PENDAHULUAN
Banyak ahli telah
mencoba mendefinisikan konsep perencanaan menurut cara pandangnya masing-masing
dan biasanya definisinya sangat tergantung dari perspektifnya terhadap
perencanaan yang dimaksud. Diana Conyers dan Peter Hills (1984,hal.3) juga
memberikan definisinya tentang perencanaan. Menurut mereka, perencanaan adalah
suatu proses berkelanjutan yang melibatkan keputusan-keputusan atau
pilihan-pilihan tentang alternatif pemanfaatan sumber daya yang ada dengan
maksud mencapai tujuan tertentu di masa yang akan datang. Definisi ini melihat
perencanaan dari perspektif sistem sebab suatu proses yang berkelanjutan tidak
mungkin terlepas dari serangkaian hubungan yang saling terkait satu sama lain
dan saling berpengaruh di antara mereka. Dalam konteks sistem ini maka ada
komponen input, proses, output dan feedback dalam suatu perencanaan dimana
masing-masing komponen tersebut dapat diintervensi oleh faktor-faktor di luar
maupun di dalam sistem perencanaan tersebut.
Conyers dan Hills menegaskan
dalam tulisannya tentang keterkaitan perencanaan dengan faktor-faktor lain
melalui pernyataannya bahwa “Salah satu implikasi yang paling signifikan dari
keterkaitan antara perencanaan, pembuatan kebijakan dan pelaksanaan adalah
kenyataan bahwa perencanaan tidak dapat dianggap terpisah dari lingkungan
sosial, administrasi dan khususnya lingkungan politik dimana ia harus
beroperasi. Hal ini penting terutama untuk mempertimbangkan sistem politik di
negara yang bersangkutan (misalnya cara dimana para pemimpin politik berkuasa,
apakah menggunakan sistem satu partai atau multi partai dan derajat
sentralisasi atau desentralisasi), ideologi politik pemerintah yang berkuasa
dan struktur sosial masyarakat.“ (Conyers dan Hills, 1984, hal.17). Tulisan ini
secara khusus akan menggambarkan bagaimana pengaruh aspek lingkungan sosial di
dalam perencanaan pembangunan di Indonesia. Menurut Mary Jo Hatch (1997,hal.
68), sektor lingkungan sosial selalu dikaitkan
dengan struktur kelas, demografi, pola mobilitas, gaya hidup dan lembaga sosial
tradisional termasuk sistem pendidikan, praktik-praktik keagamaan, perdagangan
dan profesi. Beberapa sektor lingkungan
sosial yang dikemukakan Hatch di atas akan dibahas dalam tulisan ini.
LINGKUNGAN SOSIAL DAN
PERENCANAAN PEMBANGUNAN
1.
Pengaruh
Lembaga Sosial Tradisional Terhadap Perencanaan Pembangunan
Lembaga sosial tradisional yang
dibicarakan dalam konteks tulisan ini mengacu pada cara pandang Hyden terhadap
masyarakat sipil. Hyden (1997) menegaskan bahwa masyarakat sipil adalah arena tempat asosiasi-asosiasi berkompetisi
untuk mempengaruhi, dalam interaksinya dengan negara atau organisasi-organisasi
antar pemerintah dan sekaligus adalah agen
pada dirinya sendiri. Foley dan Edward melihat masyarakat sipil atas dua sudut
pandang yaitu sebagai aktor/agen dan sebagai arena. Dalam konteks masyarakat
sipil sebagai aktor/agen, maka istilah yang biasanya digunakan adalah
Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Hyden membedakan OMS dalam dua pengertian
yaitu yang minimalis dan maksimalis. OMS yang minimalis hanya mencakup mereka
yang secara politis dan civic benar-benar melindungi dan memperjuangkan
norma-norma demokratis; sedangkan OMS yang maksimalis adalah semua organisasi atau
asosiasi yang berada di luar sektor negara.
Diamond kemudian mengkategorikan
OMS atas beberapa sifatnya yaitu bersifat ekonomis, bersifat kultural (institusi
dan asosiasi religius, etnis, komunal, dan asosiasi-asosiasi lain yang
mempertahankan hak-hak, nilai-nilai,keyakinan dan simbol kolektif), bersifat informasional
dan edukasional, berkaitan dengan kepentingan, berkaitan dengan pembangunan,
berorientasi isu, berorientasi civic dan berhubungan dengan “the ideological
marketplace”. OMS juga memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakannya
dari kelompok-kelompok lain yaitu memiliki kepedulian yang berhubungan
dengan tujuan-tujuan publik dari pada tujuan-tujuan privat, berhubungan dengan
negara dalam berbagai cara namun tidak berupaya untuk memenangkan kontrol atas
atau posisi di dalam negara, memperjuangkan pluralisme dan diversitas, tidak
berupaya mewakili serangkaian kepentingan yang utuh dari orang per orang atau
komunitas dan juga OMS berbeda dari demokrasi yang telah maju.
Berdasarkan pengertian dan
karakteristik lembaga sosial tradisional di atas maka dapat dimengerti bahwa
ada kaitan yang erat antara pemerintah dengan lembaga sosial tradisional yang
dalam istilahnya disebut OMS tersebut. Keterkaitan ini jelas akan berpengaruh
terhadap perencanaan pembangunan sebab keputusan-keputusan yang dibuat dalam
sistem perencanaan akan dapat diintervensi oleh adanya kepedulian OMS terhadap
tujuan-tujuan negara. Di sisi lain, lembaga-lembaga tersebut memiliki kearifan
tersendiri dalam pengelolaan sumber daya-sumber daya yang dimiliki. Karena
perencanaan pembangunan juga meliputi keputusan-keputusan menyangkut
pemanfaatan sumber daya untuk mencapai tujuan bersama maka ilmu perencanaan
kontemporer sudah melihat kearifan-kearifan itu sebagai potensi yang dapat
dimanfaatkan untuk membangun keterlibatan masyarakat di dalam proses
pembangunan dan juga dalam rangka mengembangkan model perencanaan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
2.
Pengaruh
Demografi Terhadap Perencanaan Pembangunan
Dalam
Perencanaan Pembangunan, data kependudukan memegang peranan yang penting. Makin
lengkap dan akurat data kependudukan yang tersedia, makin mudah dan tepat
rencana pembangunan itu dibuat (Mantra, 2011). Demografi sendiri menurut Philip
M. Hauser dan Duddley Duncan dalam Mantra (2011) didefinisikan sebagai studi
tentang jumlah, persebaran, teritorial dan komposisi penduduk serta
perubahan-perubahannya dan sebab-sebab perubahan itu yang biasanya timbul
karena natalitas (fertilitas), mortalitas, gerak teritorial (migrasi) dan
mobilitas sosial (perubahan status). Untuk mendapatkan data-data demografis,
metode yang biasanya dipakai adalah sensus penduduk, registrasi penduduk dan
survey penduduk.
Sebagaimana
dikemukakan di atas bahwa data kependudukan memiliki peran yang penting dalam
perencanaan pembangunan maka perubahan-perubahan metode dan pendekatan dalam
ilmu kependudukan dengan sendirinya akan mempengaruhi kwalitas proses dan hasil
suatu perencanaan. Ditinjau dari sudut pandang sistem maka data-data
kependudukan merupakan input bagi suatu proses perencanaan. Tanpa input yang
memadai, tidak akan ada proses yang berkwalitas dan dampaknya adalah bahwa
output dari suatu perencanaan akan disangsikan kebenarannya sekaligus sulit
untuk dijadikan instrumen evaluasi.
Fenomena
perencanaan pembangunan di daerah pasca desentralisasi menunjukkan bahwa proses
perencanaan pembangunan dilakukan tanpa input data demografis yang memadai. Hal
ini terjadi karena terdapat perbedaan data yang cukup mencolok antara data yang
dimiliki instansi pemerintah di daerah dengan data yang dimiliki BPS. Ada
kecenderungan instansi pemerintah yang terlibat langsung dalam proses
perencanaan memakai data yang dimilikinya sendiri sehingga ketika
dikomparasikan dengan data dari instansi yang lain terdapat perbedaan di sana.
Fenomena perbedaan data demografis ini jelas sangat mempengaruhi perencanaan
pembangunan sebab perencanaan pembangunan juga bukan hanya memakai metode
kwalitatif untuk pengambilan keputusan atas alternatif-alternatif pilihan tetapi
juga memakai metode kwantitatif yang idealnya membutuhkan data kwantitatif yang
akurat.
3.
Pengaruh
Struktur Kelas Terhadap Perencanaan Pembangunan
Menurut Pitirim A.
Sorokin, stratifikasi sosial diartikan sebagai pembedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (herarkis). Perwujudannya
adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya Sorokin,
mengemukakan bahwa inti dari lapisan sosial adalah tidak adanya keseimbangan
dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dengan tanggung jawab nilai-nilai
sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.
Perbedaan kelas-kelas
sosial dalam masyarakat akan berpengaruh terhadap tingkat aksebilitas masing-masing kelas. Semakin tinggi kelas
sosialnya, semakin tinggi pula aksebilitasnya. Dalam hubungannya dengan
perencanaan pembangunan, adanya variasi kelas sosial semakin menyulitkan pengambilan keputusan sebab
pengambilan keputusan untuk pembangunan perlu mempertimbangkan aspek kelas
sosial ini. Karena setiap kelas sosial memiliki karakteristik yang berbeda-beda
maka untuk mencapai suatu konsensus tidaklah mudah.
Sebuah studi kasus yang
dilakukan untuk melihat aktualisasi peran sosial wanita Cina di Jabodetabek
menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang diskriminatif (khususnya pada masa
Orde Baru) dan sikap sebagian anggota masyarakat yang tidak bersahabat,
terungkap sebagai bentuk ‘penolakan’ yang paling nyata, dan menjadi sebab utama
wanita Cina merasa lebih nyaman berada di lingkungan komunitasnya. Kondisi di
luar komunitas yang tidak sepenuh hati menerima kehadiran wanita Cina dibarengi
dengan masih terpeliharanya tradisi, terutama masih kentalnya pandangan
tradisional zhongnan jingnu di dalam
komunitas, menyebabkan wanita Cina tidak leluasa dalam mengaktualisasikan peran
sosialnya sehingga terbatas bidang yang dipilihnya.
Belajar dari contoh
kasus yang berkaitan dengan kelas sosial dalam masyarakat di atas, kita dapat
menyimpulkan bahwa suatu kebijakan yang dihasilkan dari perencanaan akan
berdampak pada partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan. Kebijakan yang
diskriminatif akan melemahkan tingkat partisipasi masyarakat khususnya kelas
sosial yang menjadi korban diskriminasi. Padahal perencanaan yang pro rakyat
harus melibatkan semua stakeholder termasuk kelas-kelas sosial yang ada di
dalam masyarakat sehingga konsensus bisa diperoleh melalui keterwakilan semua
komponen yang berkepentingan dengan pembangunan.
4.
Pengaruh
Pola Mobilitas Sosial Terhadap Perencanaan Pembangunan
Mobilitas
sosial merupakan gerak atau perpindahan yang melibatkan seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu kehidupan sosial atau masyarakat yang selalu
ditunjukkan pada gejala gerak perpindahannya dari satu status sosial ke status
sosial yang lain, atau gerak dalam struktur sosial melalui suatu pola tertentu
yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Gerak pindah ini dapat
digolongkan atas dua yaitu gerak horisontal dan gerak vertikal yang mencakup
gerak vertikal ke atas dan ke bawah. Konsekwensi dari mobilitas sosial ini
adalah terjadinya konflik akibat benturan kepentingan dan nilai-nilai. Konflik
yang ditimbulkan ini bisa antar kelas sosial maupun konflik antar generasi. Selain konflik,
konsekwensi yang lain adalah penyesuaian.
Konflik
organisasioanal menurut Gareth R. Jones merupakan bentrokan yang terjadi ketika
tujuan yang diarahkan oleh perilaku satu kelompok, terhalang atau terbentur
oleh tujuan dari kelompok yang lain (Winardi,2011). Selanjutnya Winardi juga
menjelaskan; mengingat bahwa
tujuan-tujuan, preferensi-preferensi dan kepentingan-kepentingan para kelompok
kepentingan berbeda-beda maka konflik merupakan sesuatu hal yang tidak dapat
dihindari pada organisasi-organisasi. Hal ini sejalan dengan cara pandang
Robbins (2002) tentang pandangan hubungan
kemanusiaan dalam transisi pemikirannya tentang konflik. Dalam arti luas,
Clinton F. Fink (Kartini Kartono,2011) mengemukakan dua pandangannya tentang
konflik. Pertama, konflik adalah
relasi-relasi psikologis yang antagonistis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang
tidak bisa disesuaikan interest-interest eksklusif dan tidak bisa dipertemukan,
sikap-sikap emosional yang bermusuhan dan struktur-struktur nilai yang berbeda.
Kedua, konflik adalah interaksi yang
antagonistis, mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas, mulai dari
bentuk-bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tidak langsung; sampai
pada bentuk perlawanan terbuka, kekerasan, perjuangan tidak terkontrol,
benturan laten, pemogokan, huru-hara, makar, gerilya, perang dan lain-lain.
Organisasi-organisasi
moderen cenderung lebih memahami konflik berdasarkan transisi ketiga konflik
menurut Robbins yaitu Pandangan
Interaksionis. Pandangan ini tidak hanya menerima konflik sebagai sesuatu
yang alamiah melainkan mendorong adanya konflik dengan alasan bahwa suatu
kelompok yang harmonis, damai, tenang dan kooperatif dapat menjadi kelompok
yang statis, apatis dan tidak tanggap pada kebutuhan untuk melakukan perubahan
dan inovasi.
Dalam
konteks perencanaan pembangunan, sumbangan pemikiran teori konflik memungkinkan
agen perencana memanfaatkan konflik yang timbul akibat mobilitas sosial di
dalam masyarakat untuk membangun dinamika, untuk membangun keterlibatan serta
untuk melakukan perubahan dan inovasi dalam proses perencanaan. Tentu saja
untuk tujuan ini, dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki kapabilitas
mengelola konflik secara baik agar konflik tidak mengarah kepada disfungsi
organisasi.
PENUTUP
Melalui pemahaman
atas pengaruh lingkungan sosial terhadap perencanaan pembangunan daerah
sebagaimana sudah dipaparkan pada bagian terdahulu maka beberapa pokok pikiran
yang merupakan kesimpulan dari tulisan ini adalah:
1.
Lembaga sosial tradisional dapat
mengintervensi keputusan-keputusan dalam proses perencanaan melalui
keterlibatannya dalam sistem perencanaan pembangunan. Kearifan lokal lembaga
sosial tradisional ini dapat dimanfaatkan oleh agen perencana untuk membangun
kerja sama dalam implementasi dan evaluasi suatu perencanaan pembangunan.
2.
Data-data demografis merupakan input
yang penting bagi proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah.
3.
Suatu kebijakan yang
dihasilkan dari perencanaan akan berdampak pada partisipasi masyarakat dalam
proses perencanaan. Kebijakan yang diskriminatif akan melemahkan tingkat
partisipasi masyarakat khususnya kelas sosial yang menjadi korban diskriminasi.
4.
Sumbangan pemikiran teori konflik
memungkinkan agen perencana memanfaatkan konflik yang timbul akibat mobilitas
sosial di dalam masyarakat untuk membangun dinamika, untuk membangun
keterlibatan serta untuk melakukan perubahan dan inovasi dalam proses perencanaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Conyers, Diana & Hills,Peter,1984. An Introduction to Development Plannning in
the Third Word, John Wiley series on public administration in developing
countries, John Wiley & Sons Ltd. New York.
Harch, Mary Jo. 1997. Organization Theory. New York:Oxford
University Press
Kartono,Kartini.
2011.Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah
Kepemimpinan Abnormal Itu? Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mantra, Ida Bagoes, 2011. Demografi Umum, Edisi Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Muas, R. Tuty Nur Mutia & Witanto, Eddy Prabowo, Aktualisasi
Peran Sosial Wanita Cina Di Jabodetabek, Makara, Sosial Humaniora, Vol. 9,
No. 2, Desember 2005: 34-45.
Robbins,P.Stephen.2002.Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi.Edisi
kelima,Jakarta: Erlangga
Suharko, Masyarakat
Sipil, Modal Sosial dan Tata Pemerintahan yang Demokratis,Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu politik Volume 8, Nomor 3,
Maret 2005 (269 - 290
Winardi. 2011. Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar