PENDAHULUAN
Pelayanan
Publik merupakan satu dimensi ruang tempat interaksi antara administrasi publik
dengan warga negara. Sebagaimana diungkapkan Haque bahwa dalam masyarakat yang sudah matang
demokrasinya, ada hubungan yang unik antara administrasi publik dengan warga
negara dimana ada pemeliharaan atas identitas publik melalui perkuatan
legitimasinya, penetapan standar etikanya, penentuan peran dan tugasnya, yang
membedakan dirinya dari manajemen bisnis sektor swasta. Namun dalam beberapa
tahun terakhir, sifat hubungan antara administrasi (publik) dengan warga negara
telah mengalami transformasi yang cukup besar dalam konteks global yang
ditandai dengan adanya dominasi ideologi pasar, demonisasi dari negara
kesejahteraan, munculnya rezim neoliberal, poliferasi kebijakan pro pasar dan
pengikisan pelayanan publik dalam hal ruang lingkup perannya, kapasitasnya dan
komitmennya.
Cara pandang di atas menegaskan
bahwa telah terjadi pergeseran paradigma pelayanan publik sejalan dengan
pergeseran paradigma administrasi publik mulai dari Old Public Administration,
New Public Manajemen hingga paradigma New Public Service yang banyak
membicarakan tentang Manajemen Pelayanan Publik. Denhardt dan Denhardt mengemukakan secara jelas pergeseran paradigma
tersebut dalam beberapa substansinya yaitu menyangkut dasar teori dan
epistemologinya, rasionalitas dan model-model yang terkait dengan perilaku
manusia, konsepsi tentang kepentingan masyarakat, kepada siapa pelayan publik
memberikan responnya, peran pemerintah, mekanisme pencapaian tujuan kebijakan,
pendekatan akuntabilitas, kebijakan administrasi, asumsi dari struktur
organisasi dan asumsi tentang motivasi dasar pelayan publik dan administrator.
Tulisan ini lebih fokus membicarakan tentang kontekstualisasi
paradigma New Public Service dalam implementasi pelayanan publik di Indonesia.
Pertanyaan yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimana model
pelayanan publik di Indonesia ditinjau dari teori pelayanan publik yang
ditawarkan dalam paradigma New Public Service? Contoh kasus yang akan
dikemukakan tidak dibahas secara mendalam sebab tujuan penulisan ini tidak
untuk mendalami kasus melainkan untuk membandingkan idealisme teori pelayanan
publik di era New Public Service dengan implementasinya di Indonesia. Alasan
lain adalah bahwa metodologi yang dipakai untuk menyelesaikan tulisan ini tidak
menggunakan pendekatan studi kasus dimana penulis tidak hanya mengumpulkan
data-data melalui studi pustaka melainkan wajib melakukan penelitian di lapangan.
Metode yang digunakan di sini adalah studi pustaka dengan memakai penalaran
deduktif dalam analisis permasalahannya yaitu mengemukakan terlebih dahulu
teori-teori yang umum kemudian masuk pada fakta-fakta yang lebih khusus untuk
dapat mengambil satu kesimpulan. Pada bagian awal akan dikemukakan teori-teori
pelayanan publik dalam konteks paradigma New Public Service, kemudian
ditawarkan beberapa kasus pelayan publik di Indonesia untuk selanjutnya
dianalisis berdasarkan teori di atas dan pada bagian akhir ditarik kesimpulan
atas hasil analisis fakta pelayanan publik tersebut.
TEORI PELAYANAN
PUBLIK MENURUT PARADIGMA NEW PUBLIC SERVICE
Denhardt dan Denhardt menggambarkan
munculnya gerakan baru dalam administrasi publik yang dinamai New Public
Service dengan karakteristik dimana pemerintahan dijalankan tidak seperti
bisnis melainkan dalam nuansa demokrasi. Karakteristik yang lain adalah adanya
penghargaan terhadap martabat manusia dalam pelayanan publik, para
administrator lebih banyak mendengarkan dari pada memberi petunjuk serta lebih
banyak melayani dari pada mengarahkan, warga negara dilibatkan bahkan didorong
untuk wajib terlibat dalam proses pemerintahan serta para warga bekerja sama
untuk mendefinisikan dan mengatasi masalah bersama dengan jalan kooperatif yang saling menguntungkan.
New Public Service
menggambarkan dan mengajukan sejumlah pertanyaan normatif yang mendasar seperti
bagaimana kita bisa mendefinisikan karakter esensial dari apa yang kita lakukan
dalam pelayanan publik, kekuatan apa yang memotivasi dan mendorong tindakan
kita, apa yang memberi kita kekuatan dan kapasitas ketika tantangan dan gejolak
dari pekerjaan membawa kita kepada kelesuan, bagaimana kita bisa terus
menghadapi masalah yang kompleks dengan keterbatasan sumber daya yang ada
sementara masyarakat sering marah dan mengkritik apa yang kita lakukan?
Dalam perbandingannya
dengan Old Public Administration dan New Public Manajemen, New Public Service
tidak berdiri sendiri secara eksklusif melainkan ketiganya saling menguatkan. Ide-ide
pokok yang dikemukakan paradigma ini yakni :
1. Melayani
warga bukan pelanggan.
2. Mengusahakan
kepentingan publik.
3. Nilai
kewarganegaraan lebih dari kewirausahaan.
4. Berpikir
strategis, bertindak demokratis.
5. Mengakui
bahwa akuntabilitas bukanlah sederhana.
6. Melayani
ketimbang mengarahkan.
7. Nilai
manusia, bukan sekedar produktifitas.
Ketuju ide pokok di atas tidak akan dibahas seluruhnya di
sini namun akan difokuskan pada ide melayani
warga bukan pelanggan, berpikir strategis bertindak demokratis dan nilai
manusia bukan sekedar produktifitas.
Melayani Warga Bukan Pelanggan
Fokus dari perbincangan
seputar topik ini adalah teori tentang kewarganegaraan, bagaimana masyarakat
moderen terbentuk serta dasar pemikiran untuk membangun keterlibatan masyarakat
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Melalui pemahaman atas teori
kewarganegaraan, dapat diketahui esensi perbedaan antara pelayanan publik
kepada warga negara dengan pelayanan publik kepada pelanggan. Terbentuknya masyarakat moderen telah memunculkan kesadaran akan hak-haknya
sebagai warga negara sehingga dapat mengubah cara pandangnya terhadap konsep
pelayanan publik. Sedangkan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan mengisyaratkan adanya peran yang diberikan oleh negara kepada
warganya dalam konteks pelayanan publik.
Konsep
kewarganegaraan pada awalnya dikemukakan dalam filsafat politik Aristoteles
dimana menurut dia, yang disebut warga negara adalah orang yang secara aktif
ikut mengambil bagian dalam kegiatan hidup bernegara, yaitu orang yang bisa
berperan sebagai orang yang diperintah
dan orang yang bisa berperan sebagai orang
yang memerintah. Orang yang diperintah dan orang yang memerintah itu
sewaktu-waktu dapat bertukar peran. Dalam konteks hubungan negara dengan
warganya, Aristoteles berpendapat bahwa negara lebih utama dan harus
didahulukan dari pada keluarga dan perorangan yang menjadi warga negara. Hal ini bukan berarti keunggulan negara
menjadikan kekuasaannya absolut melainkan pemberian prioritas kepada negara dan
setiap warga negara harus mengakui bahwa negara itu memiliki prioritas pertama
demi tercapainya tujuan utama pembentukan negara yakni bagi
kepentingan,kebaikan dan kebahagiaan warga negara. Pengakuan ini merupakan bentuk tanggung jawab
warga negara terhadap negaranya yang merupakan suatu kewajiban sebagai warga
negara yang baik.
Pemikiran-pemikiran
tentang kewarganegaraan terus berkembang sesuai bidang kajiannya, termasuk di
dalamnya bidang politik, ekonomi, administrasi, serta hak asasi manusia. John
Gaventa mencatat bahwa
selama tahun 1990-an terjadi pergeseran pemikiran dalam kajian pembangunan yang
memunculkan “kewarganegaraan” sebagai wilayah perdebatan dalam kajian
pembangunan. Selain itu, munculnya agenda good governance dengan konsentrasinya
adalah desentralisasi pemerintahan telah meningkatkan kepedulian pemerintah
terhadap suara rakyatnya. Selanjutnya, pendekatan berbasis hak
juga telah memunculkan diskusi seputar kewarganegaraan dimana menurut
pendekatan ini, partisipasi dalam pembangunan dilihat sebagai hak dasar warga
negara. Deklarasi PBB tentang Hak atas Pembangunan memperjelas
konteks partisipasi pembangunan dimana tidak hanya menyerukan hak partisipasi,
tetapi juga berpendapat bahwa partisipasi harus aktif, bebas dan bermakna,
sekaligus telah memperingatkan adanya bahaya manipulasi tokenistic.
Masyarakat
moderen terbentuk dari adanya modernisasi yang pada awalnya berkembang di Eropa
yang dipacu oleh proses industrialisasi sebagai akibat dari revolusi ilmu
pengetahuan. Menurut Ginandjar Kartasasmita, pada umumnya para pakar sepakat
bahwa ciri utama yang melatarbelakangi sistem atau model mana pun dari suatu
masyarakat modern, adalah derajat rasionalitas yang tinggi, dalam arti bahwa
kegiatan-kegiatan dalam masyarakat demikian terselenggara berdasarkan nilai-nilai
dan dalam pola-pola yang objektif
(impersonal) dan efektif
(utilitarian) , ketimbang yang sifatnya primordial, seremonial atau
tradisional. Derajat rasionalitas yang tinggi itu digerakkan oleh perkembangan-
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi seringkali disebut sebagai
kekuatan pendorong (driving force) bagi proses modernisasi.
Dengan derajat
rasionalitas yang tinggi itu, maka berkembang ciri-ciri yang kurang lebih
berlaku umum yang tampak dalam tindakan-tindakan sosial, orientasi terhadap
perubahan serta perkembangan organisasi dan diferensiasi. Ciri-ciri tersebut
mencakup semua aspek kehidupan misalnya aspek sistem ekonomi, sistem politik
serta sistem dan struktur sosial. Ekonomi modern berorientasi pada efisiensi
dengan ciri utamanya adalah kemampuan untuk memelihara pertumbuhan yang
berkelanjutan dan mekanisme ekonomi modern adalah pasar. Sistem politik modern
juga mempunyai ciri dimana individu dan masyarakat tidaklah merupakan objek,
tetapi subjek yang turut menentukan arah kehidupan. Berkaitan dengan itu,
masyarakat modern ditandai oleh partisipasi masyarakat yang luas dalam proses
politik. Sistem politiknya, yakni nilai-nilai dasar dan instrumental, organisasi,
mekanisme dan prosedur, bersifat terbuka dan dapat diikuti oleh siapa pun.
Sistem politik modern berlandaskan aturan-aturan dasar yang disepakati bersama,
yang disebut konstitusi, dan kehidupan diselenggarakan berdasarkan aturan-
aturan yang ditetapkan bersama pula dan berlaku buat semua secara adil. Oleh
karena itu, negara modern senantiasa adalah negara yang berdasarkan hukum.
Rakyat adalah yang berdaulat, dengan mekanisme yang menunjukkan kedaulatan itu,
yang diwujudkan melalui perwakilan. Sistem politik yang modern mampu mewadahi
perbedaan paham dan pandangan, dan mengatasinya dengan cara yang adab dan
damai, dalam aturan yang disepakati bersama ( hukum). Pada pokoknya sistem
politik modern mengandung tiga unsur pokok yaitu demokratis, konstitusional dan
berlandaskan hukum. Sistem Sosial dalam
masyarakat modern menunjukkan
hubungan primer antar individu telah jauh
berkurang dan hubungan sekunder yang lebih bersifat impersonal menjadi lebih
predominan. Sementara itu ciri-ciri nyata struktur sosial dalam masyarakat
moderen yaitu: Sebagian besar anggota masyarakat berada pada lapisan mene- ngah,
tidak tampak batas pemisah (diskontinuitas), tetapi stratanya lebih bersifat
suatu kontinuum, mobilitas sosial tinggi baik ke atas maupun ke bawah serta pandangan keadilan, kesamaan
hak dan kewajiban menjadi kredo, yang berarti juga kesamaan kesempatan.
Bagian
ketiga dari topik melayani warga bukan pelanggan membahas tentang keterlibatan
warga dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui peran yang diberikan kepada warga negara.
Namun saat ini peran dalam konteks politik menurut Robert Pranger lebih banyak
dipraktekkan sebagai politik kekuasaan dimana sebagian besar kegiatan politik berkaitan
dengan kegiatan para pemimpin, pejabat, dan pemegang kekuasaan lainnya di dalam
masyarakat. Pranger mengkontraskan orientasi ini dengan politik kewarganegaraan
atau politik partisipatif. Dalam politik partisipatif, warga terlibat dalam
dialog dan diskursus mengenai arah masyarakat dan bertindak berdasarkan prinsip-prinsip
moral seperti yang terkait dengan apa yang disebut kebajikan sipil. Menurut Stephen Macedo, kebajikan sipil
merupakan prasyarat bagi keaktifan masyarakat dan kemampuan serta kecenderungan
yang kondusif bagi partisipasi dalam kegiatan politik modern dan masyarakat
sipil. Oleh karena itu John Rawls menegaskan bahwa masyarakat
sipil juga perlu mengupayakan ruang dimana orang dapat mengembangkan dan
mengalami kebaikan yang penting bagi harga dirinya, dimana hal ini merupakan
prasyarat penting bagi pembangunan manusia.20 Dalam hal ini,
liberalisme politik mengharapkan bahwa keluarga dan lembaga masyarakat sipil
lainnya dalam pengertian yang signifikan merupakan persemaian kebajikan yang akan
menghasilkan dukungan untuk prinsip-prinsip politik, nilai-nilai masyarakat,
dan nilai-nilai sipil secara timbal balik.
Beberapa peran yang perlu dimainkan
oleh masyarakat sipil menurut Jan Aart Scholte adalah: Pertama, dari segi dampak positif,
masyarakat sipil perlu meningkatkan demokrasi dalam pemerintahan global melalui
kegiatan pendidikan publik. Kedua,
masyarakat sipil perlu memberikan kontribusi positif bagi pemerintahan global
yang demokratis dengan memberikan suara kepada para pemangku kepentingan. Ketiga, masyarakat sipil dapat memicu
perdebatan di dalam dan di sekitar pemerintahan global. Keempat,
mobilisasi masyarakat dapat meningkatkan transparansi publik pemerintahan
global. Kelima, masyarakat sipil perlu
mempromosikan demokrasi dalam pemerintahan global dengan meningkatkan
akuntabilitas publik dari instansi terkait. Keenam,
perlu legitimasi masyarakat sipil terhadap aturan yang sah. Aturan yang sah mendapat
legitimasi ketika orang mengakui bahwa otoritas pemerintah memiliki hak untuk
memerintah dan bahwa mereka memiliki kewajiban untuk mematuhi aturan yang
dibuat pemerintah. Ketuju,
keterlibatan masyarakat sipil dalam pemerintahan global dapat memberikan ruang
gerak bagi demokratisasi pemerintahan di suatu wilayah.
Berpikir
Strategis Bertindak Demokratis
Pokok pikiran yang
hendak dibahas pada bagian ini adalah tentang persoalan implementasi. Denhardt
dan Denhardt berpendapat bahwa menariknya, studi tentang implementasi tidak
hadir bersamaan dengan tahap awal hadirnya ilmu administrasi publik, bukan
karena lembaga-lembaga publik tidak terlibat di dalam implementasi melainkan
karena implementasi tidak terlihat sebagai konsep dan fungsi yang terpisah dari
keseluruhan bidang administrasi publik.
Untuk memahami perkembangan studi
tentang implementasi, kita dapat melihat tipologi tiga generasi penelitian yang
memberi dasar evolusi perkembangan teori implementasi. Generasi Pertama, mengasumsikan model top-down linier yang didorong
oleh adanya peraturan perundang-undangan dan keinginan dari pejabat terpilih. Model
ini mengasumsikan bahwa implementasi merupakan proses yang linier dimana
petunjuk kebijakan diterjemahkan ke dalam program kegiatan dengan penyimpangan
sesedikit mungkin. Hal ini menunjukkan bahwa para pembuat kebijakan adalah
satu-satunya aktor yang paling penting dan aktor-aktor lain di level organisasi
hanya bekerja untuk menggagalkan proses implementasi. Inti dari semua
penelitian pada generasi ini adalah bahwa implementasi berjalan serba salah dan
sering tidak sejalan dengan tujuan pembuat kebijakan. Pada Generasi kedua, fokusnya
bergeser dari top-down model kepada bottom-up model dan juga integrasi antara
model top-down dan bottom-up. Bottom-up model mengasumsikan bahwa keberadaan
jaringan dari pelaku yang tujuan,strategi dan tindakannya harus dipertimbangkan
dalam memahami implementasi. Dalam model ini, lembaga pelaksana memainkan peran positif,diperlukan dan tepat dalam mendefinisikan ulang dan memfokuskan kembali peraturan
dalam terang tingkat realitas organisasi. Sementara itu dalam model integratif,
implementasi terjadi dalam proses kebijakan yang interaktif dan melingkar. Generasi ketiga sendiri semakin
memfokuskan diri pada substansi desain kebijakan dan jaringan kebijakan serta
bagaimana implikasinya terhadap suksesnya implementasi yang akan dievaluasi
kemudian. Clien menyarankan agar proses implementasi dapat dipahami dalam dua
cara yaitu sebagai persoalan manajemen organisasi yang berdasarkan pada proses
administrasi atau sebagai persoalan bagaimana mendapatkan dukungan dari
partisipan dalam proses implementasi. Dia menyimpulkan bahwa masalah kerja sama
dalam situasi adanya konflik kepentingan mungkin akan mendahului masalah yang
datangnya dari manajemen organisasi.
Dalam paradigma New Public Service,
fokus utama implementasi adalah keterlibatan warga negara dan pembangunan
masyarakat. Keterlibatan warga negara dipandang sebagai bagian yang tepat dan
perlu dari implementasi kebijakan dalam demokrasi karena kebijakan harus
dilaksanakan dalam implementasi kebijakan dimana kebijakan itu mendapat
informasi dari partisipasi masyarakat. Terhadap cara pandang ini, Terry Cooper
berpendapat bahwa administrator publik harus bekerja secara etis dan bertanggung jawab untuk mendorong partisipasi
warga masyarakat dalam proses perencanaan serta penyediaan barang dan jasa
publik. Partisipasi dapat atau tidak dapat berguna/memuaskan para administrator,
tetapi penting untuk penciptaan dan pemeliharaan sebuah komunitas politik
pemerintahan sendiri. Dalam perspektif New Public Service, mekanisme seperti produksi
bersama berasal dari cara pandang masyarakat sebagai komunitas, bukan seperti
konsep pasar. Masyarakat sebagai komunitas ditandai adanya interaksi sosial,
rasa saling berbagi dan ikatan bersama yang kuat. Hubungan antara administrator
publik dengan masyarakat sipil saling membutuhkan dalam mengidentifikasi dan
menyelesaikan suatu permasalahan.
Berkaitan dengan etika dan tanggung
jawab sebagaimana dikatakan Cooper di atas,Yeremias Keban berpendapat bahwa etika
pelayanan publik adalah suatu praktek administrasi publik dan atau pemberian
pelayanan publik (delivery system) yang didasarkan atas serangkaian tuntunan
perilaku (rules of conduct) atau kode etik yang mengatur hal-hal yang “baik”
yang harus dilakukan atau sebaliknya yang “tidak baik” agar dihindarkan. Hal ini berarti bahwa dalam
praktek pelayanan publik, dibutuhkan juga nilai-nilai profesionalisme yang dijadikan
pedoman sekaligus instrumen evaluasi.
Gerald Caiden mengajukan beberapa nilai profesionalisme
dalam pelayanan publik yakni :
1 1. Memberikan
manfaat kepada publik.
Memenuhi
kebutuhan sosial yang diidentifikasi, melakukan sesuatu yang baik atau
memajukan kepentingan umum, memajukan nilai-nilai kemanusiaan universal,
meningkatkan kualitas hidup, menghindari bahaya, melakukan tugas sipil, mudah
diakses dan memungkinkan untuk diakses.
2 2. Menegakkan
aturan hukum.
Taat
pada konstitusi, menghormati subordinasi politik, menerima pengendalian oleh
pemerintah, cermat terhadap aturan resmi, taat pada aturan administrasi,
berlaku adil dan wajar.
3 3. Memastikan
tanggung jawab dan akuntabilitas publik
Memelihara
persaudaraan,bersikap terbuka dan transparan,menjadi informan, selalu membuat
catatan atau dokumentasi resmi,jujur, responsif.
4 4. Menjadi
Teladan.
Idealis,
berbudi luhur, bertindak benar, manusiawi, berjasa, memiliki kebugaran fisik
dan mental.
5 5. Meningkatkan
kinerja profesional
Mempertanyakan utilitas sektor publik, terus
melakukan reformasi hukum, peraturan dan administrasi, mengadopsi metode yang
lebih praktis, memperluas kapasitas pembuatan kebijakan publik, memerangi
patologi birokrasi, membuktikan kelayakan.
6 6. Mempromosikan demokrasi
Mengubah hubungan tuan-hamba, desentralisasi pemerintahan, menegakkan
kebebasan dan hak-hak individu, dekonsentrasi kekuasaan, melawan korupsi, bereksperimen
dengan partisipasi masyarakat.
Nilai Manusia Bukan
Sekedar Produktifitas
Dalam
topik ini, yang perlu digarisbawahi adalah
pernyataan bahwa organisasi publik dan jaringan dimana dia bekerja mungkin akan
berhasil dalam jangka panjang jika jaringan tersebut bekerja dalam proses
kolaborasi dan kepemimpinan bersama yang didasarkan pada penghormatan kepada
martabat setiap individu. New Public Service menunjukkan bahwa
upaya rasional untuk mengontrol perilaku manusia cenderung gagal dalam jangka
panjang jika, pada saat yang sama, perhatian yang memadai hanya diberikan
kepada nilai-nilai dan kepentingan masing-masing anggota dari sebuah
organisasi. Untuk dapat memberikan nilai lebih kepada pribadi manusia maka kita
dapat mempelajarinya dengan mengedepankan teori tentang perilaku manusia di
dalam organisasi sebagai kuncinya.
Elemen-elemen perilaku manusia yang
merupakan inti dari New Public Service seperti martabat manusia, kepercayaan,
rasa memiliki, kepedulian terhadap orang lain, pelayanan dan kewarganegaraan
yang berdasarkan cita-cita bersama dan kepentingan publik merupakan bawaan dari
dua paradigma sebelumnya. Namun dalam paradigma ini, cita-cita seperti
keadilan, pemerataan, rasa tanggap, rasa hormat, pemberdayaan, dan komitmen
tidak meniadakan tetapi seringkali lebih diutamakan daripada nilai efisiensi
sebagai kriteria tunggal untuk operasional pemerintahan. Frederikson menyatakan
bahwa para administrator publik harus familiar dengan isu-isu seperti demokrasi
representatif maupun demokrasi langsung, partisipasi masyarakat,
prinsip-prinsip keadilan dan kebebasan individu.
Manajer sektor publik memiliki
tanggung jawab khusus dan kesempatan yang unik untuk menjadi
"jantung" dari pelayanan publik. Orang-orang tertarik terhadap
pelayanan publik karena mereka termotivasi oleh nilai-nilai pelayanan publik. Nilai-nilai
(untuk melayani orang lain, untuk membuat dunia lebih baik dan lebih aman, dan
untuk membuat demokrasi berjalan baik) merepresentasikan apa yang terbaik dari nilai
kewarganegaraan di dalam pelayanan kepada
masyarakat. Kita perlu melihat kembali kebajikan yang diajarkan orang Yunani
bahwa tidak ada yang lebih mulia dari kehidupan manusia dari pada politik.
Sebagai rangkuman atas teori-teori dan
konsep-konsep yang sudah dikemukakan di atas maka dalam konteks pelayanan
publik di Indonesia, kita akan membuat suatu perbandingan dengan menggunakan
beberapa pokok pikiran di bawah ini yaitu :
1 1. Cara
pandang pemerintah terhadap warganya dalam pelayanan publik
2 2. Cara
pandang masyarakat sipil terhadap fungsi pelayanan publik
3 3. Peran
warga negara dalam pelayanan publik
4 4. Desain
dan implementasi kebijakan pelayanan publik
5 5. Konteks
humanisme dalam pelayanan publik
Kelima pokok pikiran
yang dikemukakan di atas cukup luas dan masih mungkin disederhanakan lagi,
namun dalam tulisan ini hal ini tidak dilakukan mengingat alasan-alasan
sebagaimana kami kemukakan pada bagian pendahuluan di atas. Oleh karena itu
komparasi yang akan dibahas dalam bagian berikut di bawah ini tidaklah
mendetail. Hanya hal-hal pokok saja yang dibahas secara dangkal sedangkan untuk
dapat melihat lebih jauh masing-masing pokok pikiran tersebut maka tulisan ini
dapat dijadikan acuan dalam meneliti kasus-kasus yang lebih spesifik.
FAKTA
PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA
Perspektif Pemerintah
Munculnya paradigma good governance
merupakan titik balik satu arah kebijakan pelayanan kepada masyarakat sebab
telah mengubah model pemerintahan yang sentralistik kepada satu model
pemerintahan yang desentralistik yang melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Asumsinya bahwa
keberhasilan penerapan good governance merupakan cerminan perubahan cara
pandang pemerintah kepada warganya yang sebelumnya hanya dianggap sebagai custumer kepada suatu cara pandang baru bahwa
masyarakat juga adalah penyedia sekaligus penerima layanan publik melalui
keterlibatannya di dalam proses pelayanan publik. Delapan prinsip good
governance yang dikemukakan UNDP salah
satunya adalah partisipasi dapat dirujuk untuk menilai tingkat partisipasi
masyarakat di Indonesia.
Berdasarkan
laporan Indeks Demokrasi Indonesia Tahun 2009, secara keseluruhan indeks kita berada di level
67,30 dengan distribusi indeks dari ketiga aspek yaitu aspek kebebasan sipil
86,97, aspek hak-hak politik 54,60 dan aspek lembaga demokrasi 62,72. Indikator
partisipasi khususnya partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan
pengawasan yang merupakan sub bagian dari aspek hak-hak politik berada pada
level 55,16. Terhadap keseluruhan, aspek hak-hak politik ini merupakan
penyumbang indeks terendah. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi demokrasi di
Indonesia telah mendongkrak nilai kebebasan sipil masyarakat namun kebebasan
tersebut belum dimanfaatkan secara baik dalam bentuk partisipasi politik dalam
pengambilan keputusan dan pengawasan. Hal ini bisa juga dipicu oleh belum
maksimalnya peran lembaga-lembaga demokrasi yang terlihat dari nilai indeksnya
pada level 62,72; bahkan bila diperinci lagi maka terlihat bahwa peran partai
politik merupakan penyumbang indeks terendah yaitu hanya sebesar 19,29 yang
diikuti oleh peran DPRD pada tingkat 38,03.
Terhadap data di atas, dalam
kaitannya dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik di
Indonesia maka kita dapat berkesimpulan bahwa tingkat partisipasi kita masih rendah. Hal ini bisa dipengaruhi oleh
berbagai faktor baik faktor individu masyarakatnya maupun faktor lingkungan
masyarakatnya, termasuk di dalamnya peran lembaga-lembaga pemerintahan maupun
lembaga-lembaga politik yang belum maksimal. Untuk itu maka dibutuhkan advokasi
yang lebih intens untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga
non pemerintahan.
Perspektif Masyarakat
Data Indeks Demokrasi
Indonesia di atas masih dapat dijadikan rujukan melihat perspektif masyarakat terhadap
layanan publik. Data menunjukkan bahwa sekalipun ruang kebebasan sipil sudah
dibuka namun tingkat partisipasi masyarakat masih tetap rendah. Kita bisa
menggunakan indikator komunikasi untuk menjawab persoalan ini.
Sebuah survei publik yang dilakukan oleh RSUD AW. Sjahranie Kalimantan Timur tentang layanan di Rumah
Sakit tersebut menunjukkan bahwa persoalan komunikasi antara penyedia layanan (rumah sakit) dengan masyarakat pengguna
layanan yaitu pasien dan
keluarga pasien merupakan
persoalan yang banyak disoroti oleh responden. Terdapat salah persepsi dari
masyarakat terhadap layanan yang diberikan rumah sakit karena salah komunikasi
dan ketidakpahaman atas prosedur layanan. Tiga kesimpulan dan rekomendasi yang
diberikan atas penelitian ini yaitu: Pertama,
komunikasi yang terjadi
antara penyedia dan pengguna
layanan rumah sakit tersebut
selama ini kurang interaktif
dan kurang efektif; Kedua,
pentingnya komunikasi dalam
pelayanan publik karena komunikasi bisa menjadi penyebab dan
juga bisa menjadi solusi untuk memecahkan persoalan
dalam proses penyelenggaraan pelayanan; Ketiga, komunikasi efektif bila pesan bisa diterima dengan baik dan
dipahami kemudian menghasilkan respon yang
positif.
Berangkat
dari contoh kasus ini maka kita dapat berkesimpulan bahwa dalam konteks layanan
publik di Indonesia, terdapat persepsi yang keliru dari masyarakat terhadap
layanan publik karena kurangnya komunikasi antara penyedia layanan maupun
penerima layanan. Masyarakat juga kurang terlibat dalam proses layanan publik
karena ketidaktahuan akan peran dan fungsinya serta ketidaktahuan atas sistem
dan prosedur yang mengatur interaksi antara keduanya.
Peran Warga Negara
Berangkat dari peran yang ditawarkan
Scholte pada bagian terdahulu, kita boleh melihat satu peran yang cukup penting
dalam konteks pelayanan publik yaitu peran warga negara dalam akuntabilitas
layanan publik. Menurut UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, aspek
akuntabilitas merupakan salah satu asas dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Menurut Wahyudi, akuntabilitas adalah suatu derajat yang menunjukkan besarnya
tanggung jawab aparat atas kebijakan maupun proses pelayanan publik yang dilaksanakan oleh
birokrasi pemerintah, dan dalam hal ini ada dua bentuk akuntabilitas yaitu
akuntabilitas eksplisit dan implisit. Salah satu tanggung jawab implisit adalah
menghindari patologi birokrasi yang senantiasa dikeluhkan yaitu korupsi, kolusi
dan nepotisme. Pertanyaan yang menarik di sini adalah bagaimana peran
masyarakat dalam memperjuangkan akuntabilitas layanan publik dalam konteks
pemberantasan KKN?
Dari
laporan KPK tentang Indeks Integritas Indonesia Tahun 2010 terlihat bahwa nilai IIN kita adalah sebesar 5,42. Hal ini mengindikasikan
bahwa secara nasional, program pemberantasan dan pencegahan tindak pidana
korupsi belum sepenuhnya berhasil. Hal ini setidaknya terlihat dari masih
ditemukannya praktek pemberian uang tambahan (gratifikasi) dalam proses
pelayanan publik. Demikian pula dengan upaya-upaya pembenahan sistem
administrasi untuk menutup peluang terjadinya korupsi relatif masih lemah. Dari
data yang sama juga terlihat bahwa hanya 38% dari instansi yang disurvei
memiliki Indeks Integritas di atas standar minimum yang ditetapkan KPK yaitu
6,00 sedangkan 62% sisanya berada di bawah standar minimum. Tantangan terbesar
datang justru dari Pemerintah Daerah sebab dari 22 tingkat daerah yang
disurvei, hanya 2 daerah yang berada di atas standar minimal sedangkan 20
daerah lainnya berada di bawahnya; bahkan dari 10 instansi dengan indeks
integritas terendah, 9 di antaranya merupakan tingkat daerah.
Desain dan Implementasi Kebijakan
Satu model baru yang
dikembangkan Tim PSKK UGM adalah Manajemen Pelayanan berbasis kontrak
pelayanan. Model ini pertama kali dikembangkan di Kota Yogyakarta, Kota Blitar
dan Kabupaten Semarang, masing-masing untuk jenis pelayanan yang berbeda. Hal ini menandakan perubahan
mendasar dalam praktek penyelenggaraan layanan publik di daerah dengan tiga
asumsi dasar yaitu: Pertama, manajemen
pelayanan publik berbasis kontrak pelayanan menganggap pelayanan publik adalah
urusan bersama antara warga pengguna,pemangku kepentingan dan penyelenggara
layanan. Kedua, manajemen tersebut
juga mengakui bahwa warga dan penyelenggara layanan masing-masing memiliki hak
dan kewajiban dalam penyelenggaraan layanan publik yang harus dihormati oleh
semua pihak. Ketiga, manajemen
pelayanan ini mengakui bahwa hubungan antara warga pengguna dengan
penyelenggara layanan bersifat kontraktual sehingga hubungan keduanya adalah
simetris.
Pada Tahun
2005, di Blitar model ini diperluas lagi
kepada dua puskesmas dan hal ini menginspirasi Pemerintah Jawa Timur
menerbitkan Perda Nomor 11 Tahun 2005 yang khusus mengatur pelayanan publik di
wilayah itu. Melalui Perda tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Timur membentuk
Komisi Pelayanan Publik yang bersifat independen yang bertugas menerima
pengaduan, memeriksa dan menyelesaikan setiap sengketa pelayanan publik,
membuat pengaturan mengenai mekanisme, teknis dan prosedur penyelesaian
pelayanan publik, melakukan verifikasi dan mediasi terhadap para pihak yang
bersengketa, dan menindaklanjuti keluhan dan ketidakpuasan pelayanan publik
baik yang disampaikan secara langsung maupun tidak langsung oleh masyarakat
kepada komosi. Model yang
dikembangkan ini telah memperlihatkan adanya keterlibatan masyarakat dalam
desain dan implementasi pelayanan publik. Sekalipun masih banyak kekurangannya
namun model ini mesti terus dikembangkan dan diperluas agar kwalitas layanan
publik kita semakin baik.
Konteks Humanisme
Kita
dapat menggunakan parameter Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk
menggambarkan konteks humanisme dalam
pelayanan publik di Indonesia. Berdasarkan laporan United Nations Development
Programme (UNDP), Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2011 berada di
posisi 124 dunia. Untuk Asia Timur, kita berada di bawah Jepang,
Korea Selatan, Singapura, Brunai Darussalam, Malaysia, China, Thailand,
Mongolia dan Filipina. Untuk Indonesia sejak tahun 1990-2011 terlihat adanya trend yang meningkat yaitu 0,481
pada tahun 1990; 0,543 pada tahun 2000
dan 0,617 pada tahun 2011. Selain data tersebut, ada juga data lain yang dapat
dijadikan perbandingan seperti indeks ketimpangan yang disesuaikan dengan HDI
yaitu sebesar 0,504; ada juga indeks ketimpangan gender dimana Indonesia
menempati posisi 100 dengan besarnya indeks 0,505. Indeks kemiskinan
multidimensional yang dibuat pada tahun 2007 menempatkan Indonesia dengan nilai
indeks sebesar 0,095.
Data
di atas menunjukkan bahwa untuk Asia Timur, aspek pembangunan manusia kita
masih cukup tertinggal. Itu berarti bahwa kita belum menempatkan manusia
sebagai pusat dari seluruh proses pembangunan baik sebagai subjek sekaligus
objek pembangunan, termasuk di dalamnya adalah aspek layanan publik. Secara
perlahan ada perubahan ke arah itu namun dibandingkan negara-negara lain, kita
butuh banyak usaha perbaikan baik prosedural maupun substansial.
PENUTUP
Melalui pengujian atas
teori pelayanan publik yang dikemukakan dalam paradigma New Public Service yang
dijabarkan dalam beberapa pokok pikiran dalam konteks Indonesia, kita dapat
melihat beberapa nilai positip maupun negatip dari pelayanan publik yang berkembang
antara lain:
Pertama: Adanya pergeseran pola hubungan
pemerintah dan masyarakat dimana sebelumnya berlaku pola satu arah kepada pola
interaksional yang menempatkan keduanya pada posisi yang lebih seimbang.
Kedua: Masih adanya persepsi masyarakat yang keliru terhadap pelayanan publik karena kurang adanya komunikasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat.
Ketiga: Peran warga negara dalam pelayanan publik masih rendah.
Keempat: Adanya pengembangan model pelayanan kontraksional yang memungkinkan masyarakat ikut terlibat aktif dalam desain dan implementasi kebijakan pelayanan.
Kelima: Aspek humanisme dalam pelayanan publik kita belum menjadi fokus utama.
Kedua: Masih adanya persepsi masyarakat yang keliru terhadap pelayanan publik karena kurang adanya komunikasi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat.
Ketiga: Peran warga negara dalam pelayanan publik masih rendah.
Keempat: Adanya pengembangan model pelayanan kontraksional yang memungkinkan masyarakat ikut terlibat aktif dalam desain dan implementasi kebijakan pelayanan.
Kelima: Aspek humanisme dalam pelayanan publik kita belum menjadi fokus utama.
Dari beberapa
kesimpulan di atas, kiranya tulisan ini dapat menjadi bahan evaluasi tentang
pelayanan publik di Indonesia serta membuka wawasan kita tentang kondisi
pelayanan publik kita agar dapat direncanakan strategi perubahan yang lebih
matang dan komprehensif demi perbaikan pelayanan kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Caiden,Gerald,2000. The
Essence of Public Service Professionalism; On Promoting Ethics in the
Public Service, United
Nations, New York.
Denhardt,
Janet V. and Denhardt, Robert B., 2007. The New Public Service, Serving Not Steering, Expanded Edition,
Armonk, New York, London, England: M.E.Sharpe.
Department of Economic and Social Affairs,2000. Promoting Ethics in the Public Service, United
Nations, New York.
Dwiyanto,Agus,2008.
Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
--------------------,2011. Manajemen Pelayanan Publik, Peduli, Inklusif dan Kolaboratif, Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, Edisi kedua,.
Gaventa,John, 2002. Making Rights Real: Exploring Citizenship, Participation and accounta-bility,Brighton,
Inggris: Institute of Development
Studies Bulletin Volume 33 No.2.
Haque,
M. Shamsul, 1999. Relationship between
citizenship and public administration: a reconfiguration, International
Review of Administrative Sciences, SAGE Publications (London, Thousand Oaks, CA
and New Delhi), Vol. 65.
Kartasasmita,Ginanjar,1997. Karakteristik Dan Struktur Masyarakat Indonesia Modern, Disampaikan
pada Uji Sahih Penyusunan Konsep GBHN 1998, di Yogyakarta, 29 Juni 1997.
Keban,Yeremias T., 2001. Etika Pelayanan Publik: Pergeseran Paradigma, Dilema dan Implikasinya
bagi Pelayanan Publik di Indonesia , Bappenas,
Jakarta: Majalah Perencaan Pembangunan Edisi 24.
Komisi Pemberantasan Korupsi,2011. Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2010, Fakta Korupsi Dalam
Layanan Publik, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.
McClain, Linda C.,2001. The
Domain of Civic Virtue in a Good Society: Families, Schools, and Sex Equality,
69 Fordham L. Rev. 1617.
Rapar,J.H.,2002. Filsafat Politik Plato,Aristoteles,Agustinus,Machiavelli,
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Scholte, Jan Aart,2001. Civil
Society and Democracy in Global Governance, Department of Politics and
International Studies, University of Warwick CSGR Working Paper No. 65/01
January 2001.
UNDP Indonesia,2009. Menakar
Demokrasi Di Indonesia: Indeks Demokrasi Indonesia 2009, Jakarta: United
Nations Development Programme.
UNDP,2012. One Planet
To Share: Sustaining Human Progress in a Changing Climate,Bangkok,
Thailand: UNDP Asia-Pacific Regional Centre, Asia Pacific Human Development
Report.
Wahyudi,Andy,2010. Urgensi
Komunikasi Dalam Menunjang Efektivitas Penyelenggaraan Pelayanan Publik,
Samarinda: Borneo Administrator, Vol.6 No.3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar