PENDAHULUAN
Perencanaan menurut
Diana Conyers dan Peter Hills (1984,hal.3)
adalah suatu proses berkelanjutan yang melibatkan keputusan-keputusan
atau pilihan-pilihan tentang alternatif pemanfaatan sumber daya yang ada dengan
maksud mencapai tujuan tertentu di masa yang akan datang. Sebagai suatu proses,
perencanaan akan berkaitan dengan tahapan-tahapan tertentu baik yang sudah tertata dengan rapi maupun
tahapan-tahapan yang berkembang secara alamiah. Tahapan-tahapan dalam
perencanaan ini dengan sendirinya akan melibatkan berbagai aspek di luar
perencanaan, baik menyangkut aktornya, sumber-sumber datanya maupun aspek
lingkungan dimana suatu perencanaan dibuat.
Keterkaitan antara
perencanaan dengan faktor-faktor lain di luar dirinya diungkapkan oleh Conyers
dan Hills yang mengatakan bahwa “Salah
satu implikasi yang paling signifikan dari keterkaitan antara perencanaan, pembuatan
kebijakan dan pelaksanaan adalah kenyataan bahwa perencanaan tidak dapat
dianggap terpisah dari lingkungan sosial, administrasi dan khususnya lingkungan
politik dimana ia harus beroperasi. Hal ini penting, terutama untuk
mempertimbangkan sistem politik di negara yang bersangkutan (misalnya cara
dimana para pemimpin politik berkuasa, apakah menggunakan sistem satu partai
atau multi partai dan derajat sentralisasi atau desentralisasi), ideologi
politik pemerintah yang berkuasa dan struktur sosial masyarakat. “ (Conyers dan
Hills, 1984, hal.17). Secara khusus, tulisan ini akan menggambarkan tentang
bagaimana pengaruh aspek politik di dalam perencanaan pembangunan di Indonesia,
dengan terlebih dahulu melihat tinjauan teoritis tentang keterkaitan antara
politik dan perencanaan untuk menemukan wilayah dimana ada interaksi antara
politik dengan perencanaan.
POLITIK DAN PERENCANAAN
1.
Pengaruh
Situasi Politik Terhadap Perencanaan
Dalam
definisi pembangunan yang dikemukakan S.P. Siagian (2009, hal.4), dikatakan
bahwa pembangunan merupakan rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan
perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu negara bangsa
menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building). Salah satu
ide pokok yang dimunculkan dari pengertian ini adalah bahwa pembangunan
dilakukan secara terencana, baik dalam arti jangka panjang, jangka menengah
maupun jangka pendek. Cara pandang ini mau menegaskan bahwa perencanaan
merupakan salah satu bagian dari proses pembangunan yang diidentifikasi
memiliki tantangan di masa yang akan datang di bidang politik dimana posisi
perencanaan pembangunan merupakan salah satu bidang kajian dari
pembangunan administrasi dalam ilmu administrasi pembangunan.
Siagian
(2009,hal.39-40) mengemukakan lima perkembangan geopolitik yang dapat
menimbulkan ancaman terhadap proses pembangunan akibat perang dunia,perang
regional maupun perang lokal yaitu: Pertama,
di berbagai bagian dunia masih terdapat despot yang memerintah bangsanya
dengan tangan besi dan secara diktatorial dan proses demokratisasi di bidang
politik tidak terjadi sama sekali. Kedua,
berbagai negara masih terus memperkuat dan memperluas hegemoninya di bidang
politik, ekonomi dan militer. Ketiga,
di banyak negara terdapat gerakan-gerakan separatis (misalnya berdasarkan suku
dan atau agama) yang jika dibiarkan akan mengancam eksistensi negara yang
bersangkutan . Keempat, Di banyak
negara timbul gerakan-gerakan ekstrim fundamentalis yang juga merupakan ancaman
terhadap kedaulatan dan kemerdekaan negara yang bersangkutan. Kelima, masih adanya pandangan tentang
supremasi bangsa tertentu yang antara lain berakibat pada pelecehan martabat
bangsa lain dan menolak kehadiran bangsa lain itu di negara yang bersangkutan.
Perkembangan geopolitik
sebagaimana dikemukakan di atas akan menimbulkan kekacauan dan perang yang
dengan sendirinya akan berdampak pada proses perencanaan, dimana agenda-agenda
perencanaan seperti penyusunan rencana, penetapan rencana, pengendalian
pelaksanaan rencana dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana tidak dapat
berjalan sebagaimana mestinya. Dalam sejarah perencanaan pembangunan di
Indonesia, hal ini pernah terjadi antara Tahun 1947 sampai dengan 1969. Pada tahun 1947 terbentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi, yang
ketuanya pada saat itu adalah Drs. Mohammad Hatta. Hasil dari panitia ini berupa
rencana dengan tajuk „Dasar Pokok daripada Plan Mengatur Ekonomi Indonesia“. Keadaan
negara pada saat itu mengakibatkan plan tersebut tidak dapat dilaksanakan,
sampai akhirnya dibuat dokumen lain berupa perencanaan beberapa sektor
perekonomian yang dikenal
sebagai „Plan Produksi Tiga tahun RI“. Rentang waktu dari plan itu antara 1948
sampai dengan 1950. Plan inipun tidak dapat dilaksanakan. Dengan terbentuk Republik Indonesia Serikat,
dari tahun 1950 sampai dengan 1952
telah dibuat berbagai jenis rencana darurat dalam menyelesaikan masalah
mendesak,
namun situasi dan kondisi
kehidupan bernegara pada saat itu menyebabkan berbagai rencana inipun gagal
dilaksanakan. Pada tahun 1952 terbentuklah Biro Perancang Negara, di
bawah Kementerian Negara Urusan Pembangunan, yang dijabat
oleh Ir. H. Djuanda. Usaha mereka telah menghasilkan Rencana Pembangunan Lima
Tahun (RPLT) 1956-1960. Sayangnya, kehidupan politik dalam negeri pada saat itu telah
menghambat pelaksanaan RPLT ini. Melalui dekrit presiden 5 Juli 1959, yang mengembalikan konstitusi
negara kepada UUD 1945, dibentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang diketuai oleh Mr.
Muhammad Yamin. Tugas dari dewan ini adalah menyusun rencana pembangunan
nasional. Lembaga ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Semesta Berencana (Comprehensive
National Development Plan) untuk jangka waktu 1961-1969. Melalui Penetapan
Presiden No 12 tahun 1963 (Penpres 12/1963), Depernas dirubah menjadi Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Kehidupan politik bangsa bernegara
pada saat itu, yang ditandai dengan Perjuangan Pembebasan Irian Barat, kemudian
Penentangan berdirinya negara Malaysia serta berujung pada Pemberontakan G 30
S/PKI, telah mengakibatkan terhambatnya proses pembangunan berencana.
Masa bergejolak ini berakhir dengan mundurnya Presiden
Soekarno yang ditandai dengan penyerahan kekuasaannya kepada Mayjen Soeharto
melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar).
Pemerintahan baru di tangan Soeharto ini kemudian berusaha memperbaiki
perekonomian negara dengan dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No 15/EK/IN/1967
yang menugaskan Bappenas membuat rencana pemulihan ekonomi dengan dokumen yang
dihasilkan berupa Rencana
Pembangunan Lima Tahun I (Repelita I), untuk kurun waktu tahun 1969 sampai
dengan tahun 1973.
Gambaran sejarah
perkembangan perencanaan pembangunan di Indonesia di atas menunjukkan bahwa
hampir dua puluh tahun lebih, Indonesia telah mengalami suatu periode dimana
pergolakan politik yang terjadi di tanah air sangat menghambat bahkan
menggagalkan proses perencanaan pembangunan nasional. Hal positip yang bisa
dipelajari yakni bahwa proses perencanaan pembangunan sangat erat kaitannya
dengan konsep ruang dan waktu. Perencanaan sebagai suatu proses akan berjalan
baik bukan saja dipengaruhi oleh
kemampuan aktor-aktor yang berperan di dalamnya tetapi juga sangat
membutuhkan ruang politik yang kondusif dan mendukung terselenggaranya proses
perencanaan yang berkwalitas. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari periode
kepemimpinan Soeharto dimana situasi politik dikendalikan sedemikian rupa
terutama melalui intervensi pihak militer sehingga proses perencanaan dapat
berjalan sesuai agendanya, bahkan output yang dihasilkan dari proses
perencanaan juga cukup terukur. Salah satu keberhasilan yang dapat dilihat
yakni adanya swasembada pangan sebagai dampak dari proses perencanaan pembangunan
yang dibuat pada saat itu. Tentu saja keberhasilan ini tidak menjustifikasi
bahwa apa yang dilakukan Soeharto baik adanya, sebab sekalipun secara ekonomi
kita berhasil meningkatkan pendapatan nasional namun aspek-aspek lain seperti
demokrasi, humanisme dan HAM telah dikorbankan. Konteks pembangunan yang
dikembangkan pada jaman Soeharto adalah konteks pembangunan ekonomi bukan
pembangunan nasional sebab pembangunan nasional tidak hanya melihat peningkatan
ekonomi sebagai indikatornya tetapi semua aspek yang berkaitan seperti
pembangunan fisik, pembangunan pendidikan, pembangunan politik, pembangunan
sosial, pembangunan administrasi dan sebagainya.
2.
Proses
Politik Dalam Perencanaan Partisipatif
Conyers (1981) berpendapat bahwa
pada dasarnya perencanaan tidak lain merupakan sebuah proses politik yang
menimbulkan adanya persaingan antar kelompok. Oleh karena itu, kapasitas perencana harus mampu bersifat dan bertindak
obyektif dalam merekomendasikan solusi ketika terjadi perbedaan pendapat dalam
pengambilan keputusan pemanfaatan ruang. Demokratisasi yang terjadi di
Indonesia membawa sebuah perubahan besar dalam paradigma perencanaan di
Indonesia dan saat ini reformasi tersebut tengah berlangsung dan belum
menemukan arah yang tepat.
Budaya politik
menurut Gabriel Almond adalah pola sikap dan orientasi individu terhadap
politik di antara anggota system politik. Almond membagi tiga jenis budaya
politik berdasarkan orientasi politik yang dicirikan berdasarkan
karakter-karakter yang ada dalam budaya politik. Pertama budaya politik parochial di mana kesadaran obyek
politiknya kecil atau tidak ada. Kelompok ini dapat ditemukan dalam lapisan
masyarakat. Kedua budaya politik kaula
adalah mereka yang berorientasi terhadap system politik dan pengaruhnya
terhadap output yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti tunjangan sosial dan
hukum namun mereka tidak berpartisipasi dalam proses input. Ketiga budaya
politik partisipan adalah individu
yang berorientasi terhadap struktur input dan proses serta terlibat di dalamnya
atau melihat dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan
pembuatan keputusan. Salah satu pilar yang terus didorong perannya dalam upaya
mewujudkan good governance di Indonesia adalah partisipasi. Tuntutan
agar masyarakat menjadi subyek yang aktif dalam perencanaan (planning by,
not planning for). Partisipasi masyarakat dalam perencanaa adalah
keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan.
Menurut Solihin
(2001), konsep partisipasi telah beralih dari sekedar kepedulian terhadap
“penerima bantuan” atau “kaum tersisih” menuju ke suatu kepedulian dengan
pelbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan
keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Oleh karena itu, setidaknya ada
tiga substansi yang perlu dicermati dalam suatu proses perencanaan
partisipatif, yaitu:
1.
Hak dan
tindakan masyarakat menyampaikan aspirasi, gagasan kebutuhan, kepentingan, dan
tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah.
2.
Ruang dan
kapasitas masyarakat dalam mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat
aktif mengelola barang-barang public.
3. Kontrol masyarakat terhadap lingkungan dan komunitasnya maupun
proses politik yang terkait dengan pemerintah.
Pengertian
perencanaan menurut Albert Waterson adalah Planning
is an organized, conscious, and continual attempt to select the best available
alternatives to achieve specific goals. Dalam kaitannya dengan politik,
Diana Conyers dan Peter Hills (1984,hal. 3) menyebut perencanaan sebagai proses
berkelanjutan yang telah dimasuki oleh unsur-unsur politik. Karena pada
hakikatnya manusia adalah zoon politicon, maka segala aspek dalam kehidupan
manusia tentu selalu berkaitan dengan politik termasuk perencanaan.
Dalam konteks perencanaan
pembangunan, Badan Perencanaan dan Pembangunan memiliki beberapa pendekatan
dalam menyusun dokumen perencanaan. Salah satu pendekatan dalam proses
penyusunan kebijakan adalah pendekatan bottom up. Pendekatan ini merupakan upaya melibatkan semua pihak sejak
awal, sehingga setiap keputusan yang diambil dalam perencanaan adalah keputusan
mereka bersama, dan mendorong keterlibatan dan komitmen sepenuhnya untuk
melaksanakannya. Wujud konkrit dari pendekatan ini adalah Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Musrenbang adalah forum perencanaan (program) yang
dilaksanakan oleh lembaga publik dari tingkat desa/keluarahan hingga ke tingkat
pusat, bekerja sama dengan warga dan para pemangku kepentingan lainnya.
Musrenbang yang bermakna akan mampu membangun kesepahaman tentang kepentingan
dan kemajuan, dengan cara memotret potensi dan sumber-sumber pembangunan yang
tidak tersedia baik dari dalam maupun luar. Musrenbang ditujukan untuk mengakomodir aspirasi masyarakat melalui implementasi
pendekatan bottom up di dalam perencanaan. Dengan pendekatan ini, masyarakat
memiliki kesempatan yang besar guna menyuarakan aspirasi dan memaparkan kondisi
riil di kehidupan masyarakat agar dapat diakomodasikan dalam penyusunan program
dan kegiatan pembangunan. Maka diperlukan partisipasi dari segenap lapisan
masyarakat untuk mewujudkan Musrenbang. Partisipasi masyarakat tersebut
berkaitan dengan budaya politik partisipan seperti yang dipaparkan di atas.
Partisipasi masyarakat merupakan suatu manifestasi politik demokrasi Pancasila
yang menjadi system politik Indonesia.
3.
Pengaruh
Ideologi Politik Terhadap Perencanaan
Konsep
dasar perencanaan adalah rasionalitas, yakni cara berpikir ilmiah dalam
menyelesaikan problem dengan cara sistematis dan menyediakan berbagai
alternatif solusi guna memperoleh tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu
perencanaan sangat dipengaruhi oleh karakter masyarakat dalam mengembangkan
budaya ilmiah dalam menyelesaikan Tugas Filsafat dan Teori Perencanaan
Pembangunan dua permasalahan yang dihadapinya. Hal ini cukup beralasan karena
perencanaan juga berkaitan dengan pengambilan keputusan (decision making),
sedangkan kualitas hasil pengambilan keputusan berkorelasi dengan pengetahuan
(knowledge), pengalaman (experience), informasi berupa data yang dikumpulkan
oleh pengambil keputusan (ekskutor).
Menurut Friedmann, perencanaan akan berhadapan dengan
problem mendasar yakni bagaimana teknis pengetahuan perencanaan yang efektif
dalam menginformasikan aksi-aksi publik. Atas dasar tersebut maka perencanaan
didefinisikan sebagai komponen yang menghubungkan antara pengetahuan dengan
aksi/tindakan dalam wilayah publik. Pada prinsipnya Friedmann menyatakan
perencanaan harus bertujuan untuk kepentingan masyarakat banyak.
Di sisi lain, Campbell dan Fainstain (1999:1) menyatakan
bahwa dalam pembangunan kota atau daerah dipengaruhi sistem ekonomi kapitalis
atau demokratis. Dalam konteks tersebut maka pada prakteknya perencanaan tidak
dapat dipisahkan dengan suasana politik kota atau daerah sebab
keputusan-keputusan publik mempengaruhi kepentingankepentingan lokal. Hal ini
menjadi relevan apabila kekuasaan mempengaruhi perencanaan. Ketika perencanaan
telah dipengaruhi oleh sistem politik suatu kota atau daerah sebagaimana
pernyataan di atas, maka sebenarnya yang terjadi adalah wilayah rasional yang
menjadi dasar dalam perencanaan telah kehilangan independensinya. Selanjutnya
perencanaan akan menjadi tidak efektif dan efesien, bersifat mendua antara
idealisme “kepakaran seorang perencana” atau mengikuti selera atau
kemauan-kemauan, sehingga berimplikasi pada kualitas perencanaan dalam
pencapaian goal (tujuan) dan objektif (sasaran) yang dituju.
Keterkaitan politik terhadap perencanaan
pembangunan tersebut di atas, oleh para ahli politik dan pembangunan terutama
dapat dilihat dari adanya ideologi yang dianut oleh suatu negara. Hubungan
antara politik dan pembangunan menurut Bintoro (1988:54), walaupun secara
spesifik ia mengkaitkannya dengan adminitrasi pembangunan dapat dilihat dari
beberapa hal:
1.
Aspek politik yang mempunyai pengaruh
tibal balik dengan adminitrasi pembangunan adalah filsafat hidup bangsa atau
filsafat politik kemasyarakatan dari suatu negara tertentu. Hal ini juga
berhubungan dengan interdepedensi antara sistem politik yang dianut dengan
admintrasi pembangunan.
2.
Komitmen dari elite kekuasaan
pemerintahan terhadap proses pembangunan dan kesediaan
menerima pendekatan yang sungguh- sungguh terhadap usaha yang saling terkait
antara berbagai segi kehidupan masyarakat.
3.
Masalah yang berhubungan dengan
kestabilan politik.
4.
Perkembangan bidang politik ke arah
pemberian iklim politik yang lebih menunjang pembangunan.
Pengaruh ideologi politik terhadap
perencanaan pembangunan di Indonesia dapat dianalisis dari dokumen perencanaan
periode 1968-1998. Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional periode
1968-1998 adalah ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum
perencanaan pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana
Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses penyusunannya sangat sentralistik
dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi
oleh pemerintah pusat dan bersifat eksklusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat
sebagai subjek utama out-put perencanaan kurang dilibatkan secara aktif.
Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang
dibuat oleh pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa
dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas daerah
dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya. Distribusi anggaran negara
ibarat piramida terbalik, sedangkan komposisi masyarakat sebagai penikmat
anggaran adalah piramida seutuhnya. Sebenarnya pola perencanaan melalui
pendekatan sentralistik/top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu
hal yang sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk
direposisi walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh
sebelum dinamika reformasi terjadi.
Kegagalan sistem ekonomi terpusat yang selalu diidentikkan
dengan sistem ekonomi komando (Kartasasmita,1999: 50) sedikit banyak telah
mempengaruhi pandangan pandangan tentang perencanaan. Antara lain kita bisa
mengatakan bahwa sebab kegagalan tersebut adalah karena adanya sistem
perencanaan sentralistik, top down dan kurang melibatkan partisipasi
masyarakat. Walaupun permasalahan tersebut bukan satu satunya penyebab
kegagalan, dipandang dari sudut efisiensi dan efektivitasnya, hal tersebut
sangat memberatkan pemerintah apalagi jika ditunjang dengan kondisi sosial
politik yang tidak kondusif.
Meskipun pernyataan itu tidak secara eksplisit
menyebutkan perlunya perencanaan dalam pembangunan ekonomi pasar maupun non
pasar yang cemderung moderat. Lebih sederhananya kita bisa melihat politik
dalam perencanaan ekonomi di daerah kota Malang yang cenderung membangun dengan
menitikberatkan pada mekanisme pasar. Kepala daerah membuat “open door policy”
kebijakan yang membuka pintu seluas-luasnya bagi keberhasilan investasi di
daerah tersebut. Salah satu kebijakannya adalah mempermudah perijinan dalam
membuka usaha di Kota Malang dengan sistem investasi yang besar. Disini dapat
dilihat bahwa banyak kasus pembagunan yang tidak menyangkut kan pada
partisipasi masyarakat sehingga lebih
banyak pada kepentingan kekuasaan politk yang menekankan pada aspek ekonomi
serta tanpa melihat aspek sosial budaya dan penataan ruang kota.
4.
Perencanaan
Partisipatif Dalam Konteks Demokrasi Keterwakilan
Kartasasmita (1997), menyebutkan bahwa studi empiris
banyak menunjukkan kegagalan pembangunan atau pembangunan tidak memenuhi
sasaran karena kurangnya partisipasi (politik) masyarakat, bahkan banyak kasus
menunjukkan rakyat menentang upaya pembangunan. Keadaan ini dapat terjadi
karena beberapa hal:
- Pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil orang dan tidak menguntungkan rakyat banyak bahkan pada sisi ekstrim dirasakan merugikan.
- Pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud tersebut.
- Pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman tersebut.
- Pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi rakyat tidak diikutsertakan.
Ternyata hal tersebut di atas dilihat memiliki
keterkaitannya dengan konteks partisipasi dalam perencanaan pembangunan.
Menurut Gaventa dan Valderama (1999), ada tiga tradisi konsep partisipasi
terutama bila dikaitkan dengan praksis pembangunan masyarakat yang demokratis
yaitu: partisipasi politik, partisipasi sosial, dan partisipasi warga.
Dalam kerangka demokrasi, partisipasi dipandang
sebagai inti dari demokrasi. Karena itu pada awalnya konsep partisipasi dikaitkan
dengan proses-proses politik yang demokratis. Ada dua pendekatan terhadap
demokrasi yakni, pendekatan normatif
dan pendekatan empirik (Unesco;1995, Afan Gaffar;1999). Pendekatan normatif,
menekankan pada ide dasar dari demokrasi yaitu kedaulatan ada di tangan rakyat
dan oleh karenanya pemerintahan diselenggarakan dari, oleh, dan untuk rakyat
(Amandemen UUD 1945). Sedangkan
pendekatan empiric menekankan pada perwujudan demokrasi dalam kehidupan
politik. Secara empiric kita sulit menerapkan kedaulatan rakyat secara utuh.
Selain beragam dan seringkali saling bertentangan, rakyat juga sulit dihimpun
untuk penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Untuk itu perlu ada lembaga
perwakilan/lembaga pemerintahan, yang anggota-anggotanya dipilih dari partai
politik atau perseorangan sebagai agregasi dari berbagai kepentingan rakyat.
Secara empiric demokrasi merupakan rangkaian prosedur yang mengatur rakyat
untuk memilih, mendudukan, dan meminta pertanggungjawaban orang yang mewakili
partai/kelompok kepentingan tertentu di lembaga perwakilan dan atau lembaga
pemerintahan. Orang-orang terpilih inilah yang kemudian membuat dan menjalankan
keputusan publik.
Dalam proses
politik yang demokratis ‘partisipasi politik’ melibatkan interaksi perseorangan
atau organisasi, biasanya partai politik, dengan negara. Karena itu partisipasi
politik seringkali dihubungkan dengan demokrasi politik, perwakilan, dan
partisipasi tak langsung. Partisipasi politik diungkapkan dalam tindakan
seorang individu atau kelompok terorganisir untuk melakukan pemungutan suara,
kampanye, protes, untuk mempengaruhi wakil-wakil pemerintah. Dengan demikian
partisipasi politik lebih berorientasi pada ‘mempengaruhi’ dan ‘mendudukkan
wakil-wakil rakyat’ dalam lembaga pemerintahan ketimbang ‘partisipasi aktif’
dan ‘langsung’ dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.
Setidaknya ada enam prinsip dasar dalam
perencanaan partisipatif, khususnya
perencanaan partisipatif dalam konteks demokrasi keterwakilan yaitu :
1. Saling percaya.
Di antara semua pihak yang terlibat dalam penyusunan perencanaan harus saling percaya, saling mengenal dan dapat bekerja sama. Untuk menumbuhkan rasa saling percaya dituntut adanya kejujuran dan keterbukaan.
Di antara semua pihak yang terlibat dalam penyusunan perencanaan harus saling percaya, saling mengenal dan dapat bekerja sama. Untuk menumbuhkan rasa saling percaya dituntut adanya kejujuran dan keterbukaan.
2. Kesetaraan.
Prinsip kesetaraan dimaksudkan agar semua pihak yang terlibat dalam penyusunan perencanaan dapat berbicara dan mengemukakan pendapatnya, tanpa adanya perasaan tertekan.
Prinsip kesetaraan dimaksudkan agar semua pihak yang terlibat dalam penyusunan perencanaan dapat berbicara dan mengemukakan pendapatnya, tanpa adanya perasaan tertekan.
3. Demokratis.
Prinsip demokrasi menuntut adanya proses pengambilan keputusan yang merupakan kesepakatan bersama, bukan merupakan rekayasa kelompok tertentu.
Prinsip demokrasi menuntut adanya proses pengambilan keputusan yang merupakan kesepakatan bersama, bukan merupakan rekayasa kelompok tertentu.
4. Nyata.
Perencanaan hendaknya didasarkan pada segala sesuatu masalah atau kebutuhan yang nyata, bukan berdasarkan sesuatu yang belum jelas keberadaanya atau kepalsuan (fiktif).
Perencanaan hendaknya didasarkan pada segala sesuatu masalah atau kebutuhan yang nyata, bukan berdasarkan sesuatu yang belum jelas keberadaanya atau kepalsuan (fiktif).
5. Taat asas dalam berpikir.
Prinsip ini menghendaki dalam penyusunan perencanaan harus menggunakan cara berpikir obyektif, runtut dan mantap.
Prinsip ini menghendaki dalam penyusunan perencanaan harus menggunakan cara berpikir obyektif, runtut dan mantap.
6. Terfokus pada kepentingan warga masyarakat.
Perencanaan pembangunan hendaknya disusun berdasarkan permasalahan dan kebutuhan yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Perencanaan yang berdasarkan pada masalah dan kebutuhan nyata masyarakat, akan mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat.
Perencanaan pembangunan hendaknya disusun berdasarkan permasalahan dan kebutuhan yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Perencanaan yang berdasarkan pada masalah dan kebutuhan nyata masyarakat, akan mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat.
5.
Perencanaan
Teknokratis di Bawah Tekanan Politik
Dalam suatu agen perencanaan
yang ideal, terdapat suatu penghalang antara seorang perencana untuk
berkomunikasi dengan politisi, yang menyebabkan tidak adanya integrasi dan
komitmen yang dibutuhkan. Ini membuat seorang perencana tidak bisa mengkritisi
seorang politisi. Ini membuat seorang perencana hanya mendapatkan peran yang
kecil. Hasilnya adalah kurangnya respek dan kepercayaan yang muncul dalam
hubungan antara seorang perencana dan
politisi (Friend and Jessop, 1969)
Tidak diragukan lagi bahwa
pengambilan keputusan adalah hak prerogrative dari politisi. Hanya mereka yang dapat
memberikan perintah kepada agensi perencanaan untuk membuat suatu program, yang
pendanaannya diambil dari dana anggaran , untuk memberikan manfaat kepada
banyak kelompok di dalam masyarakat. Namun bukan berarti politisi mendominasi
semua proses dalam pembuatan keputusan.
Politisi harus berinteraksi
sebagai seorang “partner” kepada lembaga perencana.
Kekuatan
otoritas politik terhadap perencanaan dapat kita lihat contoh kasus seperti
penolakan RUU JPSK oleh DPR pada 2008 lalu. Penolakan Rancangan Undang-Undang
Jaring Pengaman Sistem Keungan (JPSK) oleh DPR merupakan salah satu contoh
besarnya otoritas politik dalam perencanaan, RUU merupakan hasil kerja
pemerintah termasuk di dalamnya Bappenas. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa
besarnya kewenangan DPR (Politik) terhadap perencanan mempengaruhi secara
langsung baik proses maupun implementasi perencanaan tersebut.
Merujuk
kembali kepada penyataan Friend dan Jessop bahwa posisi perencana yang berada
dibawah kendali serta pengaruh dari politisi memberikan pandangan bahwa benar
adanya teori tersebut jika melihat kenyataan yang ada seperti penolakan JPSK
tersebut.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas maka beberapa
kesimpulan yang dapat ditarik dalam membicarakan tentang pengaruh politik
terhadap perencanaan yaitu :
1.
Untuk suksesnya suatu proses perencanaan
baik dalam proses formulasi, penetapan, implementasi dan evaluasi, dibutuhkan
kondisi politik yang baik yang dapat
menjamin terselenggaranya proses perencanaan tersebut.
2.
Perencanaan partisipatif merupakan salah
satu proses politik dalam perencanaan yang berkaitan dengan keterlibatan
langsung masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
3.
Ideologi politik suatu negara akan
menentukan dengan cara mana sebuah perencanaan dalam negara tersebut akan
dibuat.
4.
Perencanaan partisipatif juga dapat
dilakukan melalui demokrasi keterwakilan dimana masyarakat tidak terlibat
secara langsung dalam proses pengambilan keputusan melainkan melalui
perwakilan-perwakilan.
5.
Besarnya peran lembaga-lembaga politik
telah menempatkan perencanaan teknokratis di bawah tekanan dan kendali politik.
Daftar Pustaka
1. Diana
Conyers and Peter Hills,1984. An
Introduction to Development Plannning in the
Third Word, John Wiley series on public administration in developing countries, John Wiley & Sons Ltd. New
York.
2. S.P.
Siagian,2009. Administrasi Pembangunan
(konsep,dimensi dan strateginya), Bumi
Aksara, Jakarta.
3. Deddy
Supriady. Implikasi Perubahan UUD 1945
terhadap Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional, Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional “Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional dan Ekonomi Politik Baru Pasca Amandemen UUD 1945”, diselenggarakan
oleh Forum Regional Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Program Pascasarjana IPB bekerjasama dengan Himpunan
Perencana Wilayah dan Perdesaaan, di
Jakarta, 2 Juli 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar