Kamis, 22 Maret 2012

REFORMASI BIROKRASI MENUJU GOOD GOVERNANCE

PENDAHULUAN


Keinginan mewujudkan good governance dalam kehidupan pemerintahan telah lama dinyatakan oleh para pejabat Pemerintah pusat, dan Kabupaten/Kota. Presiden SBY bertekad menjadikan good governance sebagai bagian terpenting dari program 100 harinya dilantik sebagai Presiden dengan memberikan instruksi kepada semua menteri untuk memberantas KKN dan mewujudkan pemerintah yang bersih. Para Walikota/Bupati serta sejumlah kalangan di luar pemerintahan juga banyak yang menyatakan ingin mewujudkan good governance sebagai praktek tata-pemerintahan sehari-hari di lingkungan pemerintah daerah.
Sementara itu, dalam proses demokratisasi, good governance sering mengilhami para aktivis untuk mewujudkan pemerintahan yang memberikan ruang partisipasi yang luas bagi aktor dan lembaga di luar pemerintah sehingga ada pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang dan saling melengkapi antara negara, masyarakat sipil dan mekanisme pasar agar memungkinkan adanya check and balance dan juga menghasilkan sinergi yang baik antar ketiganya dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.
Dalam mewujudkan good governance, setiap unsur baik pemerintah, pihak swasta maupun masayarakat sipil perlu memahami terlebih dahulu pemikiran mendasar tentang konsep birokrasi dan juga konsep good governance agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi dualisme visi yang akan memperkeruh jalannya reformasi birokrasi menuju good governance di Indonesia. Hal inilah yang menjadi pemikiran mendasar bagi penulisan ini.

KONSEP BIROKRASI

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan. Dalam definisinya yang lain, birokrasi adalah cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan yang banyak liku-likunya. (Poerwadarminta,1987:144).
Bagi Max Weber, birokrasi adalah salah satu bentuk organisasi belaka. Penerapan birokrasi senantiasa dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai. Pemikiran Weber ini berangkat dari cara pandang masyarakat yang melihat warna negatif pada birokrasi dalam perbandingannya dengan konsep aslinya.(Pandji Santosa,2008:2)
Pendapat lain dikemukakan oleh Fritz Morstein Marx. Menurutnya, birokrasi merupakan tipe organisasi yang dipergunakan pemerintah moderen untuk melaksanakan tugas-tugasnya yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah.(Pandji Santosa,2008:2)
Berangkat dari pemikiran di atas yang melihat birokrasi sebagai sebuah organisasi, Ferrel Heady dengan mengutip rumusan Thomson mengatakan bahwa organisasi birokratik disusun sebagai satu hierarki otorita yang begitu terperinci, yang mengatasi pembagian kerja dan juga telah amat diperinci.(Pandji Santosa,2008:2)
Peter A. Blau dan Charles H. Page memformulasikan birokrasi sebagai sebuah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinasikan secara sistematik dari pekerjaan banyak orang. Cara pandang keduanya menggambarkan bahwa birokrasi tidak hanya ada pada organisasi pemerintah tetapi juga pada organisasi-organisasi niaga moderen yang dihasilkan dari proses rasionalisasi.(Pandji Santosa,2008:2)
Dennis Wrong memperinci lagi cara pandang Max Weber tentang birokrasi dengan mencatat bahwa birokrasi organisasi yang diangkat sepenuhnya untuk mencapai satu tujuan tertentu diorganisasikan secara hirarkis dengan jalinan komando yang tegas dari atas ke bawah, menciptakan pekerjaan jelas yang menugasi setiap orang dengan tugas yang spesifik, peraturan-peraturan umum dan ketentuan-ketentuan yang menuntun semua sikap dan usaha untuk mencapai tujuan, karyawan dipilih terutama berdasarkan kompetensi dan keterlatihannya, serta kerja dalam birokrasi cenderung merupakan pekerjaan sepanjang hidup.(Pandji Santosa,2008:2-3)
Pengertian birokrasi lainnya yang dikutip dari wikipedia versi Bahasa Inggris mengartikan birokrasi sebagai “Kumpulan struktur organisasi, prosedur, protokol, dan peraturan-peraturan untuk mengelola kegiatan, biasanya pada organisasi skala besar dan pemerintahan”. Definisi ini melihat birokrasi tidak diartikan sempit sebagai “birokrat” atau “pegawai”, saja tetapi dilihat sebagai suatu sistem yang ada dalam organisasi besar dan pemerintahan dimana bagian-bagiannya memiliki keterkaitan erat dalam proses kegiatannya mencapai tujuan yang diharapkan.
Banyaknya teori tentang birokrasi mungkin akan mengaburkan pembaca dalam memahami konsep birokrasi. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Ferrel Heady bahwa kekaburan dalam teori birokrasi berasal dari perbedaan pendekatan dalam menggambarkan karakteristik birokrasi dan kegagalan kita untuk menangkap adanya perbedaan cara pendekatan itu. Headdy menunjukkan tiga macam pendekatan dalam merumuskan birokrasi. Pertama, pendekatan struktural yang menganggap birokrasi sebagai satu susunan yang terdiri atas hierarki dan pembagian kerja yang amat diperinci. Kedua, pendekatan behavioral (perilaku) seperti perilaku positip yang lekat dengan pencapaian tujuan organisasi birokratik (Fredrich), disfungsional-patologis dalam perilaku birokrat (Merton), dan juga ketidaktepatan adaptasi yang berhubungan dengan pengembangan aspek-aspek kemanusiaan di dalam organisasi yang dikemukakan oleh Michael Crozier. Ketiga, pendekatan pencapaian tujuan; birokrasi dilihat sebagai suatu organisasi yang memaksimalkan efisiensi dalam administrasi atau satu metoda pelembagaan perilaku sosial yang terorganisasi dalam kerangka usaha mencapai efisiensi administrasi. (Pandji Santosa,2008:4)

KONSEP GOOD GOVERNANCE

Pemikiran tentang good governance muncul dalam Konsensus Washington pada awal tahun 1900-an dalam pertemuan negara-negara donor yang dipromotori oleh Bank Dunia. Dalam pertemuan tersebut terungkap bahwa banyak bantuan asing bocor akibat praktik bad governance seperti pemerintahan yang tidak akuntabel, tidak transparan,penyalahgunaan wewenang, korupsi dan lain-lain. Oleh karena itu disepakati bahwa penerima bantuan harus diberi persyaratan yaitu kesediaan untuk mempraktikkan good governance.
Pierre Landell-Mills dan Ismael Seregeldin mendefinisikan good governance sebagai penggunaan otoritas politik dan kekuasaan untuk mengelola sumber daya demi pembangunan sosial ekonomi. Sedangkan Robert Charlick mengartikan good governance sebagai pengelolaan segala macam urusan publik secara efektif melalui pembuatan peraturan dan/atau kebijakan yang absah demi untuk mempromosikan nilai-nilai kemasyarakatan. (Pandji Santosa,2008:130)
Ada tiga pilar governance yaitu pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Good governance sebagai paradigma baru administrasi publik menekankan adanya kolaborasi dalam kesetaraan dan keseimbangan antar pemerintah, sektor swasta dan masyarakat madani (civil society). Dengan demikian maka good governance juga dapat diartikan sebagai suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini disampaikan juga oleh Bob Sugeng Hadiwinata bahwa asumsi dasar good governance haruslah menciptakan sinergi antar sektor pemerintah (menyediakan persangkat aturan dan kebijakan), sektor bisnis(menggerakkan roda perekonomian), dan sektor civil society (aktifitas swadaya guna mengembangkan produktifitas ekonomi, efektifitas dan efisiensi) (Pandji Santosa,2008:131).
Secara umum ada beberapa karakteristik yang melekat dalam praktek good governance. Pertama, praktek good governance harus memberi ruang kepada pihak di luar pemerintah untuk berperan secara optimal sehingga memungkinkan adanya sinergi di antara mereka. Kedua, dalam praktek good governance terkandung nilai-nilai yang membuat pemerintah maupun swasta dapat lebih efektif bekerja dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Nilai-nilai seperti efisiensi, keadilan, dan daya tanggap menjadi nilai yang penting. Ketiga, praktek good governance adalah praktek pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi serta berorientasi pada kepentingan publik. Karena itu praktek pemerintahan dinilai baik jika mampu mewujudkan transparansi, penegakan hukum, dan akuntabilitas publik.
Beberapa prinsip dasar sebagai syarat terciptanya good governance adalah sebagai berikut: (Pandji Santosa,2008:131)
1. Partisipatoris: Setiap pembuatan peraturan dan/atau kebijakan selalu melibatkan unsur masyarakat (melalui wakil-wakilnya).
2. Rule of law: Harus ada perangkat hukum yang menindak para pelanggar, menjamin perlindungan HAM, tidak memihak, berlaku pada semua warga.
3. Transparansi: Adanya ruang kebebasan untuk memperoleh informasi publik bagi warga yang membutuhkan (diatur oleh undang-undang). Ada ketegasan antara rahasia negara dengan informasi yang terbuka untuk publik.
4. Responsiveness: Lembaga publik harus mampu merespon kebutuhan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan basic needs(kebutuhan dasar) dan HAM (hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya)
5. Konsensus: Jika ada perbedaan kepentingan yang mendasar di dalam masyarakat, penyelesaian harus mengutamakan cara dialog/musyawarah menjadi konsensus.
6. Persamaan Hak: Pemerintah harus menjamin bahwa semua pihak, tanpa terkecuali dilibatkan di dalam proses politik, tanpa ada satu pihakpun yang dikesampingkan.
7. Efektifitas dan Efisiensi: Pemerintah harus efektif (absah) dan efisien dalam memproduksi output berupa aturan, kebijakan, pengelolaan keuangan negara, dan lain-lain.
8. Akuntabilitas: Suatu perwujudan kewajiban dari suatu instansi pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misinya. Implementasi akuntabilitas dilakukan melalui pendekatan strategis, yang akan mengakomodasi perubahan-perubahan cepat yang terjdi pada organisasi dan secepatnya menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut, seperti antisipasi terhadap tuntutan pihak-pihak yang berkepentingan.
Good governance sebagai sebuah gerakan juga didorong oleh kepentingan berbagai lembaga donor dan keuangan internasional untuk memperkuat institusi yang ada di Negara dunia ketiga dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang dibiayai oleh beberapa lembaga itu. Mereka menilai bahwa, kegagalan-kegagalan proyek yang mereka biayai merupakan akibat lemahnya institusi pelaksana di Negara-negara dunia ketiga yang di sebabkan oleh bad governance seperti tidak transparan, rendahnya partisipasi warga, rendahnya daya tanggap terhadap kebutuhan warga, diskriminasi terhadap stake holder yang berbeda dan inefesiensi. Karena itu, lembaga keuangan internasional dan donor sering mengkaitkan pembiayaan proyek-proyek mereka dengan kondisi atau cirri-ciri good governance dari lembaga pelaksana. Dengan banyaknya perspektif yang berbeda dalam menjelaskan konsep good governance maka tidak mengherankan jika kemudian terdapat banyak pemahaman yang berbeda-beda mengenai good governance.

REFORMASI BIROKRASI KE ARAH GOOD GOVERNANCE

Sektor layanan publik di Indonesia pada saat ini masih sangat memprihatinkan. Banyak kekurangan yang terdapat dalam sektor ini dan terkadang upaya peningkatan dan realisasi nilai-nilai good governance masih jauh dari yang diharapkan. Tentu bukan pekerjaan yang mudah untuk mewujudkan pemerintahan serta pelayanan publik yang baik. Tradisi pemerintahan yang ada sekarang ini masih sangat jauh dari ciri-ciri yang dijelaskan pada bagian terdahulu. Pembagian peran pemerintah dengan non-pemerintah sering masih sangat timpang dan kurang proporsional sehingga sinergi belum optimal. Lebih tragis lagi pembagian peran tersebut justru membuka peluang baru bagi munculnya praktek-praktek KKN dengan modus yang baru pula. Kemampuan pemerintah melaksanakan efektifitas dan efisiensi pelayanan birokrasi, keadilan dan sikap responsif terhadap kebutuhan masyarakat masih sangat lemah. Praktek KKN masih terus terjadi dalam kehidupan semua lembaga pemerintahan, baik yang berada di pusat maupun di daerah.
Reformasi di bidang pelayanan publik yang dalam ilmu administrasi publik dikenal dengan konsep New Public Service menjadi titik srategis untuk membangun good governance. Pembangunan praktek penyelenggaraan pelayanan melalui reformasi pelayanan public benar-benar diyakini dapat membawa pemerintah Indonesia menuju pada praktek good governance. Reformasi pelayanan public di Indonesia dapat dijadikan leverage yang akan memiliki dampak yang luas terhadap perubahan aspek-aspek kehidupan pemerintahan lainnya. Perubahan pada praktek penyelenggaraan pelayanan public menjadi lokomotif bagi upaya mewujudkan good governance di Indonesia.
Keberhasilan dalam mewujudkan praktek good governance dalam ranah pelayanan public mampu membangkitkan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas bahwa membangun good governance bukan hanya mitos tetapi dapat menjadi suatu kenyataan. Kepercayaan diri sangat penting dalam kondisi kejiwaan bangsa seperti sekarang ini, mengingat kegagalan-kegagalan program reformasi pemerintahan selama ini telah menimbulkan sikap apatisme warganya dalam penyelenggaraan pemerintahan. Masyarakat merasa pesimis bahwa pemerintahan saat ini benar-benar dapat mewujudkan Indonesia baru yang bercirikan praktek good governance. Meluasnya praktek bad governance di banyak daerah seiring dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah sering meruntuhkan semangat pembaharuan yang dimiliki oleh sebagian warga bangsa, dan sebaliknya, semakin menumbuhkan pesimisme dan apatisme di kalangan mereka.
Sejak terjadinya krisis moneter yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1990 an, masalah corporate governance mendapatkan perhatian yang cukup besar dari masyarakat dan pemerintah. Hal ini karena adanya anggapan bahwa masalah-masalah yang dihadapi oleh perusahaan yang ada di Indonesia, yang secara lansung juga menyebabkan terjadinya krisis moneter tersebut, adalah karena kurang diterapkannya prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) di dalam banyak perusahaan di Indonesia.
Selain itu tuntutan atas adanya penerapan good governance itu juga telah merupakan salah satu isu untuk menarik minat masuknya modal asing ke dalam pasar modal Indonesia. Itu berarti bahwa makin baiknya penerapan prinsip-prinsip good governance merupakan indikasi adanya perlakuan yang baik terhadap pemodal. Salah satu tema utama good governance adalah masalah keterbukaan. Good corporate governance merupakan konsep yang menekankan pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar, akurat, dan tepat waktu serta kewajiban perusahaan untuk mengungkapkan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, dan transparan mengenai semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder. Prinsip corporate governance diharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan, yang pada akhirnya meningkatkan kepercayaan pemakai laporan keuangan, termasuk investor .
Tuntutan perubahan pelayanan publik tidak hanya ada di tingkat pusat tetapi sudah lebih banyak terjadi di tingkat daerah dengan adanya desentralisasi pemerintahan. Para kepala daerah dituntut untuk merencanakan kegiatan-kegiatan yang kreatif, inovatif, perintisan, berorientasi pelanggan serta berorientasi pada pelayanan dan pemberdayaan. Itu berarti para kepala daerah juga harus memiliki perilaku kepemimpinan yang standar yang mencakup penyebaran informasi, perencanaan, pengorganisasian, pemecahan masalah, perumusan peranan dan tujuan, monitoring, memberi motivasi, mencegah konflik dan mengembangkan kelompok. Berbagai ciri dasar ini akan membantu terselenggaranya pemerintahan yang baik di tingkat daerah agar tujuan perbaikan dapat dinilai secara menyeluruh.
Reformasi birokrasi di Indonesia sebagaimana sudah dijelaskan di atas diharapkan dapat berjalan secara baik melalui kerja sama yang saling menguntungkan antara ketiga pilar pembangunan yaitu, pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat sipil. Kerja sama ini harus pula dibarengi oleh komitmen bersama untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur melalui cara-cara yang sesuai dengan karakter Bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta menghormati keberagaman budaya dan adat-istiadat. Negara ini ada karena rakyatnya dan akan tetap ada bila rakyatnya punya komitmen untuk tetap mengadakan negara ini. Oleh karena itu, marilah berkomitmen melakukan perubahan berdasarkan satu visi bersama mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur sesuai cita-cita luhur Bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1987
Dr. Pandji Santosa,M.Si, Administrasi Publik, Teori dan Aplikasi Good Governance, Refika Aditama, Bandung, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar