Jumat, 16 November 2012

PENGARUH LINGKUNGAN SOSIAL TERHADAP PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH




PENDAHULUAN
Banyak ahli telah mencoba mendefinisikan konsep perencanaan menurut cara pandangnya masing-masing dan biasanya definisinya sangat tergantung dari perspektifnya terhadap perencanaan yang dimaksud. Diana Conyers dan Peter Hills (1984,hal.3) juga memberikan definisinya tentang perencanaan. Menurut mereka, perencanaan adalah suatu proses berkelanjutan yang melibatkan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tentang alternatif pemanfaatan sumber daya yang ada dengan maksud mencapai tujuan tertentu di masa yang akan datang. Definisi ini melihat perencanaan dari perspektif sistem sebab suatu proses yang berkelanjutan tidak mungkin terlepas dari serangkaian hubungan yang saling terkait satu sama lain dan saling berpengaruh di antara mereka. Dalam konteks sistem ini maka ada komponen input, proses, output dan feedback dalam suatu perencanaan dimana masing-masing komponen tersebut dapat diintervensi oleh faktor-faktor di luar maupun di dalam sistem perencanaan tersebut.
Conyers dan Hills menegaskan dalam tulisannya tentang keterkaitan perencanaan dengan faktor-faktor lain melalui pernyataannya bahwa “Salah satu implikasi yang paling signifikan dari keterkaitan antara perencanaan, pembuatan kebijakan dan pelaksanaan adalah kenyataan bahwa perencanaan tidak dapat dianggap terpisah dari lingkungan sosial, administrasi dan khususnya lingkungan politik dimana ia harus beroperasi. Hal ini penting terutama untuk mempertimbangkan sistem politik di negara yang bersangkutan (misalnya cara dimana para pemimpin politik berkuasa, apakah menggunakan sistem satu partai atau multi partai dan derajat sentralisasi atau desentralisasi), ideologi politik pemerintah yang berkuasa dan struktur sosial masyarakat.“ (Conyers dan Hills, 1984, hal.17). Tulisan ini secara khusus akan menggambarkan bagaimana pengaruh aspek lingkungan sosial di dalam perencanaan pembangunan di Indonesia. Menurut Mary Jo Hatch (1997,hal. 68), sektor lingkungan sosial  selalu dikaitkan dengan struktur kelas, demografi, pola mobilitas, gaya hidup dan lembaga sosial tradisional termasuk sistem pendidikan, praktik-praktik keagamaan, perdagangan dan profesi. Beberapa  sektor lingkungan sosial yang dikemukakan Hatch di atas akan dibahas dalam tulisan ini.

LINGKUNGAN SOSIAL DAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN
1.      Pengaruh Lembaga Sosial Tradisional Terhadap Perencanaan Pembangunan
Lembaga sosial tradisional yang dibicarakan dalam konteks tulisan ini mengacu pada cara pandang Hyden terhadap masyarakat sipil. Hyden (1997) menegaskan bahwa masyarakat sipil  adalah arena tempat asosiasi-asosiasi berkompetisi untuk mempengaruhi, dalam interaksinya dengan negara atau organisasi-organisasi antar  pemerintah dan sekaligus adalah agen pada dirinya sendiri. Foley dan Edward melihat masyarakat sipil atas dua sudut pandang yaitu sebagai aktor/agen dan sebagai arena. Dalam konteks masyarakat sipil sebagai aktor/agen, maka istilah yang biasanya digunakan adalah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Hyden membedakan OMS dalam dua pengertian yaitu yang minimalis dan maksimalis. OMS yang minimalis hanya mencakup mereka yang secara politis dan civic benar-benar melindungi dan memperjuangkan norma-norma demokratis; sedangkan OMS yang maksimalis adalah semua organisasi atau asosiasi yang berada di luar sektor negara.
Diamond kemudian mengkategorikan OMS atas beberapa sifatnya yaitu bersifat ekonomis, bersifat kultural (institusi dan asosiasi religius, etnis, komunal, dan asosiasi-asosiasi lain yang mempertahankan hak-hak, nilai-nilai,keyakinan dan simbol kolektif), bersifat informasional dan edukasional, berkaitan dengan kepentingan, berkaitan dengan pembangunan, berorientasi isu, berorientasi civic dan berhubungan dengan “the ideological marketplace”. OMS juga memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakannya dari kelompok-kelompok lain yaitu memiliki kepedulian yang berhubungan dengan tujuan-tujuan publik dari pada tujuan-tujuan privat, berhubungan dengan negara dalam berbagai cara namun tidak berupaya untuk memenangkan kontrol atas atau posisi di dalam negara, memperjuangkan pluralisme dan diversitas, tidak berupaya mewakili serangkaian kepentingan yang utuh dari orang per orang atau komunitas dan juga OMS berbeda dari demokrasi yang telah maju.
Berdasarkan pengertian dan karakteristik lembaga sosial tradisional di atas maka dapat dimengerti bahwa ada kaitan yang erat antara pemerintah dengan lembaga sosial tradisional yang dalam istilahnya disebut OMS tersebut. Keterkaitan ini jelas akan berpengaruh terhadap perencanaan pembangunan sebab keputusan-keputusan yang dibuat dalam sistem perencanaan akan dapat diintervensi oleh adanya kepedulian OMS terhadap tujuan-tujuan negara. Di sisi lain, lembaga-lembaga tersebut memiliki kearifan tersendiri dalam pengelolaan sumber daya-sumber daya yang dimiliki. Karena perencanaan pembangunan juga meliputi keputusan-keputusan menyangkut pemanfaatan sumber daya untuk mencapai tujuan bersama maka ilmu perencanaan kontemporer sudah melihat kearifan-kearifan itu sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan untuk membangun keterlibatan masyarakat di dalam proses pembangunan dan juga dalam rangka mengembangkan model perencanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

2.      Pengaruh Demografi Terhadap Perencanaan Pembangunan
Dalam Perencanaan Pembangunan, data kependudukan memegang peranan yang penting. Makin lengkap dan akurat data kependudukan yang tersedia, makin mudah dan tepat rencana pembangunan itu dibuat (Mantra, 2011). Demografi sendiri menurut Philip M. Hauser dan Duddley Duncan dalam Mantra (2011) didefinisikan sebagai studi tentang jumlah, persebaran, teritorial dan komposisi penduduk serta perubahan-perubahannya dan sebab-sebab perubahan itu yang biasanya timbul karena natalitas (fertilitas), mortalitas, gerak teritorial (migrasi) dan mobilitas sosial (perubahan status). Untuk mendapatkan data-data demografis, metode yang biasanya dipakai adalah sensus penduduk, registrasi penduduk dan survey penduduk.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa data kependudukan memiliki peran yang penting dalam perencanaan pembangunan maka perubahan-perubahan metode dan pendekatan dalam ilmu kependudukan dengan sendirinya akan mempengaruhi kwalitas proses dan hasil suatu perencanaan. Ditinjau dari sudut pandang sistem maka data-data kependudukan merupakan input bagi suatu proses perencanaan. Tanpa input yang memadai, tidak akan ada proses yang berkwalitas dan dampaknya adalah bahwa output dari suatu perencanaan akan disangsikan kebenarannya sekaligus sulit untuk dijadikan instrumen evaluasi.
Fenomena perencanaan pembangunan di daerah pasca desentralisasi menunjukkan bahwa proses perencanaan pembangunan dilakukan tanpa input data demografis yang memadai. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan data yang cukup mencolok antara data yang dimiliki instansi pemerintah di daerah dengan data yang dimiliki BPS. Ada kecenderungan instansi pemerintah yang terlibat langsung dalam proses perencanaan memakai data yang dimilikinya sendiri sehingga ketika dikomparasikan dengan data dari instansi yang lain terdapat perbedaan di sana. Fenomena perbedaan data demografis ini jelas sangat mempengaruhi perencanaan pembangunan sebab perencanaan pembangunan juga bukan hanya memakai metode kwalitatif untuk pengambilan keputusan atas alternatif-alternatif pilihan tetapi juga memakai metode kwantitatif yang idealnya membutuhkan data kwantitatif yang akurat.

3.      Pengaruh Struktur Kelas Terhadap Perencanaan Pembangunan
Menurut Pitirim A. Sorokin, stratifikasi sosial diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (herarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya Sorokin, mengemukakan bahwa inti dari lapisan sosial adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dengan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.
Perbedaan kelas-kelas sosial dalam masyarakat akan berpengaruh terhadap tingkat aksebilitas  masing-masing kelas. Semakin tinggi kelas sosialnya, semakin tinggi pula aksebilitasnya. Dalam hubungannya dengan perencanaan pembangunan, adanya variasi kelas sosial semakin  menyulitkan pengambilan keputusan sebab pengambilan keputusan untuk pembangunan perlu mempertimbangkan aspek kelas sosial ini. Karena setiap kelas sosial memiliki karakteristik yang berbeda-beda maka untuk mencapai suatu konsensus tidaklah mudah.
Sebuah studi kasus yang dilakukan untuk melihat aktualisasi peran sosial wanita Cina di Jabodetabek menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang diskriminatif (khususnya pada masa Orde Baru) dan sikap sebagian anggota masyarakat yang tidak bersahabat, terungkap sebagai bentuk ‘penolakan’ yang paling nyata, dan menjadi sebab utama wanita Cina merasa lebih nyaman berada di lingkungan komunitasnya. Kondisi di luar komunitas yang tidak sepenuh hati menerima kehadiran wanita Cina dibarengi dengan masih terpeliharanya tradisi, terutama masih kentalnya pandangan tradisional zhongnan jingnu di dalam komunitas, menyebabkan wanita Cina tidak leluasa dalam mengaktualisasikan peran sosialnya sehingga terbatas bidang yang dipilihnya.
Belajar dari contoh kasus yang berkaitan dengan kelas sosial dalam masyarakat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa suatu kebijakan yang dihasilkan dari perencanaan akan berdampak pada partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan. Kebijakan yang diskriminatif akan melemahkan tingkat partisipasi masyarakat khususnya kelas sosial yang menjadi korban diskriminasi. Padahal perencanaan yang pro rakyat harus melibatkan semua stakeholder termasuk kelas-kelas sosial yang ada di dalam masyarakat sehingga konsensus bisa diperoleh melalui keterwakilan semua komponen yang berkepentingan dengan pembangunan.
4.      Pengaruh Pola Mobilitas Sosial Terhadap Perencanaan Pembangunan
Mobilitas sosial merupakan gerak atau perpindahan yang melibatkan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu kehidupan sosial atau masyarakat yang selalu ditunjukkan pada gejala gerak perpindahannya dari satu status sosial ke status sosial yang lain, atau gerak dalam struktur sosial melalui suatu pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Gerak pindah ini dapat digolongkan atas dua yaitu gerak horisontal dan gerak vertikal yang mencakup gerak vertikal ke atas dan ke bawah. Konsekwensi dari mobilitas sosial ini adalah terjadinya konflik akibat benturan kepentingan dan nilai-nilai. Konflik yang ditimbulkan ini bisa antar kelas sosial maupun  konflik antar generasi. Selain konflik, konsekwensi yang lain adalah penyesuaian.
                 Konflik organisasioanal menurut Gareth R. Jones merupakan bentrokan yang terjadi ketika tujuan yang diarahkan oleh perilaku satu kelompok, terhalang atau terbentur oleh tujuan dari kelompok yang lain (Winardi,2011). Selanjutnya Winardi juga menjelaskan;  mengingat bahwa tujuan-tujuan, preferensi-preferensi dan kepentingan-kepentingan para kelompok kepentingan berbeda-beda maka konflik merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindari pada organisasi-organisasi. Hal ini sejalan dengan cara pandang Robbins (2002) tentang pandangan hubungan kemanusiaan dalam transisi pemikirannya tentang konflik. Dalam arti luas, Clinton F. Fink (Kartini Kartono,2011) mengemukakan dua pandangannya tentang konflik. Pertama, konflik adalah relasi-relasi psikologis yang antagonistis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa disesuaikan interest-interest eksklusif dan tidak bisa dipertemukan, sikap-sikap emosional yang bermusuhan dan struktur-struktur nilai yang berbeda. Kedua, konflik adalah interaksi yang antagonistis, mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas, mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tidak langsung; sampai pada bentuk perlawanan terbuka, kekerasan, perjuangan tidak terkontrol, benturan laten, pemogokan, huru-hara, makar, gerilya, perang dan lain-lain.
                 Organisasi-organisasi moderen cenderung lebih memahami konflik berdasarkan transisi ketiga konflik menurut Robbins yaitu Pandangan Interaksionis. Pandangan ini tidak hanya menerima konflik sebagai sesuatu yang alamiah melainkan mendorong adanya konflik dengan alasan bahwa suatu kelompok yang harmonis, damai, tenang dan kooperatif dapat menjadi kelompok yang statis, apatis dan tidak tanggap pada kebutuhan untuk melakukan perubahan dan inovasi.
               Dalam konteks perencanaan pembangunan, sumbangan pemikiran teori konflik memungkinkan agen perencana memanfaatkan konflik yang timbul akibat mobilitas sosial di dalam masyarakat untuk membangun dinamika, untuk membangun keterlibatan serta untuk melakukan perubahan dan inovasi dalam proses perencanaan. Tentu saja untuk tujuan ini, dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kapabilitas mengelola konflik secara baik agar konflik tidak mengarah kepada disfungsi organisasi.

PENUTUP
            Melalui pemahaman atas pengaruh lingkungan sosial terhadap perencanaan pembangunan daerah sebagaimana sudah dipaparkan pada bagian terdahulu maka beberapa pokok pikiran yang merupakan kesimpulan dari tulisan ini adalah:
1.      Lembaga sosial tradisional dapat mengintervensi keputusan-keputusan dalam proses perencanaan melalui keterlibatannya dalam sistem perencanaan pembangunan. Kearifan lokal lembaga sosial tradisional ini dapat dimanfaatkan oleh agen perencana untuk membangun kerja sama dalam implementasi dan evaluasi suatu perencanaan pembangunan.
2.      Data-data demografis merupakan input yang penting bagi proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah.
3.      Suatu kebijakan yang dihasilkan dari perencanaan akan berdampak pada partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan. Kebijakan yang diskriminatif akan melemahkan tingkat partisipasi masyarakat khususnya kelas sosial yang menjadi korban diskriminasi.
4.      Sumbangan pemikiran teori konflik memungkinkan agen perencana memanfaatkan konflik yang timbul akibat mobilitas sosial di dalam masyarakat untuk membangun dinamika, untuk membangun keterlibatan serta untuk melakukan perubahan dan inovasi dalam proses perencanaan.







DAFTAR PUSTAKA

Conyers, Diana & Hills,Peter,1984. An Introduction to Development Plannning in the Third Word, John Wiley series on public administration in developing countries, John Wiley & Sons Ltd. New York.
Harch, Mary Jo. 1997. Organization Theory. New York:Oxford University Press
Kartono,Kartini. 2011.Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu? Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mantra, Ida Bagoes, 2011. Demografi Umum, Edisi Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Muas, R. Tuty Nur Mutia & Witanto, Eddy Prabowo,  Aktualisasi Peran Sosial Wanita Cina Di Jabodetabek, Makara, Sosial Humaniora, Vol. 9, No. 2, Desember 2005: 34-45.
Robbins,P.Stephen.2002.Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi.Edisi kelima,Jakarta: Erlangga
Suharko, Masyarakat Sipil, Modal Sosial dan Tata Pemerintahan yang Demokratis,Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu politik Volume 8, Nomor 3, Maret 2005 (269 - 290
Winardi. 2011. Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada


Tidak ada komentar:

Posting Komentar