Kamis, 11 April 2013

ISU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM KONTEKS BUDAYA LAMAHOLOT


PENDAHULUAN

            Isu pemberdayaan perempuan telah menjadi topik yang hangat dewasa ini, mulai dari lingkup global hingga ke tataran lokal. Hal ini merupakan reaksi atas adanya diskriminasi gender yang sudah lama terjadi. Pemberdayaan perempuan dilihat sebagai salah satu cara yang efektif dalam memperjuangkan adanya kesetaraan gender, khususnya dalam konteks perempuan sebagai korban diskriminasi oleh sistem atau struktur sosial di dalam masyarakat. Kita dapat melihat bahwa dalam berbagai kesempatan, sering kali perempuan mengalami diskriminasi misalnya dijadikan objek eksploitasi, mengalami kekerasan, subordinasi, serta adanya upaya marginalisasi perempuan. Kemudian permasalahan lain yang kerap dialami perempuan yaitu double burden (beban ganda) dimana peningkatan jumlah perempuan yang bekerja di wilayah publik, tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestik. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda. (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2012).
Salah satu dilema yang kemudian muncul dalam upaya pemberdayaan perempuan adalah dilema kultural. Malinowski (1960),  berpendapat bahwa budaya merupakan komposisi integral dari sebagian hal otonom dan sebagian lain yang dikordinasikan oleh organisasi. Budaya terintegrasi oleh serangkaian prinsip seperti yang ada pada satu kelompok masyarakat yang memiliki hubungan darah, kedekatan dalam ruang yang terkait dengan kerja sama, spesialisasi dalam kegiatan dan penggunaan kekuasaan dalam organisasi politik.
Di satu sisi kita menolak adanya diskriminasi terhadap perempuan tetapi di sisi lain, kita hidup dalam suatu budaya yang menempatkan perempuan pada posisi kedua setelah laki-laki. Tulisan ini hendak mengulas isu pemberdayaan perempuan dalam konteks kultur tersebut. Secara khusus salah satu budaya yang dapat dijadikan objek kajian adalah budaya Lamaholot di wilayah Flores Timur dan Lembata, Propinsi NTT. Kita akan terlebih dahulu mengenal tentang apa itu budaya Lamaholot dan dimana perempuan diposisikan dalam budaya itu, barulah dikomparasikan dengan isu pemberdayaan perempuan untuk melihat benang merah antara keduanya serta memberikan kesimpulan dan rekomendasi pada bagian akhirnya.

BUDAYA LAMAHOLOT

            Raymond Williams (John Storey, 2009) mendefinisikan budaya dalam tiga rujukan. Pertama, budaya bisa digunakan untuk merujuk kepada sebuah proses umum dari perkembangan intelektual, spiritual dan estetika. Kedua, budaya juga bisa menunjukkan tentang cara hidup tertentu baik itu seseorang, kelompok orang maupun cara hidup pada periode tertentu. Dan yang ketiga yakni budaya merujuk kepada karya dan praktek intelektual, terutama kegiatan artistik. Dengan demikian, dalam perspektif budaya Lamaholot, kita dapat melihat tiga aspek di atas dalam pembahasan kita tentang pemberdayaan perempuan. Pertama, kita bisa melihat tentang perkembangan intelektual, spiritual dan estetika Lamaholot. Kedua, kita juga bisa melihat cara hidup orang-orang Lamaholot dan bagaimana pergeseran cara hidupnya. Dan yang terakhir kita bisa melihat tentang karya dan praktek intelektual terutama di bidang artistik. Tentu saja ketiga aspek di atas tidak dapat dibahas seluruhnya dalam tulisan ini. Kita hanya melihat aspek-aspek tertentu yang erat kaitannya dengan konsep pemberdayaan perempuan.
            Untuk memahami konteks perkembangan intelektual yang ada dalam budaya Lamaholot, kita merujuk pada cara pandang Aguste Comte tentang tahap perkembangan intelektual.  Menurut Comte, proses evolusi ini melalui tiga tahapan utama:
1.      Tahapan teologis, yaitu tahapan dimana akal budi manusia mencari kodrat manusia serta semua gejala yang ada di sekitarnya dan menemukan bahwa ada  kekuatan yang mengendalikan semua itu yaitu dewa-dewa atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia mencari sebab pertama dan sebab akhir dari segala akibat. Singkatnya, pengetahuan absolute, mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supranatural.
2.      Tahapan metafisis,  yaitu tahap transisi antara tahap teologis dan positivis. Tahap ini ditandai dengan suatu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi. Atau dengan kata lain akal budi mengandaikan bukan hal supranatural, melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat pada semua benda.
3.      Tahapan positivistic, yaitu akal budi telah meninggalkan pencarian yang sia-sia terhadap pengertian-pengertian yang absolut, asal dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab gejala dan memusatkan perhatiannya pada studi tentang hukum-hukumnya,  yakni hubungan-hubungan urutan dan persamaanya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan, digabungkan secara tepat  sebagai sarana pengetahuan.
Dalam tahapan teologis, Comte juga menguraikannya dalam tiga bagian. Yang pertama fetisisme dan dinamisme yang menganggap alam semesta ini mempunyai jiwa, serta animisme yang mempercayai dunia sebagai kediaman roh-roh atau bangsa halus. Yang kedua politeisme yang mengelompokkan semua kejadian alam berdasarkan kesamaan-kesamaan di antara mereka, sehingga politeisme menyederhanakan alam semesta yang beraneka ragam. Yang terakhir, monoteisme yaitu kepercayaan yang menganggap hanya ada satu tuhan.
            Vatter dalam catatannya menulis bahwa dalam struktur desa tradisional Lamaholot, sebuah desa harus memiliki korke untuk upacara keagamaan dan rumah pertemuan yang menyertainya atau sering disebut bale. Idealnya struktur korke yang baik harus berdiri di pusat desa, sering berlawanan arah dengan candi dari suku yang  mengklaim statusnya sebagai tuan tanah. Tuan tanah jugalah yang mengambil peran utama dalam setiap urusan. Selanjutnya Arndt menyatakan bahwa jika candi tersebut berada di luar desa, itu menandakan lokasi bekas desa. Sebelum candi biasanya ditemukan sejumlah tumpukan batu yang sangat penting artinya bagi agama yang disebut dengan Nuba Nara. Persembahan kepada bipartit keilahian yang disebut dengan Lera Wulan (Matahari dan Bulan = langit) Tana Ekan (bumi), dilakukan di korke tersebut. (Barnes, 2009).
            Bagi orang Lamaholot, Nuba Nara merupakan simbol dan tempat bersemayamnya wujud tertinggi yang disebut dengan Lera Wulan Tana Ekan. Oleh karena itu berbagai ritus pasti dilakukan di tempat tersebut. Salah satu di antara berbagai ritus itu  yakni ritus Tuno Manuk (bakar ayam) yang merupakan rekonsiliasi antara manusia dengan Lera Wulan Tana Ekan atas hubungan yang rusak oleh keserakahan manusia. Tradisi tuno manuk ini digelar di Desa Demondei, Kecamatan Wotan Ulumado, Flores Timur, NTT. Dalam ritus ini, setiap kaum pria wajib membawa seekor ayam jantan sehat. Wakil dari perantau pun mempersembahkan seekor ayam jantan. Sebelum dibawa ke rumah adat, ayam didoakan terlebih dahulu di depan pintu rumah sekitar pukul 18.00 oleh seluruh anggota keluarga. Ayam-ayam itu lalu dibawa pemilik atau yang mewakili ke rumah adat yang disebut koke bale. Sambil berdoa, ayam-ayam itu disembelih oleh ketua adat. Darah ayam disiramkan di atas sebuah batu bulat ceper yang disebut nuba nara. Sepanjang ritual itu, masyarakat memperagakan tarian tradisional yang disebut Lian Namang. Mereka berbalas pantun; berisikan cinta dan suka-duka hidup dengan kata-kata berupa kiasan. Saat matahari terbit, ratusan ayam itu dicincang. Bagian hati dikumpulkan dan dipersembahkan kepada Lera Wulan-Tanah Ekan oleh ketua adat pada puncak acara. Puncak upacara ditandai dengan makan perjamuan bersama pada sore hari. Semua laki-laki duduk membentuk lingkaran di dekat koke bale. Ayam yang matang dibagikan kepada semua laki-laki yang duduk melingkar. Daging dan nasi disimpan dalam daun waru sebagai pengganti piring. Hanya laki-laki yang mengambil bagian dalam perjamuan itu. Seusai perjamuan adat, tetua adat bergerak menuju sumber air dan pohon besar. Arwah leluhur diyakini tinggal di hutan, pohon, batu, dan sumber air. Mereka menjaga dan melindungi kelestarian alam sekitar.(Kewa Ama, 2012).
            Siklus hidup orang Lamaholot mulai dari prakelahiran sampai dengan pascakematian juga sangat kental dengan ritus-ritus budaya, selain ritus-ritus keagamaan yang baru muncul setelah masuknya Agama Katolik di Flores Timur dan Lembata. Dalam masa kehamilan, dikenal adanya upacara penyucian diri yang disebut dengan Hoing Temodok. Proses pembersihan ibu hamil ini dilakukan dalam bentuk pengakuan dosa suami istri di korke tempat bersemayamnya Lera Wulan Tana Ekan, pembersihan diri oleh marang, persembahan sesaji kepada roh-roh leluhur, pemberian motivasi rohani dan jasmani kepada ibu hamil (gelete geluwer) dan makan bersama. Ada banyak juga larangan terhadap ibu hamil seperti tidak boleh mengkonsumsi makanan tertentu (misalnya gurita, pisang, babi landak), dilarang duduk di depan pintu rumah, dilarang keluar pada malam hari, dilarang duduk dekat tungku api, dilarang mengambil kayu bakar yang masih terikat, larangan mengunjungi orang meninggal serta masih banyak larangan yang lain.
            Suban Tukan dalam bukunya Keluarga Lamaholot Opulake Opubine menggambarkan tentang sistem perkawinan Lamaholot yang exogami yaitu tidak boleh saling tukar menukar wanita serta tidak boleh dari suku sendiri, sehingga dikenal adanya opulake yaitu suku yang menyerahkan wanita dan menerima mas kawin serta opubine yaitu suku pria yang menerima wanita dan memberi mas kawin berupa gading gajah. (Magdalena G.,2004).  Hubungan ini akan terus berlangsung turun temurun sehingga tidak dapat dipertukarkan posisi opulake dan opubine tersebut. Dalam hal mas kawin berupa gading gajah, ia merupakan lambang harga diri dari seorang wanita yang patut dihargai dan dijunjung tinggi. Selain itu ada juga implikasi negatifnya yaitu bahwa karena wanita sudah dibelis dengan nilai yang sangat mahal maka dia bisa diperlakukan semaunya suami tanpa ada intervensi dari keluarga perempuan. Sering terjadi perempuan sangat dibatasi ruang geraknya dalam ritus-ritus adat misalnya saja tidak diperbolehkan berbicara dan menyampaikan pendapat dalam urusan adat, wanita baru boleh makan setelah kaum pria selesai makan dan tempatnya juga harus di belakang, tidak boleh di antara kaum pria yang duduk di atas balai-balai. 
            Karya estetika yang masih banyak ditemui dalam budaya Lamaholot adalah sarung tenun. Sarung tenun ini ada berbagai macam. Untuk perempuan, orang Ile Ape misalnya, dikenal ada beberapa jenis sarung. Ada yang disebut dengan Wate Hebak, Wate Kerokong, Wate biasa, juga ada Bala Ohi. Untuk pria disebut Senai atau Nowing. Dari semua jenis itu, yang paling lama dikerjakan adalah jenis Bala Ohi, karena untuk menenun sarung jenis ini tidak gampang dan butuh ketelitian yang tinggi, bisa sampai satu tahun baru selesai, disertai banyak pantangan bagi perempuan yang menenunnya. Harga sarungpun,  bervariatif tergantung jenis sarungnya. Selembar Wate Hebak kini mencapai  harga Rp. 1 juta, Wate Krokong sekitar Rp. 500 ribuh kalau sarung biasa untuk dipakai di rumah, dihargai dengan Rp. 100 sampai Rp. 200 ribu, tetapi untuk selembar Wate Bala Ohi harganya bisa mencapai Rp. 15 juta. Semua aktifitas dari proses menenun inipun hanya bisa dilakukan oleh kaum perempuan.

ISU PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

            Pemberdayaan adalah sebuah strategi yang pertama kali diusulkan secara internasional pada tahun 1980 oleh sekelompok aktivis dari Selatan untuk menantang hegemoni feminis utara dalam wacana internasional tentang perempuan.(Elliott, 2008). Hal ini dilatarbelakangi oleh  keprihatinan negara-negara di dunia terhadap praktek diskriminasi terhadap perempuan jauh sebelumnya, yang diwujudkan dalam deklarasi dan konvensi internasional.
Salah satu deklarasi yang melandasi perlawanan terhadap diskriminasi perempuan adalah The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), oleh Majelis Umum PBB di tahun 1948. Dalam perkembangannya, konvensi yang menjadi landasan hukum tentang hak perempuan adalah Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB tahun 1979. Konvensi tersebut disebut juga Konvensi Wanita, atau Konvensi Perempuan atau Konvensi CEDAW (Committee on the Elimination of Discrimination Against Women). Selanjutnya, Hak Asasi Perempuan yang merupakan Hak Asasi Manusia kembali dideklarasikan dalam Konferensi Dunia ke-IV tentang Perempuan di Beijing tahun 1995. Selanjutnya pada tahun 2000, 189 negara anggota PBB menyepakati Millennium Declaration untuk melaksanakan MDG’s (Millennium Development Goals).  Ada delapan komitmen kunci yang ditetapkan dan disepakati dalam MDGs, salah satunya tertulis dalam Tujuan 3 MDG’s yaitu mendorong tercapainya kesetaraan dan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan. (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2012).
            Esther (Elliott,2008) mendefinisikan pemberdayaan perempuan sebagai proses peningkatan kapasitas untuk menguasai sumber daya, untuk membuat keputusan tentang pilihan hidup strategis, dan untuk menantang kekuatan rezim gender yang membatasi pilihan seseorang, otonomi dan kesejahteraan pada saat mencari untuk mencapai hasil hidup yang diinginkan. Inti dari konsep pemberdayaan perempuan adalah membangun kekuatan batin mereka dari bawah ke atas, bukan oleh proses top-down yang dipaksakan kepada mereka dari luar. Pemberdayaan ini memiliki dua dimensi pokok yaitu dimensi diri sendiri untuk individu perempuan dan dimensi kolektif dengan yang lain dalam rangka mobilisasi dan aksi. Tujuan utama pemberdayaan perempuan adalah transformasi ketika perempuan, secara individual maupun kolektif, terlibat dalam introspeksi diri, menyuarakan kebutuhan dan kepentingan mereka, dan menjadi agen yang aktif untuk mengubah kekuatan hubungan dan ketimpangan sosial.
            Konteks hukum negara kita sebenarnya telah mengakomodir kesetaraan gender terutama seperti yang terlihat dalam pasal 27 UUD 1945. Sayangnya masih banyak UU juga yang memperlihatkan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Tidak hanya itu, berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2012,  telah teridentifikasi ada sekitar 282 peraturan daerah yang diduga bias gender. Sejumlah peraturan perundangan tersebut tidak mampu mengakomodir kesetaraan gender yang telah dijamin oleh UUD. Langkah-langkah dalam perbaikan tatanan hukum tentu harus dilaksanakan secara terintegrasi.
            Langkah-langkah hukum kemudian tidak begitu saja bisa menjawabi persoalan diskriminasi terhadap perempuan sebab bisa jadi langkah-langkah tersebut justru melemahkan bahkan menghapuskan dimensi budaya tertentu yang sangat tinggi nilainya terhadap jati diri bangsa Indonesia yang tergambar dalam semboyan kebinekaan. Apalagi kita menyadari bahwa ragam kultur di Indonesia sangat bervariasi dan begitu banyak jumlahnya yang tidak dapat didekati oleh satu tataran hukum yang universal. Itulah sebabnya ada banyak UU dan PP yang masih diperdebatkan dan belum dilaksanakan secara optimal. Dalam kondisi semacam ini maka kita butuh pendekatan yang lain yaitu pendekatan kultural dalam upaya pemberdayaan terhadap kaum perempuan di Indonesia. Alasan mendasarnya adalah bahwa pendekatan ini lebih mungkin diterima masyarakat dimana bias gender ini cenderung lebih dominan pada masyarakat yang masih tradisional seperti masyarakat di wilayah pedesaan dan di wilayah-wilayah tertinggal.
            Yang harus dilakukan dengan pendekatan budaya ini adalah menafsirkan dan menjelaskan representasi budaya. Dalam antropologi, yang perlu ditafsirkan adalah representasi budaya yang bersifat kolektif yang dikaitkan dengan sebuah kelompok sosial secara keseluruhan. Sedangkan penjelasan tentang representasi budaya dapat dilihat dalam dua pengertian yaitu membuat ia menjadi jelas  dan untuk menunjukkan bagaimana hasil dari mekanisme yang relatif umum di tempat kerja dalam situasi khusus yang diberikan. (Sperber,1996).

KESIMPULAN

            Berdasarkan alur pikir tentang budaya sebagai sebuah proses umum dari perkembangan intelektual, spiritual dan estetika, budaya sebagai cara hidup tertentu baik itu seseorang, kelompok orang maupun cara hidup pada periode tertentu, dan budaya yang merujuk kepada karya dan praktek intelektual, terutama kegiatan artistik, maka konteks pemberdayaan perempuan Lamaholot tidak saja menggunakan pendekatan hukum formal yang terbukti belum mampu mengangkat martabat perempuan melainkan dibutuhkan juga pendekatan kultural. Pendekatan kultural ini lebih bisa  diterima oleh masyarakat sebab ia mampuh menginterpretasikan dan menjelaskan representasi budaya Lamaholot yang dapat ditemukan dalam wujud ritus-ritus adat mulai dari prakelahiran sampai dengan pascakematian, dalam wujud hubungan sosial dan kekerabatan di dalam masyarakat,  dalam wujud cara hidup kelompok suku dan juga dalam wujud karya-karya artistik seperti sarung tenun, musik tradisional serta tarian-tarian tradisional.
            Interpretasi dan penjelasan tentang representasi budaya Lamaholot akan memberikan gambaran yang sebenarnya dari kultur tersebut sehingga setiap orang yang terlibat dalam usaha pemberdayaan bagi perempuan Lamaholot mampuh menemukan cara terbaik untuk membangun kekuatan batin bagi perempuan Lamaholot baik secara individu maupun kelompok agar mereka mampuh memiliki kapasitas untuk menguasai sumber daya, untuk membuat keputusan tentang pilihan hidup strategis bagi diri mereka, dan untuk menantang kekuatan rezim gender yang membatasi pilihan seorang perempuan, yang membatasi otonomi perempuan dan yang membatasi usaha mencapai kesejahteraan sebagai cita-cita hidup yang diinginkan. Lebih jauh lagi, interpretasi dan penjelasan tentang representasi budaya Lamaholot mampuh memberikan kesadaran kepada perempuan Lamaholot sendiri tentang jati diri mereka yang sebenarnya sebab terbukti bahwa nilai belis yang tinggi sebenarnya mau menunjukkan posisi perempuan sebagai pribadi yang harus dijunjung tinggi. Tingginya nilai seorang perempuan juga dapat ditemukan dalam interpretasi bahasa yang ada dalam syair-syair adat misalnya istilah puken tawan wai matan. Kiranya korelasi pemberdayaan perempuan dalam konteks budaya Lamaholot yang menawarkan pendekatan kultural dalam tulisan ini dapat menyegarkan pikiran para praktisi dan pemikir pemberdayaan perempuan untuk mampu mengambil langkah yang tepat dalam upaya pemberdayaan kita.


DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Elliott, Carolyn M.(Edt.); 2008. Global Empowerment of Women. Responses to Globalization and Politicized Religions, Routledge, New York.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 2012. Pembangunan      Manusia Berbasis Gender 2012, CV. Permata Andhika, Jakarta.
Magdalena G.,Maria;2004. Hak dan Peranan Wanita Dalam Hukum Perkawinan Adat Lamaholot (Skripsi), Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta.
Malinowski, Bronislaw; 1960. A Scientific Theory of Culture and Other Essays, Oxford     University Press, NewYork.
Sperber, Dan; 1996. Explaining Culture, A Naturalistic Approach, Blackwell Publishing, Oxford, Inggris.
Storey, John; 2009.  Cultural Theory and Popular Culture,  An Introduction (Fifth edition),            Pearson Education Limited, Edinburgh Gate, England.

Jurnal :

Barnes, R.H.; 2009. A temple, a mission, and a war (Jesuit missionaries and local culture in East Flores in the nineteenth century), Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) 165-1 (2009):32-6, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.

Website:

Kornelis Kewa Ama; 2012. Tuno Manuk, Harmonisasi Langit dan Alam Semesta. Website:                                 http://nasional.kompas.com.  Diakses tanggal 6 April 2013.
Sholihatun Najidatil Umam; 2011. Tahap Perkembangan Intelektual August Comte. Website:                 http://didanel.wordpress.com.  Diakses tanggal 6 April 2013.

Yogi Making;2013. Tenun Ikat Warisan Budaya yang Kian Hilang. Website: http://www.floresbangkit.com. Diakses tanggal 6 April 2013.

Yusuf Efendi;2010. Hoing Temodok: Upacara Penyucian Diri Ibu Hamil Suku Lamaholot NTT. Website: http://melayuonline.com. Diakses tanggal 6 April 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar