan. Ditinjau dari sudut pandang sistem maka data-data kependudukan merupakan input bagi suatu proses perencanaan. Tanpa input yang memadai, tidak akan ada proses yang berkwalitas dan dampaknya adalah bahwa output dari suatu perencanaan akan disangsikan kebenarannya sekaligus sulit untuk dijadikan instrumen evaluasi.
Fenomena perencanaan pembangunan di daerah pasca desentralisasi menunjukkan bahwa proses perencanaan pembangunan dilakukan tanpa input data demografis yang memadai. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan data yang cukup mencolok antara data yang dimiliki instansi pemerintah di daerah dengan data yang dimiliki BPS. Ada kecenderungan instansi pemerintah yang terlibat langsung dalam proses perencanaan memakai data yang dimilikinya sendiri sehingga ketika dikomparasikan dengan data dari instansi yang lain terdapat perbedaan di sana. Fenomena perbedaan data demografis ini jelas sangat mempengaruhi perencanaan pembangunan sebab perencanaan pembangunan juga bukan hanya memakai metode kwalitatif untuk pengambilan keputusan atas alternatif-alternatif pilihan tetapi juga memakai metode kwantitatif yang idealnya membutuhkan data kwantitatif yang akurat.

3.      Pengaruh Struktur Kelas Terhadap Perencanaan Pembangunan
Menurut Pitirim A. Sorokin, stratifikasi sosial diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (herarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya Sorokin, mengemukakan bahwa inti dari lapisan sosial adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dengan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.
Perbedaan kelas-kelas sosial dalam masyarakat akan berpengaruh terhadap tingkat aksebilitas  masing-masing kelas. Semakin tinggi kelas sosialnya, semakin tinggi pula aksebilitasnya. Dalam hubungannya dengan perencanaan pembangunan, adanya variasi kelas sosial semakin  menyulitkan pengambilan keputusan sebab pengambilan keputusan untuk pembangunan perlu mempertimbangkan aspek kelas sosial ini. Karena setiap kelas sosial memiliki karakteristik yang berbeda-beda maka untuk mencapai suatu konsensus tidaklah mudah.
Sebuah studi kasus yang dilakukan untuk melihat aktualisasi peran sosial wanita Cina di Jabodetabek menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang diskriminatif (khususnya pada masa Orde Baru) dan sikap sebagian anggota masyarakat yang tidak bersahabat, terungkap sebagai bentuk ‘penolakan’ yang paling nyata, dan menjadi sebab utama wanita Cina merasa lebih nyaman berada di lingkungan komunitasnya. Kondisi di luar komunitas yang tidak sepenuh hati menerima kehadiran wanita Cina dibarengi dengan masih terpeliharanya tradisi, terutama masih kentalnya pandangan tradisional zhongnan jingnu di dalam komunitas, menyebabkan wanita Cina tidak leluasa dalam mengaktualisasikan peran sosialnya sehingga terbatas bidang yang dipilihnya.
Belajar dari contoh kasus yang berkaitan dengan kelas sosial dalam masyarakat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa suatu kebijakan yang dihasilkan dari perencanaan akan berdampak pada partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan. Kebijakan yang diskriminatif akan melemahkan tingkat partisipasi masyarakat khususnya kelas sosial yang menjadi korban diskriminasi. Padahal perencanaan yang pro rakyat harus melibatkan semua stakeholder termasuk kelas-kelas sosial yang ada di dalam masyarakat sehingga konsensus bisa diperoleh melalui keterwakilan semua komponen yang berkepentingan dengan pembangunan.
4.      Pengaruh Pola Mobilitas Sosial Terhadap Perencanaan Pembangunan
Mobilitas sosial merupakan gerak atau perpindahan yang melibatkan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu kehidupan sosial atau masyarakat yang selalu ditunjukkan pada gejala gerak perpindahannya dari satu status sosial ke status sosial yang lain, atau gerak dalam struktur sosial melalui suatu pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Gerak pindah ini dapat digolongkan atas dua yaitu gerak horisontal dan gerak vertikal yang mencakup gerak vertikal ke atas dan ke bawah. Konsekwensi dari mobilitas sosial ini adalah terjadinya konflik akibat benturan kepentingan dan nilai-nilai. Konflik yang ditimbulkan ini bisa antar kelas sosial maupun  konflik antar generasi. Selain konflik, konsekwensi yang lain adalah penyesuaian.
                 Konflik organisasioanal menurut Gareth R. Jones merupakan bentrokan yang terjadi ketika tujuan yang diarahkan oleh perilaku satu kelompok, terhalang atau terbentur oleh tujuan dari kelompok yang lain (Winardi,2011). Selanjutnya Winardi juga menjelaskan;  mengingat bahwa tujuan-tujuan, preferensi-preferensi dan kepentingan-kepentingan para kelompok kepentingan berbeda-beda maka konflik merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindari pada organisasi-organisasi. Hal ini sejalan dengan cara pandang Robbins (2002) tentang pandangan hubungan kemanusiaan dalam transisi pemikirannya tentang konflik. Dalam arti luas, Clinton F. Fink (Kartini Kartono,2011) mengemukakan dua pandangannya tentang konflik. Pertama, konflik adalah relasi-relasi psikologis yang antagonistis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan interest-interest eksklusif dan tidak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan dan struktur-struktur nilai yang berbeda. Kedua, konflik adalah interaksi yang antagonistis, mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas, mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tidak langsung; sampai pada bentuk perlawanan terbuka, kekerasan, perjuangan tidak terkontrol, benturan laten, pemogokan, huru-hara, makar, gerilya, perang dan lain-lain.
                 Organisasi-organisasi moderen cenderung lebih memahami konflik berdasarkan transisi ketiga konflik menurut Robbins yaitu Pandangan Interaksionis. Pandangan ini tidak hanya menerima konflik sebagai sesuatu yang alamiah melainkan mendorong adanya konflik dengan alasan bahwa suatu kelompok yang harmonis, damai, tenang dan kooperatif dapat menjadi kelompok yang statis, apatis dan tidak tanggap pada kebutuhan untuk melakukan perubahan dan inovasi.
               Dalam konteks perencanaan pembangunan, sumbangan pemikiran teori konflik memungkinkan agen perencana memanfaatkan konflik yang timbul akibat mobilitas sosial di dalam masyarakat untuk membangun dinamika, untuk membangun keterlibatan serta untuk melakukan perubahan dan inovasi dalam proses perencanaan. Tentu saja untuk tujuan ini, dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kapabilitas mengelola konflik secara baik agar konflik tidak mengarah kepada disfungsi organisasi.

PENUTUP
            Melalui pemahaman atas pengaruh lingkungan sosial terhadap perencanaan pembangunan daerah sebagaimana sudah dipaparkan pada bagian terdahulu maka beberapa pokok pikiran yang merupakan kesimpulan dari tulisan ini adalah:
1.      Lembaga sosial tradisional dapat mengintervensi keputusan-keputusan dalam proses perencanaan melalui keterlibatannya dalam sistem perencanaan pembangunan. Kearifan lokal lembaga sosial tradisional ini dapat dimanfaatkan oleh agen perencana untuk membangun kerja sama dalam implementasi dan evaluasi suatu perencanaan pembangunan.
2.      Data-data demografis merupakan input yang penting bagi proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah.
3.      Suatu kebijakan yang dihasilkan dari perencanaan akan berdampak pada partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan. Kebijakan yang diskriminatif akan melemahkan tingkat partisipasi masyarakat khususnya kelas sosial yang menjadi korban diskriminasi.
4.      Sumbangan pemikiran teori konflik memungkinkan agen perencana memanfaatkan konflik yang timbul akibat mobilitas sosial di dalam masyarakat untuk membangun dinamika, untuk membangun keterlibatan serta untuk melakukan perubahan dan inovasi dalam proses perencanaan.







DAFTAR PUSTAKA

Conyers, Diana & Hills,Peter,1984. An Introduction to Development Plannning in the Third Word, John Wiley series on public administration in developing countries, John Wiley & Sons Ltd. New York.
Harch, Mary Jo. 1997. Organization Theory. New York:Oxford University Press
Kartono,Kartini. 2011.Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu? Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mantra, Ida Bagoes, 2011. Demografi Umum, Edisi Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Muas, R. Tuty Nur Mutia & Witanto, Eddy Prabowo,  Aktualisasi Peran Sosial Wanita Cina Di Jabodetabek, Makara, Sosial Humaniora, Vol. 9, No. 2, Desember 2005: 34-45.
Robbins,P.Stephen.2002.Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi.Edisi kelima,Jakarta: Erlangga
Suharko, Masyarakat Sipil, Modal Sosial dan Tata Pemerintahan yang Demokratis,Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu politik Volume 8, Nomor 3, Maret 2005 (269 - 290
Winardi. 2011. Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada