PENDAHULUAN
Perspektif politik
dalam organisasi menggambarkan bahwa organisasi merupakan wilayah dimana berbagai
kepentingan menyatu dan saling berbenturan dalam proses politik yang
terus-menerus meningkat. Proses politik di dalam organisasi berkisar antara
berbagai isu dan kekhawatiran yang dapat membawa berbagai jenis kelompok ke
dalam konflik langsung satu dengan yang lain (Hatch, 1997). Cara pandang ini
menunjukkan bahwa di dalam organisasi, konflik dapat terjadi karena adanya
proses politik yang melibatkan berbagai kelompok kepentingan yang
memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Biasanya kepentingan-kepentingan setiap kelompok itu
selalu berbeda-beda dan bahkan saling bertentangan. Gareth R. Jones mengatakan
bahwa konflik organisasional merupakan bentrokan yang terjadi ketika tujuan
yang diarahkan oleh perilaku satu kelompok terhalang atau terbentur oleh tujuan
dari kelompok yang lain (Winardi,2011). Selanjutnya Winardi (2011) juga
menjelaskan; mengingat bahwa
tujuan-tujuan, preferensi-preferensi dan kepentingan-kepentingan para kelompok
kepentingan berbeda-beda maka konflik merupakan sesuatu hal yang tidak dapat
dihindari pada organisasi-organisasi.
Berhadapan
dengan situasi di atas maka peran seorang pemimpin menjadi sangat urgen dalam
rangka membangun kesamaan persepsi ke arah tujuan organisasi dengan tidak
mengabaikan kepentingan-kepentingan individu dan kelompok yang ada di dalam
satu organisasi. Seorang pemimpin perlu membangun kebersamaan yang didasarkan atas
rasa kepercayaan bersama anggota agar tujuan organisasi dapat tercapai.
Pertanyaan selanjutnya adalah apabila suatu konflik tidak dapat dihindari maka
bagaimana sikap seorang pemimpin ketika berhadapan dengan konflik di dalam
organisasi serta bagaimana pemimpin tersebut dapat membangun kebersamaan yang
dilandasi oleh sikap saling percaya di dalam organisasi? Untuk menjawabi pertanyaan
tersebut maka tulisan ini akan menjelaskan tentang apa itu konflik di dalam
organisasi, bagaimana konflik tersebut dimanage dan pokok-pokok pikiran bagi
seorang pemimpin dalam membangun kebersamaan.
KONFLIK
DALAM ORGANISASI
Ada berbagai
pengertian tentang konflik, baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit yaitu
konflik yang ada di dalam organisasi. Dalam arti luas, Clinton F. Fink (Kartini
Kartono,2011) mengemukakan dua pandangannya tentang konflik. Pertama, konflik adalah relasi-relasi
psikologis yang antagonistis, berkaitan dengan tujuan-tujuan yang tidak bisa
disesuaikan interest-interest eksklusif dan tidak bisa dipertemukan,
sikap-sikap emosional yang bermusuhan dan struktur-struktur nilai yang berbeda.
Kedua, konflik adalah interaksi yang
antagonistis, mencakup tingkah laku lahiriah yang tampak jelas, mulai dari
bentuk-bentuk perlawanan halus, terkontrol, tersembunyi, tidak langsung; sampai
pada bentuk perlawanan terbuka, kekerasan, perjuangan tidak terkontrol, benturan
laten, pemogokan, huru-hara, makar, gerilya, perang dan lain-lain. Sedangkan
dalam arti sempit; Stoner, J.A.F. dan Freeman (Wahyudi,2011) berpendapat bahwa
konflik organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumber daya
yang langka atau perselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi atau
kepribadian. Pendapat lain dikemukakan oleh Stoner dan Wankel dalam Wahyudi
(2011), bahwa konflik organisasi adalah ketidaksesuaian antara dua orang
anggota organisasi atau lebih yang timbul karena fakta bahwa mereka harus
berbagi dalam hal mendapatkan sumber-sumber
daya yang terbatas atau aktifitas-aktifitas pekerjaan dan atau karena fakta
bahwa mereka memiliki status, tujuan, nilai-nilai atau persepsi yang berbeda.
Berdasarkan
pengertian di atas maka menurut Wahyudi (2011), suatu organisasi yang sedang
mengalami konflik dalam aktifitasnya menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Terdapat perbedaan pendapat atau
pertentangan antar individu atau kelompok.
2. Terdapat perselisihan dalam mencapai
tujuan yang disebabkan adanya perbedaan persepsi dalam menafsirkan program
organisasi.
3. Terdapat pertentangan norma dan
nilai-nilai individu maupun kelompok.
4. Adanya sikap dan perilaku saling
meniadakan, menghalangi pihak lain untuk memperoleh kemenangan dalam memperebutkan
sumber daya organisasi yang terbatas.
5. Adanya perdebatan dan pertentangan sebagai
akibat munculnya kreatifitas, inisiatif atau gagasan-gagasan baru dalam
mencapai tujuan organisasi.
Pengenalan akan
ciri-ciri tersebut akan membantu kita memahami permodelan-permodelan konflik
yang dikemukakan oleh para ahli. Salah satu model yang akan dikemukakan di
bawah ini berasal dari Louis R. Pondy yang memandang konflik sebagai sebuah
proses yang terdiri dari lima macam episode sekuensial atau tahapan-tahapan.
Model konflik Pondy memberikan banyak petunjuk tentang bagaimana cara
mengendalikan dan memanaje konflik di dalam suatu organisasi (Winardi,2011).
1. Tahapan Pertama: Konflik Laten
Pada
tahapan ini, tidak terdapat konflik terbuka, namun potensi munculnya konflik
tetap ada karena berbagai macam faktor walaupun ia bersifat laten; dan biasanya
hal ini disebabkan oleh cara suatu organisasi beroperasi.
2. Tahapan Kedua: Konflik Yang
Dipersepsi
Subunit-subunit
makin menyadari adanya konflik dan mereka mulai menganalisisnya. Konflik
bereskalasi sewaktu kelompok – kelompok bertengkar tentang konflik.
3. Tahapan Ketiga: Konflik Yang
Dirasakan
Subunit-subunit
bereaksi secara emosional terhadap satu sama lain dan sikap-sikap mulai
terpolarisasi. Apa yang semula timbul sebagai masalah kecil bereskalasi menjadi
konflik besar.
4. Tahapan Keempat: Konflik
Termanifestasi
Subunit-subunit
berupaya untuk bertempur. Pertempuran dan agresi terbuka bersifat umum dan
efektifitas keorganisasian menyusut.
5. Tahapan Kelima: Setelah Konflik
Usai
Konflik
diselesaikan dengan cara yang menyebabkan subunit-subunit merasa ingin
menentang atau ingin bekerja sama.
Berdasarkan
model di atas maka dapat diidentifikasi lima macam sumber-sumber konflik
potensial menurut Pondy. Identifikasi ini berguna untuk menentukan dengan cara
apa suatu konflik dapat diselesaikan dalam suatu organisasi.
Pertama,
Interdependensi:
Mengingat bahwa aktivitas-aktivitas
subunit-subunit yang berbeda bersifat interdependen,
maka hasrat subunit-subunit untuk mencapai otonomi menyebabkan timbulnya
konflik antara kelompok-kelompok.
Kedua,
Perbedaan dalam tujuan dan prioritas:
Masing-masing subunit mengejar
tujuan-tujuan yang berbeda yang sering tidak konsisten
atau tidak sesuai sehingga muncul potensi
konflik.
Ketiga,
Faktor-faktor birokratik:
Cara dengan apa hubungan-hubungan tugas
berkembang di dalam organisasi
dimana terjadi ketidakkonsistenan status antara kelompok-kelompok yang berbeda
dalam birokrasi organisasi yang bersangkutan.
Keempat,
Kriteria kinerja yang tidak sesuai:
Konflik terjadi karena cara organisasi melaksanakan
monitoring, evaluasi dan memberikan imbalan-imbalan yang berbeda kepada
masing-masing subunit.
Kelima,
Persaingan mencapai sumber daya yang langka:
Sumber daya yang langka menyebabkan
setiap unit bertarung mendapatkan lebih banyak
bagian dari modal yang dialokasikan kepada mereka.
Selain
kelima sumber konflik di atas, Stephen P. Robbins juga mengemukakan tiga kategori
umum sebagai penyebab atau sumber konflik yaitu komunikasi, struktur dan faktor
pribadi. Sumber komunikasi merupakan penyebab konflik yang muncul dari
kesulitan semantik, kesalahpahaman dan hambatan dalam saluran komunikasi.
Struktur sebagai sumber konflik meliputi variabel ukuran, tingkat kerutinan,
spesialisasi dan standardisasi tugas yang dibebankan pada anggota kelompok,
keheterogenan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem penghargaan dan tingkat
ketergantungan antar kelompok. Sementara itu faktor pribadi yang paling penting
untuk dilihat sebagai sumber konflik yaitu keistimewaan dan perbedaan sistem
nilai individu.
Menurut Robbins (2002), dampak dari suatu
konflik dalam organisasi bisa fungsional maupun disfungsional. Konflik
fungsional adalah konflik yang mendukung tujuan kelompok dan memperbaiki
kinerjanya sedangkan konflik disfungsional cenderung destruktif dan menghalangi
kinerja kelompok. Ia kemudian mengemukakan tiga transisi pemikiran tentang
konflik yaitu pandangan tradisional, pandangan hubungan kemanusiaan dan
pandangan interaksionis. Pandangan
tradisional melihat bahwa konflik merupakan sesuatu yang buruk dan harus
dihindari yang merupakan akibat dari komunikasi yang buruk, kurangnya
keterbukaan dan kepercayaan di antara individu dan kegagalan para manejer untuk
menanggapi kebutuhan dan aspirasi para karyawannya. Pandangan hubungan kemanusiaan berpendapat bahwa konflik merupakan
kejadian alamiah dalam seluruh kelompok dan organisasi dan tidak dapat
dihindari. Oleh karena itu pandangan ini merekomendasikan agar konflik itu
diterima. Sedangkan Pandangan
Interaksionis tidak hanya menerima konflik sebagai sesuatu yang alamiah
melainkan mendorong adanya konflik dengan alasan bahwa suatu kelompok yang
harmonis, damai, tenang dan kooperatif dapat menjadi kelompok yang statis,
apatis dan tidak tanggap pada kebutuhan untuk melakukan perubahan dan inovasi.
Melalui
pemahaman tentang pengertian, ciri-ciri, model, sumber-sumber serta dampak dari
konflik di dalam organisasi maka kita dapat merekomendasikan kepada pemimpin
dalam organisasi bagaimana cara menangani konflik di dalam organisasi.
1. Menggunakan pendekatan pemimpin yang
interaksional. (Kartini Kartono,2011)
2. Menggunakan Conflict Reduction Methods
dan Conflict Resolution Methods oleh Stoner dan Freeman. (Winardi,2011)
3. Menggunakan lima pendekatan penanganan
konflik Robbins (2002).
4. Menggunakan alat-alat manajemen konflik.
(Kartini Kartono,2011)
Pendekatan
pemimpin yang interaksionis bersumber dari pemahaman akan pandangan interaksionis tentang konflik dimana
konflik dilihat dapat memperkokoh fundamen organisasi dan dapat melancarkan
fungsi organisasi berkat adanya introspeksi, refleksi, wawasan kembali,revisi
dan reorganisasi. Oleh karena itu tugas seorang pemimpin moderen bukan
menciptakan harmoni/keselarasan yang statis tetapi harus dapat memaksimalkan
seni dan manajemen konflik atau seni memimpin dalam situasi dan kondisi konflik.
Seorang pemimpin di puncak hirarki lebih banyak bertindak sebagai wasit atau
pemutus pertentangan/konflik dalam organisasi serta mengurangi ketegangan yang
ditimbulkan oleh macam-macam konflik.
Dalam
kaitan dengan fungsi pemimpin tersebut maka seorang pemimpin dapat memanfaatkan
alat-alat bagi manajemen konflik yaitu:
1. Memecahkan
masalah melalui sikap koperatif
2. Mempersatukan
tujuan
3. Menghindari
konflik
4. Ekspansi
dari sumber energi
5. Memperhalus
atau memperlunak konflik
6. Kompromi
7. Tindakan
otoriter
8. Mengubah
struktur organisasi dan struktur individual
Bukanlah perkara mudah untuk
memanfaatkan alat-alat di atas terutama dalam usaha merangsang dan
mengembangkan konflik sebab untuk dapat melakukannya, dibutuhkan jiwa yang
dinamis,kreatif, berani, bertanggung jawab dan berdedikasi penuh pengabdian
dari pribadi seorang pemimpin yang berkarakter kuat.
Stoner
dan Freeman juga menawarkan dua metode dalam penanganan konflik yakni metode
untuk mengurangi konflik dan metode untuk menyelesaikan konflik. Tiga metode
yang dipakai untuk mengurangi konflik yaitu: Pertama, masing-masing kelompok yang berkonflik diberi informasi
yang menguntungkan tentang kelompok yang berhadapan dengan mereka. Kedua, kontak sosial yang menyenangkan
antara kelompok-kelompok diintensifkan dengan jalan makan bersama atau nonton
bersama. Ketiga, pemimpin-pemimpin
kelompok diminta untuk bernegosiasi dan memberikan informasi positip tentang
kelompok yang berhadapan dengan kelompok mereka. Sementara itu metode untuk
menyelesaikan konflik dapat dilakukan dengan dominasi atau supresi, kompromis
dan pemecahan problem secara integratif. Supremasi dan dominasi dapat terjadi
melalui cara-cara memaksakan, meredakan, menghindari dan penyelesaian melalui
suara terbanyak sedangkan pemecahan problem secara integratif dapat menggunakan
tiga metode yakni konsensus, konfrontasi dan penggunaan tujuan-tujuan
superordinat.
Cara
lain yang dianjurkan di sini yakni seorang pemimpin dapat memanfaatkan lima
pendekatan yang dikemukakan Robbins yakni melaui kompetisi, kolaborasi,
penghindaran, akomodasi dan kompromi. Kompetisi akan menghasilkan pihak yang
kalah dan menang sedangkan kolaborasi akan menghasilkan pihak yang menang dan
menang sebab solusi yang dicari bermanfaat untuk semua pihak. Penghindaran
merupakan salah satu cara menarik diri dari konflik atau mendiamkan konflik,
akomodasi merupakan cara dimana setiap pihak mencari jalan untuk memenuhi
tuntutan lawan mereka sedangkan kompromi terjadi dengan cara saling tukar
pendapat. Tugas pemimpin adalah menentukan pilihan yang tepat berdasarkan
situasi yang sedang dialami organisasinya, dengan cara mana ia harus
menyelesaikan konflik tersebut agar
kepentingan-kepentingan di dalam organisasi terpenuhi dengan tetap
mengedepankan usaha ke arah pencapaian tujuan organisasi.
MEMBANGUN
KEBERSAMAAN ATAS DASAR KEPERCAYAAN
Salah satu
persoalan bernegara yang muncul di Indonesia dewasa ini adalah adanya krisis
kepercayaan terhadap para pemimpin bangsa. Ketua
Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Saleh P Daulay mengatakan partai
politik saat ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat karena penampilan
yang tidak memuaskan dalam dunia politik. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya kasus korupsi yang melibatkan politisi,sehingga masyarakat menjadi antipati terhadap partai
politik. Menurut salah satu hasil survei, setengah rakyat Indonesia sudah tidak
percaya dengan parpol. (http://www.republika.co.id). Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif dalam
pertemuan 100 aktivis pergerakan kritis di Gedung Joang 45 Jakarta, Senin 17
Januari 2011. Ia mengatakan, terjadi
gejala krisis kepercayaan terhadap pemerintah karena politik pencitraan yang
dinilai tidak sesuai dengan fakta. (http://www.antaranews.com).
Kedua pandangan di atas mau menunjukkan bahwa aspek
kepercayaan merupakan salah satu faktor kunci pencapaian tujuan suatu
organisasi sebab suatu kebersamaan dan kerja sama yang baik di dalam organisasi
sangat perlu dilandasi oleh rasa saling percaya di antara pemimpin dan
anggotanya. Robbins berpendapat bahwa tim yang berkinerja tinggi dicirikan
dengan adanya kepercayaan yang tinggi antara sesama anggotanya. Kepercayaan
yang tinggi membutuhkan waktu yang lama untuk membangunnya namun dapat hancur
dengan mudah dan sukar untuk diperoleh kembali. Hal inilah yang menegaskan
betapa pentingnya aspek kepercayaan di dalam organisasi.
Konsep kepercayaan menurut Robbins (2002) didasari oleh
lima dimensi pokok yaitu integritas
yang berkaitan dengan kejujuran dan kepercayaan, kompetensi yaitu pengetahuan dan keterampilan interpersonal dan
teknis, konsistensi yaitu dapat
diandalkan, mudah diprediksi dan penilaian yang baik dalam mengendalikan
situasi, loyalitas yaitu keinginan
untuk melindungi dan menutupi aib orang lain dan keterbukaan yaitu keinginan untuk membagi ide dan informasi dengan
bebas.
Untuk membangun kebersamaan yang didasari oleh rasa
saling percaya maka Robbins juga mengemukakan beberapa cara yang dapat dipakai
yakni:
1. Tunjukkan bahwa anda bekerja untuk kepentingan orang lain,
sekaligus untuk kepentingan anda juga.
2. Jadilah seorang pemain tim.
3. Praktekkan keterbukaan.
4. Bertindaklah adil.
5. Katakan perasaan anda.
6. Perlihatkan konsistensi mengenai nilai-nilai dasar yang
menjadi pedoman dalam membuat keputusan.
7. Pertahankan kepercayaan.
8. Tunjukkan kompetensi.
Seorang pemimpin harus
menunjukkan keberpihakannya kepada semua orang, termasuk dirinya sendiri agar
orang merasa bahwa tujuan-tujuan pribadinya dapat terpenuhi di dalam
organisasi. Seorang pemimpin juga harus menjadi pemeran utama di dalam tim,
terutama dalam proses pengambilan keputusan-keputusan yang sifatnya strategis
bagi organisasi. Seorang pemimpin patut mempraktekkan keterbukaan serta
bertindak adil kepada semua orang di dalam organisasi dengan tujuan agar tidak
terjadi saling curiga di antara para aktor di dalam organisasi. Sikap terbuka
tersebut salah satunya ditunjukkan dengan kemampuan mengungkapkan perasaannya
dalam waktu yang tepat dan dengan maksud yang konstruktif dalam membangun
kebersamaan dan ikatan emosional di dalam organisasi. Sikap konsistensi terhadap
nilai-nilai yang dipakai sebagai pedoman pengambilan keputusan akan menjadikan
seorang pemimpin dapat dipercaya oleh bawahannya dan dengan demikian ia dapat
dengan mudah menguasai dan mengendalikan tindakan-tindakan anggotanya dalam
organisasi. Hal yang tidak kalah penting yang perlu dimiliki seorang pemimpin
dalam membangun kebersamaan adalah kompetensi yaitu kemampuan yang dimiliki
seorang pemimpin untuk membangun kebersamaan atas dasar rasa saling percaya
sebab tanpa kompetensi, seorang pemimpin tidak dapat berbuat apa-apa. Pemimpin
merupakan panutan bagi organisasi sehingga dengan adanya kompetensi yang
dimilikinya, seorang pemimpin dapat memberikan contoh dan teladan yang baik
kepada para bawahannya.
PENUTUP
Melalui
penjelasan atas beberapa teori tentang konflik di dalam organisasi serta
rekomendasi sikap dan tindakan yang harus diambil oleh seorang pemimpin ketika
menghadapi konflik maka diharapkan agar konflik di dalam organisasi dapat dimanage
sedemikian rupa agar perannya yang fungsional dapat lebih menonjol dan sedapat
mungkin peran yang disfungsional dapat dihilangkan. Demikian juga halnya dengan
sikap seorang pemimpin dalam membangun kebersamaan atas dasar saling percaya.
Kiranya krisis kepercayaan yang sedang melanda bangsa kita dapat dieliminasi
oleh para pemimpin yang memiliki sikap kepedulian terhadap orang lain, sikap
adil, konsisten,terbuka dan memiliki kompetensi serta sikap moral yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Harch,
Mary Jo. 1997. Organization Theory.
New York:Oxford University Press
2. Robbins,P.Stephen.2002.Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi.Edisi
kelima,Jakarta: Erlangga.
3. Wahyudi.
2011.Manajemen Konflik Dalam Organisasi,Pedoman
Praktis Bagi Pemimpin Visioner.
Bandung: Alfabeta.
4. Kartono,Kartini.
2011.Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Kepemimpinan
Abnormal Itu? Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
5. Winardi.
2011. Teori Organisasi dan
Pengorganisasian. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
6. http://www.republika.co.id.
Diakses 20 Oktober 2012.
7. http://www.antaranews.com.
Diakses 20 Oktober 2012.