Kamis, 15 November 2012

PENGARUH POLITIK TERHADAP PERENCANAAN




PENDAHULUAN
Perencanaan menurut Diana Conyers dan Peter Hills (1984,hal.3)  adalah suatu proses berkelanjutan yang melibatkan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tentang alternatif pemanfaatan sumber daya yang ada dengan maksud mencapai tujuan tertentu di masa yang akan datang. Sebagai suatu proses, perencanaan akan berkaitan dengan tahapan-tahapan tertentu baik  yang sudah tertata dengan rapi maupun tahapan-tahapan yang berkembang secara alamiah. Tahapan-tahapan dalam perencanaan ini dengan sendirinya akan melibatkan berbagai aspek di luar perencanaan, baik menyangkut aktornya, sumber-sumber datanya maupun aspek lingkungan dimana suatu perencanaan dibuat.
Keterkaitan antara perencanaan dengan faktor-faktor lain di luar dirinya diungkapkan oleh Conyers dan Hills yang mengatakan bahwa “Salah satu implikasi yang paling signifikan dari keterkaitan antara perencanaan, pembuatan kebijakan dan pelaksanaan adalah kenyataan bahwa perencanaan tidak dapat dianggap terpisah dari lingkungan sosial, administrasi dan khususnya lingkungan politik dimana ia harus beroperasi. Hal ini penting, terutama untuk mempertimbangkan sistem politik di negara yang bersangkutan (misalnya cara dimana para pemimpin politik berkuasa, apakah menggunakan sistem satu partai atau multi partai dan derajat sentralisasi atau desentralisasi), ideologi politik pemerintah yang berkuasa dan struktur sosial masyarakat. “ (Conyers dan Hills, 1984, hal.17). Secara khusus, tulisan ini akan menggambarkan tentang bagaimana pengaruh aspek politik di dalam perencanaan pembangunan di Indonesia, dengan terlebih dahulu melihat tinjauan teoritis tentang keterkaitan antara politik dan perencanaan untuk menemukan wilayah dimana ada interaksi antara politik dengan perencanaan.

 POLITIK DAN PERENCANAAN
1.      Pengaruh Situasi Politik Terhadap Perencanaan
            Dalam definisi pembangunan yang dikemukakan S.P. Siagian (2009, hal.4), dikatakan bahwa pembangunan merupakan rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu negara bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building). Salah satu ide pokok yang dimunculkan dari pengertian ini adalah bahwa pembangunan dilakukan secara terencana, baik dalam arti jangka panjang, jangka menengah maupun jangka pendek. Cara pandang ini mau menegaskan bahwa perencanaan merupakan salah satu bagian dari proses pembangunan yang diidentifikasi memiliki tantangan di masa yang akan datang di bidang politik dimana posisi perencanaan ­­­­­­pembangunan merupakan salah satu bidang kajian dari pembangunan administrasi dalam ilmu administrasi pembangunan.
            Siagian (2009,hal.39-40) mengemukakan lima perkembangan geopolitik yang dapat menimbulkan ancaman terhadap proses pembangunan akibat perang dunia,perang regional maupun perang lokal yaitu: Pertama, di berbagai bagian dunia masih terdapat despot yang memerintah bangsanya dengan tangan besi dan secara diktatorial dan proses demokratisasi di bidang politik tidak terjadi sama sekali. Kedua, berbagai negara masih terus memperkuat dan memperluas hegemoninya di bidang politik, ekonomi dan militer. Ketiga, di banyak negara terdapat gerakan-gerakan separatis (misalnya berdasarkan suku dan atau agama) yang jika dibiarkan akan mengancam eksistensi negara yang bersangkutan . Keempat, Di banyak negara timbul gerakan-gerakan ekstrim fundamentalis yang juga merupakan ancaman terhadap kedaulatan dan kemerdekaan negara yang bersangkutan. Kelima, masih adanya pandangan tentang supremasi bangsa tertentu yang antara lain berakibat pada pelecehan martabat bangsa lain dan menolak kehadiran bangsa lain itu di negara yang bersangkutan.
Perkembangan geopolitik sebagaimana dikemukakan di atas akan menimbulkan kekacauan dan perang yang dengan sendirinya akan berdampak pada proses perencanaan, dimana agenda-agenda perencanaan seperti penyusunan rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan rencana dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dalam sejarah perencanaan pembangunan di Indonesia, hal ini pernah terjadi antara Tahun 1947 sampai dengan 1969. Pada tahun 1947 terbentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi, yang ketuanya pada saat itu adalah Drs. Mohammad Hatta. Hasil dari panitia ini berupa rencana dengan tajuk „Dasar Pokok daripada Plan Mengatur Ekonomi Indonesia“. Keadaan negara pada saat itu mengakibatkan plan tersebut tidak dapat dilaksanakan, sampai akhirnya dibuat dokumen lain berupa perencanaan beberapa sektor perekonomian yang dikenal sebagai „Plan Produksi Tiga tahun RI“. Rentang waktu dari plan itu antara 1948 sampai dengan 1950. Plan inipun tidak dapat dilaksanakan. Dengan terbentuk Republik Indonesia Serikat, dari tahun 1950 sampai dengan 1952 telah dibuat berbagai jenis rencana darurat dalam menyelesaikan masalah mendesak, namun situasi dan kondisi kehidupan bernegara pada saat itu menyebabkan berbagai rencana inipun gagal dilaksanakan. Pada tahun 1952 terbentuklah Biro Perancang Negara, di bawah Kementerian Negara Urusan Pembangunan, yang dijabat oleh Ir. H. Djuanda. Usaha mereka telah menghasilkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) 1956-1960. Sayangnya, kehidupan politik dalam negeri pada saat itu telah menghambat pelaksanaan RPLT ini. Melalui dekrit presiden 5 Juli 1959, yang mengembalikan konstitusi negara kepada UUD 1945, dibentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang diketuai oleh Mr. Muhammad Yamin. Tugas dari dewan ini adalah menyusun rencana pembangunan nasional. Lembaga ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Semesta Berencana (Comprehensive National Development Plan) untuk jangka waktu 1961-1969. Melalui Penetapan Presiden No 12 tahun 1963 (Penpres 12/1963), Depernas dirubah menjadi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Kehidupan politik bangsa bernegara pada saat itu, yang ditandai dengan Perjuangan Pembebasan Irian Barat, kemudian Penentangan berdirinya negara Malaysia serta berujung pada Pemberontakan G 30 S/PKI, telah mengakibatkan terhambatnya proses pembangunan berencana. Masa bergejolak ini berakhir dengan mundurnya Presiden Soekarno yang ditandai dengan penyerahan kekuasaannya kepada Mayjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Pemerintahan baru di tangan Soeharto ini kemudian berusaha memperbaiki perekonomian negara dengan dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No 15/EK/IN/1967 yang menugaskan Bappenas membuat rencana pemulihan ekonomi dengan dokumen yang dihasilkan berupa Rencana Pembangunan Lima Tahun I (Repelita I), untuk kurun waktu tahun 1969 sampai dengan tahun 1973.
Gambaran sejarah perkembangan perencanaan pembangunan di Indonesia di atas menunjukkan bahwa hampir dua puluh tahun lebih, Indonesia telah mengalami suatu periode dimana pergolakan politik yang terjadi di tanah air sangat menghambat bahkan menggagalkan proses perencanaan pembangunan nasional. Hal positip yang bisa dipelajari yakni bahwa proses perencanaan pembangunan sangat erat kaitannya dengan konsep ruang dan waktu. Perencanaan sebagai suatu proses akan berjalan baik bukan saja dipengaruhi oleh  kemampuan aktor-aktor yang berperan di dalamnya tetapi juga sangat membutuhkan ruang politik yang kondusif dan mendukung terselenggaranya proses perencanaan yang berkwalitas. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari periode kepemimpinan Soeharto dimana situasi politik dikendalikan sedemikian rupa terutama melalui intervensi pihak militer sehingga proses perencanaan dapat berjalan sesuai agendanya, bahkan output yang dihasilkan dari proses perencanaan juga cukup terukur. Salah satu keberhasilan yang dapat dilihat yakni adanya swasembada pangan sebagai dampak dari proses perencanaan pembangunan yang dibuat pada saat itu. Tentu saja keberhasilan ini tidak menjustifikasi bahwa apa yang dilakukan Soeharto baik adanya, sebab sekalipun secara ekonomi kita berhasil meningkatkan pendapatan nasional namun aspek-aspek lain seperti demokrasi, humanisme dan HAM telah dikorbankan. Konteks pembangunan yang dikembangkan pada jaman Soeharto adalah konteks pembangunan ekonomi bukan pembangunan nasional sebab pembangunan nasional tidak hanya melihat peningkatan ekonomi sebagai indikatornya tetapi semua aspek yang berkaitan seperti pembangunan fisik, pembangunan pendidikan, pembangunan politik, pembangunan sosial, pembangunan administrasi dan sebagainya.

2.      Proses Politik Dalam Perencanaan Partisipatif 
Conyers (1981) berpendapat bahwa pada dasarnya perencanaan tidak lain merupakan sebuah proses politik yang menimbulkan adanya persaingan antar kelompok. Oleh karena itu, kapasitas  perencana harus mampu bersifat dan bertindak obyektif dalam merekomendasikan solusi ketika terjadi perbedaan pendapat dalam pengambilan keputusan pemanfaatan ruang. Demokratisasi yang terjadi di Indonesia membawa sebuah perubahan besar dalam paradigma perencanaan di Indonesia dan saat ini reformasi tersebut tengah berlangsung dan belum menemukan arah yang tepat.
            Budaya politik menurut Gabriel Almond adalah pola sikap dan orientasi individu terhadap politik di antara anggota system politik. Almond membagi tiga jenis budaya politik berdasarkan orientasi politik yang dicirikan berdasarkan karakter-karakter yang ada dalam budaya politik. Pertama budaya politik parochial di mana kesadaran obyek politiknya kecil atau tidak ada. Kelompok ini dapat ditemukan dalam lapisan masyarakat. Kedua budaya politik kaula adalah mereka yang berorientasi terhadap system politik dan pengaruhnya terhadap output yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti tunjangan sosial dan hukum namun mereka tidak berpartisipasi dalam proses input. Ketiga budaya politik partisipan adalah individu yang berorientasi terhadap struktur input dan proses serta terlibat di dalamnya atau melihat dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan pembuatan keputusan. Salah satu pilar yang terus didorong perannya dalam upaya mewujudkan good governance di Indonesia adalah partisipasi. Tuntutan agar masyarakat menjadi subyek yang aktif dalam perencanaan (planning by, not planning for). Partisipasi masyarakat dalam perencanaa adalah keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan.
            Menurut Solihin (2001), konsep partisipasi telah beralih dari sekedar kepedulian terhadap “penerima bantuan” atau “kaum tersisih” menuju ke suatu kepedulian dengan pelbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Oleh karena itu, setidaknya ada tiga substansi yang perlu dicermati dalam suatu proses perencanaan partisipatif, yaitu:
1.      Hak dan tindakan masyarakat menyampaikan aspirasi, gagasan kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan  pemerintah.
2.      Ruang dan kapasitas masyarakat dalam mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola barang-barang public.
3.      Kontrol masyarakat terhadap lingkungan dan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah.
            Pengertian perencanaan menurut Albert Waterson adalah Planning is an organized, conscious, and continual attempt to select the best available alternatives to achieve specific goals. Dalam kaitannya dengan politik, Diana Conyers dan Peter Hills (1984,hal. 3) menyebut perencanaan sebagai proses berkelanjutan yang telah dimasuki oleh unsur-unsur politik. Karena pada hakikatnya manusia adalah zoon politicon, maka segala aspek dalam kehidupan manusia tentu selalu berkaitan dengan politik termasuk perencanaan.
            Dalam konteks perencanaan pembangunan, Badan Perencanaan dan Pembangunan memiliki beberapa pendekatan dalam menyusun dokumen perencanaan. Salah satu pendekatan dalam proses penyusunan kebijakan adalah pendekatan bottom up. Pendekatan ini merupakan upaya melibatkan semua pihak sejak awal, sehingga setiap keputusan yang diambil dalam perencanaan adalah keputusan mereka bersama, dan mendorong keterlibatan dan komitmen sepenuhnya untuk melaksanakannya. Wujud konkrit dari pendekatan ini adalah Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Musrenbang adalah forum perencanaan (program) yang dilaksanakan oleh lembaga publik dari tingkat desa/keluarahan hingga ke tingkat pusat, bekerja sama dengan warga dan para pemangku kepentingan lainnya. Musrenbang yang bermakna akan mampu membangun kesepahaman tentang kepentingan dan kemajuan, dengan cara memotret potensi dan sumber-sumber pembangunan yang tidak tersedia baik dari dalam maupun luar. Musrenbang ditujukan untuk mengakomodir aspirasi masyarakat melalui implementasi pendekatan bottom up di dalam perencanaan. Dengan pendekatan ini, masyarakat memiliki kesempatan yang besar guna menyuarakan aspirasi dan memaparkan kondisi riil di kehidupan masyarakat agar dapat diakomodasikan dalam penyusunan program dan kegiatan pembangunan. Maka diperlukan partisipasi dari segenap lapisan masyarakat untuk mewujudkan Musrenbang. Partisipasi masyarakat tersebut berkaitan dengan budaya politik partisipan seperti yang dipaparkan di atas. Partisipasi masyarakat merupakan suatu manifestasi politik demokrasi Pancasila yang menjadi system politik Indonesia.

3.      Pengaruh Ideologi Politik Terhadap Perencanaan
Konsep dasar perencanaan adalah rasionalitas, yakni cara berpikir ilmiah dalam menyelesaikan problem dengan cara sistematis dan menyediakan berbagai alternatif solusi guna memperoleh tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu perencanaan sangat dipengaruhi oleh karakter masyarakat dalam mengembangkan budaya ilmiah dalam menyelesaikan Tugas Filsafat dan Teori Perencanaan Pembangunan dua permasalahan yang dihadapinya. Hal ini cukup beralasan karena perencanaan juga berkaitan dengan pengambilan keputusan (decision making), sedangkan kualitas hasil pengambilan keputusan berkorelasi dengan pengetahuan (knowledge), pengalaman (experience), informasi berupa data yang dikumpulkan oleh pengambil keputusan (ekskutor).
            Menurut Friedmann, perencanaan akan berhadapan dengan problem mendasar yakni bagaimana teknis pengetahuan perencanaan yang efektif dalam menginformasikan aksi-aksi publik. Atas dasar tersebut maka perencanaan didefinisikan sebagai komponen yang menghubungkan antara pengetahuan dengan aksi/tindakan dalam wilayah publik. Pada prinsipnya Friedmann menyatakan perencanaan harus bertujuan untuk kepentingan masyarakat banyak.
            Di sisi lain, Campbell dan Fainstain (1999:1) menyatakan bahwa dalam pembangunan kota atau daerah dipengaruhi sistem ekonomi kapitalis atau demokratis. Dalam konteks tersebut maka pada prakteknya perencanaan tidak dapat dipisahkan dengan suasana politik kota atau daerah sebab keputusan-keputusan publik mempengaruhi kepentingankepentingan lokal. Hal ini menjadi relevan apabila kekuasaan mempengaruhi perencanaan. Ketika perencanaan telah dipengaruhi oleh sistem politik suatu kota atau daerah sebagaimana pernyataan di atas, maka sebenarnya yang terjadi adalah wilayah rasional yang menjadi dasar dalam perencanaan telah kehilangan independensinya. Selanjutnya perencanaan akan menjadi tidak efektif dan efesien, bersifat mendua antara idealisme “kepakaran seorang perencana” atau mengikuti selera atau kemauan-kemauan, sehingga berimplikasi pada kualitas perencanaan dalam pencapaian goal (tujuan) dan objektif (sasaran) yang dituju.
 Keterkaitan politik terhadap perencanaan pembangunan tersebut di atas, oleh para ahli politik dan pembangunan terutama dapat dilihat dari adanya ideologi yang dianut oleh suatu negara. Hubungan antara politik dan pembangunan menurut Bintoro (1988:54), walaupun secara spesifik ia mengkaitkannya dengan adminitrasi pembangunan dapat dilihat dari beberapa hal:
1.      Aspek politik yang mempunyai pengaruh tibal balik dengan adminitrasi pembangunan adalah filsafat hidup bangsa atau filsafat politik kemasyarakatan dari suatu negara tertentu. Hal ini juga berhubungan dengan interdepedensi antara sistem politik yang dianut dengan admintrasi pembangunan.
2.      Komitmen dari elite kekuasaan pemerintahan terhadap proses pembangunan dan kesediaan menerima pendekatan yang sungguh- sungguh terhadap usaha yang saling terkait antara berbagai segi kehidupan masyarakat.
3.      Masalah yang berhubungan dengan kestabilan politik.
4.      Perkembangan bidang politik ke arah pemberian iklim politik yang lebih menunjang pembangunan.
Pengaruh ideologi politik terhadap perencanaan pembangunan di Indonesia dapat dianalisis dari dokumen perencanaan periode 1968-1998. Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional periode 1968-1998 adalah ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat eksklusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya. Distribusi anggaran negara ibarat piramida terbalik, sedangkan komposisi masyarakat sebagai penikmat anggaran adalah piramida seutuhnya. Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi terjadi.
            Kegagalan sistem ekonomi terpusat yang selalu diidentikkan dengan sistem ekonomi komando (Kartasasmita,1999: 50) sedikit banyak telah mempengaruhi pandangan pandangan tentang perencanaan. Antara lain kita bisa mengatakan bahwa sebab kegagalan tersebut adalah karena adanya sistem perencanaan sentralistik, top down dan kurang melibatkan partisipasi masyarakat. Walaupun permasalahan tersebut bukan satu satunya penyebab kegagalan, dipandang dari sudut efisiensi dan efektivitasnya, hal tersebut sangat memberatkan pemerintah apalagi jika ditunjang dengan kondisi sosial politik yang tidak kondusif.
            Meskipun pernyataan itu tidak secara eksplisit menyebutkan perlunya perencanaan dalam pembangunan ekonomi pasar maupun non pasar yang cemderung moderat. Lebih sederhananya kita bisa melihat politik dalam perencanaan ekonomi di daerah kota Malang yang cenderung membangun dengan menitikberatkan pada mekanisme pasar. Kepala daerah membuat “open door policy” kebijakan yang membuka pintu seluas-luasnya bagi keberhasilan investasi di daerah tersebut. Salah satu kebijakannya adalah mempermudah perijinan dalam membuka usaha di Kota Malang dengan sistem investasi yang besar. Disini dapat dilihat bahwa banyak kasus pembagunan yang tidak menyangkut kan pada partisipasi  masyarakat sehingga lebih banyak pada kepentingan kekuasaan politk yang menekankan pada aspek ekonomi serta tanpa melihat aspek sosial budaya dan penataan ruang kota.

4.      Perencanaan Partisipatif Dalam Konteks Demokrasi Keterwakilan
Kartasasmita (1997), menyebutkan bahwa studi empiris banyak menunjukkan kegagalan pembangunan atau pembangunan tidak memenuhi sasaran karena kurangnya partisipasi (politik) masyarakat, bahkan banyak kasus menunjukkan rakyat menentang upaya pembangunan. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa hal:

  1. Pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil orang dan       tidak   menguntungkan rakyat banyak bahkan pada sisi ekstrim dirasakan merugikan.
  2. Pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud tersebut.
  3. Pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman tersebut.
  4. Pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi rakyat tidak diikutsertakan.
Ternyata hal tersebut di atas dilihat memiliki keterkaitannya dengan konteks partisipasi dalam perencanaan pembangunan. Menurut Gaventa dan Valderama (1999), ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan praksis pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu: partisipasi politik, partisipasi sosial, dan partisipasi warga.
Dalam kerangka demokrasi, partisipasi dipandang sebagai inti dari demokrasi. Karena itu pada awalnya konsep partisipasi dikaitkan dengan proses-proses politik yang demokratis. Ada dua pendekatan terhadap demokrasi yakni, pendekatan normatif dan pendekatan empirik (Unesco;1995, Afan Gaffar;1999). Pendekatan normatif, menekankan pada ide dasar dari demokrasi yaitu kedaulatan ada di tangan rakyat dan oleh karenanya pemerintahan diselenggarakan dari, oleh, dan untuk rakyat (Amandemen UUD 1945).  Sedangkan pendekatan empiric menekankan pada perwujudan demokrasi dalam kehidupan politik. Secara empiric kita sulit menerapkan kedaulatan rakyat secara utuh. Selain beragam dan seringkali saling bertentangan, rakyat juga sulit dihimpun untuk penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari. Untuk itu perlu ada lembaga perwakilan/lembaga pemerintahan, yang anggota-anggotanya dipilih dari partai politik atau perseorangan sebagai agregasi dari berbagai kepentingan rakyat. Secara empiric demokrasi merupakan rangkaian prosedur yang mengatur rakyat untuk memilih, mendudukan, dan meminta pertanggungjawaban orang yang mewakili partai/kelompok kepentingan tertentu di lembaga perwakilan dan atau lembaga pemerintahan. Orang-orang terpilih inilah yang kemudian membuat dan menjalankan keputusan publik.
 Dalam proses politik yang demokratis ‘partisipasi politik’ melibatkan interaksi perseorangan atau organisasi, biasanya partai politik, dengan negara. Karena itu partisipasi politik seringkali dihubungkan dengan demokrasi politik, perwakilan, dan partisipasi tak langsung. Partisipasi politik diungkapkan dalam tindakan seorang individu atau kelompok terorganisir untuk melakukan pemungutan suara, kampanye, protes, untuk mempengaruhi wakil-wakil pemerintah. Dengan demikian partisipasi politik lebih berorientasi pada ‘mempengaruhi’ dan ‘mendudukkan wakil-wakil rakyat’ dalam lembaga pemerintahan ketimbang ‘partisipasi aktif’ dan ‘langsung’ dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.
Setidaknya ada enam prinsip dasar dalam perencanaan partisipatif, khususnya perencanaan partisipatif dalam konteks demokrasi keterwakilan yaitu :
1. Saling percaya.
Di
antara semua pihak yang terlibat dalam penyusunan perencanaan harus saling percaya, saling mengenal dan dapat bekerja sama. Untuk menumbuhkan rasa saling percaya dituntut adanya kejujuran dan keterbukaan.
2.  Kesetaraan.
Prinsip kesetaraan dimaksudkan agar semua pihak yang terlibat dalam penyusunan perencanaan dapat berbicara dan mengemukakan pendapatnya, tanpa adanya perasaan tertekan
.
3. Demokratis.
Prinsip demokrasi menuntut adanya proses pengambilan keputusan yang merupakan kesepakatan bersama, bukan mer
upakan rekayasa kelompok tertentu.
4. Nyata.
Perencanaan hendaknya didasarkan pada segala sesuatu masalah atau kebutuhan yang nyata, bukan berdasarkan sesuatu yang belum jelas keberadaanya atau kepalsuan (fiktif).
5.  Taat asas dalam berpikir.
Prinsip ini menghendaki dalam penyusunan perencanaan harus menggunakan cara berpikir obyektif, runtut dan mantap.
6. Terfokus pada kepentingan warga masyarakat.
Perencanaan pembangunan hendaknya disusun berdasarkan permasalahan dan kebutuhan yang dekat dengan ke
hidupan masyarakat. Perencanaan yang berdasarkan pada masalah dan kebutuhan nyata masyarakat, akan mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat.

5.      Perencanaan Teknokratis di Bawah Tekanan Politik
Dalam suatu agen perencanaan yang ideal, terdapat suatu penghalang antara seorang perencana untuk berkomunikasi dengan politisi, yang menyebabkan tidak adanya integrasi dan komitmen yang dibutuhkan. Ini membuat seorang perencana tidak bisa mengkritisi seorang politisi. Ini membuat seorang perencana hanya mendapatkan peran yang kecil. Hasilnya adalah kurangnya respek dan kepercayaan yang muncul dalam hubungan antara seorang perencana dan  politisi (Friend and Jessop, 1969)
Tidak diragukan lagi bahwa pengambilan keputusan adalah hak prerogrative dari politisi. Hanya mereka yang dapat memberikan perintah kepada agensi perencanaan untuk membuat suatu program, yang pendanaannya diambil dari dana anggaran , untuk memberikan manfaat kepada banyak kelompok di dalam masyarakat. Namun bukan berarti politisi mendominasi semua proses dalam pembuatan keputusan.  Politisi harus berinteraksi  sebagai seorang “partner” kepada lembaga perencana.
Kekuatan otoritas politik terhadap perencanaan dapat kita lihat contoh kasus seperti penolakan RUU JPSK oleh DPR pada 2008 lalu. Penolakan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keungan (JPSK) oleh DPR merupakan salah satu contoh besarnya otoritas politik dalam perencanaan, RUU merupakan hasil kerja pemerintah termasuk di dalamnya Bappenas. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa besarnya kewenangan DPR (Politik) terhadap perencanan mempengaruhi secara langsung baik proses maupun implementasi perencanaan tersebut.
Merujuk kembali kepada penyataan Friend dan Jessop bahwa posisi perencana yang berada dibawah kendali serta pengaruh dari politisi memberikan pandangan bahwa benar adanya teori tersebut jika melihat kenyataan yang ada seperti penolakan JPSK tersebut.

KESIMPULAN
            Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas maka beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dalam membicarakan tentang pengaruh politik terhadap perencanaan yaitu :
1.      Untuk suksesnya suatu proses perencanaan baik dalam proses formulasi, penetapan, implementasi dan evaluasi, dibutuhkan kondisi politik yang baik  yang dapat menjamin terselenggaranya proses perencanaan tersebut.
2.      Perencanaan partisipatif merupakan salah satu proses politik dalam perencanaan yang berkaitan dengan keterlibatan langsung masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
3.      Ideologi politik suatu negara akan menentukan dengan cara mana sebuah perencanaan dalam negara tersebut akan dibuat.
4.      Perencanaan partisipatif juga dapat dilakukan melalui demokrasi keterwakilan dimana masyarakat tidak terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan melainkan melalui perwakilan-perwakilan.
5.      Besarnya peran lembaga-lembaga politik telah menempatkan perencanaan teknokratis di bawah tekanan dan kendali politik.



Daftar Pustaka
1.      Diana Conyers and Peter Hills,1984. An Introduction to Development Plannning in          the Third Word, John Wiley series on public administration in developing    countries, John Wiley & Sons Ltd. New York.
2.      S.P. Siagian,2009. Administrasi Pembangunan (konsep,dimensi dan strateginya),             Bumi Aksara, Jakarta.
3.      Deddy Supriady. Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Sistem Perencanaan            Pembangunan Nasional, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional     “Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Ekonomi Politik Baru Pasca             Amandemen UUD 1945”, diselenggarakan oleh Forum Regional Program        Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Program    Pascasarjana IPB bekerjasama dengan Himpunan Perencana Wilayah dan     Perdesaaan, di Jakarta, 2 Juli 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar