PENDAHULUAN
McPhail (2009) dalam
bukunya Development Communication,
Reframing the Role of the Media, mendefinisikan komunikasi pembangunan sebagai
proses intervensi secara sistematis atau strategis melalui salah satu media
(cetak, radio, telepon, video, dan internet), atau melalui pendidikan
(pelatihan, literasi, sekolah) untuk tujuan menghasilkan suatu perubahan sosial yang positif. Karena lokus dari
studi pembangunan berada di negara-negara dunia ketiga atau negara-negara
berkembang maka komunikasi pembangunan juga memiliki lokus yang sama.
Mengacu pada pengertian
di atas, kita dapat berasumsi bahwa keberhasilan perubahan sosial yang positif
sebagai tujuan dari intervensi sistematis atau strategis sangat bergantung
pada media maupun model pendidikan yang
digunakan. Perubahan sosial dapat
terwujud apabila ada ketepatan dan kecermatan dalam perencanaan media maupun implementasi
model pendidikan. Sering terjadi, perubahan sosial tidak dapat terwujud bukan
karena perencanaannya keliru melainkan karena pengabaian terhadap peran media
bagi keberhasilan suatu perubahan sosial. Ada indikasi kecenderungan mengadopsi
media yang seragam untuk semua situasi maupun semua kultur yang berbeda,
termasuk di dalamnya memakai media yang sama untuk setiap jenis perubahan
sosial yang diinginkan. Padahal semestinya pemilihan media yang tepat wajib
mempertimbangkan aspek-aspek seperti kultur masyarakat, situasi dan kondisi
masyarakat setempat, serta jenis perubahan yang dikehendaki.
Untuk membahas lebih
dalam tentang peran media di atas maka tulisan ini akan menggambarkan tentang
peran media dalam komunikasi pembangunan serta bagaimana implementasinya di
Indonesia secara khusus dalam kaitannya dengan isu pembangunan yang sedang
banyak didiskusikan yaitu isu lingkungan dalam konteks pembangunan
berkelanjutan. Kita akan melihat terlebih dahulu tentang apa itu pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) sebagai sebuah model pembangunan,
selanjutnya melihat fakta implementasinya di Indonesia serta menganalisis peran
media sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan implementasinya.
SUSTAINABLE DEVELOPMENT
MODEL
Pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) adalah pembangunan yang dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan pada saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang
akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Definisi ini dikemukakan
oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 dalam
laporannya yang berjudul Our Common Future. (Brandon dan Lombardi,
2005). However Brundtland kemudian menegaskan bahwa pada dasarnya pembangunan
berkelanjutan merupakan suatu proses
perubahan dimana eksploitasi sumber daya, arah investasi, orientasi
perkembangan teknologi dan perubahan kelembagaan semuanya dijalankan secara selaras
serta dapat meningkatkan potensi saat ini dan masa depan dalam memenuhi kebutuhan
dan keinginan manusia. Sebagai suatu proses; bukan suatu tujuan akhir,
pembangunan berkelanjutan terbuka untuk suatu ruang belajar dan adaptasi dimana
semua orang dapat membangun persepsi masa depannya sesuai kebutuhannya dalam
harmoni yang seimbang dengan kebutuhan orang lain baik pada masa sekarang
maupun masa yang akan datang.
Banyak definisi dan interpretasi
kemudian muncul atas satu konsep yang sama di atas baik dalam perdebatan-perdebatan
pada konferensi internasional maupun melalui tulisan-tulisan ilmiah. Berikut
dikemukakan beberapa contoh definisi maupun interpretasi yang dikumpulkan oleh Jennifer
A. Elliott dalam bukunya An Introduction
to Sustainable Development, Third edition (2006).
In principle,
such an optimal (sustainable growth) policy would seek to maintain an
“acceptable” rate of growth in per-capita real incomes without depleting the
national capital asset stock or the natural environmental asset stock. (Turner,
1988: 12).
The net
productivity of biomass (positive mass balance per unit area per unit time)
maintained
over decades to
centuries.(Conway, 1987: 96).
Development that
meets the needs of the present without compromising the ability of future
generations to
meet their own needs. (World Commission on Environment and Development,1987:
43).
A creatively
ambiguous phrase . . . an intuitively attractive but slippery concept. (Mitchell,
1997: 28).
Like motherhood,
and God, it is difficult not to approve of it. At the same time, the idea of sustainable
development is fraught with contradictions. (Redclift, 1997: 438).
It is
indistinguishable from the total development of society. (Barbier, 1987: 103).
Its very
ambiguity enables it to transcend the tensions inherent in its meaning. (O’Riordan,
1995: 21).
Sustainable
development appears to be an over-used, misunderstood phrase. (Mawhinney, 2001:
5).
Banyaknya perdebatan tersebut bahkan
memunculkan pesimisme bahwa pembangunan berkelanjutan tidak mungkin dapat
diaplikasikan secara global; padahal butuh kesadaran global untuk
mengimplementasikan model ini sebab kondisi keterbatasan sumber daya dan juga
perubahan iklim dunia sebagai alasan yang mendasari munculnya konsep
keberlanjutan tidak akan signifikan jika hanya diimplementasikan dalam ruang
lingkup lokal atau regional.
Pesimisme
di atas terbantahkan oleh apa yang ditunjukkan oleh Jeffrey Sayer dan Bruce
Campbell (2004), dua orang praktisi lingkungan hidup; tentang contoh sukses
penelitian dan manajemen terpadu yang pernah dikembangkan di berbagai negara di
dunia, dimana kunci suksesnya terletak pada adaptasi manajemen dengan
lingkungan penelitiannya. Mereka bahkan mengemukakan beberapa hal yang perlu
diperhatikan di sana yakni:
1.
Dalam jangka pendek, pendekatan terpadu
dalam pengelolaan sumber daya alam akan lebih mahal dibandingkan berbasiskan
pendekatan-pendekatan sektor atau disiplin. Dalam jangka panjang, pendekatan
terpadu lebih cenderung untuk menghasilkan sistem manajemen yang
berkesinambungan, lembaga yang kuat dan lebih berdasar pada sumber daya alami
yang baik.
2.
Kita tidak pernah tahu cukup banyak
tentang sistem sumber daya alam untuk dapat mengelolanya dengan pasti. Oleh
karena itu, intervensi manusia harus selalu eksperimental dan harus memberikan
kontribusi untuk belajar tentang sistem.
3.
Pengetahuan yang dibutuhkan untuk
pembelajaran dan adaptasi manajemen terakumulasi perlahan-lahan. Waktu dan
sumber daya yang diinvestasikan dalam belajar akan menentukan seberapa cepat
perkembangan yang berarti akan terjadi.
4.
Pendekatan terpadu dalam ilmu sumber
daya alam tidak akan menghasilkan resep yang tepat bagi manajer, tetapi mereka
akan membantu manajer untuk membuat keputusan yang tepat dan bahkan lebih
penting untuk belajar dari kesalahan mereka.
5.
Keberhasilan penerapan ilmu pengetahuan
untuk pengelolaan sumber daya alam memerlukan perubahan hubungan antara ilmuwan
dan manajer sumber daya lokal. Pengetahuan ilmiah formal dan pengetahuan lokal
harus dipadukan dalam kerangka manajemen adaptasi. Semua manajemen harus
diperlakukan sebagai eksperimen dan peran ilmu adalah untuk belajar dari
percobaan ini.
Apa yang dikemukakan
keduanya ini mau menegaskan bahwa sustainable development bukan sekedar
idealisme yang muncul dari kesadaran akan masa depan melainkan interdependensi
dari seperangkat sistem nilai yang berbeda secara substansial dalam satu
kesatuan sistem global. Tiga pilar utama yang menjadi penopang idealisme
harmoni pembangunan berkelanjutan tersebut adalah masyarakat, ekonomi dan
lingkungan. Apapun konteksnya, idenya tetap berasal dari sumber yang sama yaitu
manusia, habitatnya dan sistem ekonomi yang digunakan yang saling berkaitan
satu sama lain.
IMPLEMENTASI
DAN PERAN MEDIA
Dalam
konteks implementasi sustainable development di Indonesia, kita akan fokus pada
peran media sebagai penentu keberhasilannya. Oleh karena itu kita juga perlu
memahami esensi media dalam komunikasi pembangunan. Media dan teknologi
informasi merupakan bagian penting dari komunikasi pembangunan yang berfungsi
sebagai pendukung pembangunan itu sendiri. Kesalahan dalam pemanfaatan media
akan berakibat fatal bagi kemajuan dari pembangunan.
Pemanfaatan
media dalam pembangunan dapat dilakukan melalui dua level yaitu pertama, media massa seperti televisi,
radio dan media cetak dalam kampanye yang bertujuan untuk menginduksi adopsi
inovasi atau perubahan lain dalam perilaku dan yang kedua melalui media komunitas terutama menggunakan radio atau
ekspresi tradisional rakyat seperti teater yang berkaitan dengan menyuarakan
dan mewakili berbagai segmen masyarakat setempat. (Mefalopulos, 2008).
Di
dalam model sistem media, dikenal ada tiga aliran yang berkembang di dunia
yaitu model liberal, model demokratis korporatis dan model pluralis
terpolarisasi. (Hallin dan Mancini, 2004). Di dalam model liberal, peran sosial negara
relatif sedikit sedangkan peran pasar dan sektor privat relatif lebih banyak. Sekalipun
demikian, bagaimanapun juga negara selalu memainkan peran penting dalam
pengembangan masyarakat kapitalis, dan
perannya dalam pengembangan media penting bahkan dalam masyarakat yang paling
liberal sekalipun. Hubungan antara negara dan media tidak semata-mata dalam hal
regulasi, subsidi, dan kepemilikan negara, tetapi juga melibatkan aliran informasi
termasuk gambar, simbol, dan kerangka interpretasi. Hubungan keduanya merupakan
hubungan yang saling membutuhkan dimana kedekatan hubungan antara media berita
dan negara sangat dipengaruhi oleh perkembangan
keamanan nasional negara. Sementara
itu dalam model demokratis korporatis, negara-negara korporatis demokrat juga
cenderung untuk kuat menggabungkan perlindungan bagi kebebasan pers dengan
tingkat signifikansi peraturan yang mencerminkan asumsi bahwa media massa juga adalah
lembaga sosial, bukan hanya bisnis swasta. Dan yang terakhir, di negara-negara
korporatis demokrat, peran negara dalam sistem media sangat besar. Peran negara
juga kompleks; mencerminkan kombinasi dari tradisi intervensi otoriter dan tradisi demokratis negara
kesejahteraan. Negara juga berperan sebagai pemilik perusahaan media. Dengan
demikian maka negara memiliki otoritas penuh atas media yang dimilikinya serta
memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhannya.
Di
Indonesia, kita telah memiliki UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dimana pada
pasal 4 dikatakan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara (ayat
1), terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelarangan penyiaran(ayat 2), untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional
mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi(ayat
3), dan pada ayat ke-4 dikatakan bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan
di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Secara keseluruhan, UU ini
memberikan kebebasan kepada pers untuk menjalankan fungsinya tanpa ada
intervensi dari negara.
Dilema yang muncul dengan adanya kebebasan pers di Indonesia
adalah bahwa pemerintah tidak dengan mudah memanfaatkan media massa sebagai
saluran untuk melakukan komunikasi pembangunan sesuai dengan kemauannya
sendiri. Media massa memiliki cara pandangnya sendiri terhadap pembangunan,
bahkan secara abstrak ia punya kuasa untuk membangun opininya sendiri dan
menggiring publik untuk sejalan dengan opini yang ia bangun. Dalam hal model
pembangunan berkelanjutan sebagaimana sudah dijelaskan di atas, media massa di
Indonesia semakin sulit dimanfaatkan untuk mengkomunikasikannya kepada
masyarakat. Beberapa alasan yang bisa diajukan di sini yaitu:
1. Secara
substantif sustainable development telah membatasi ruang gerak pasar produksi
dimana media massa merupakan tempat promosi paling ampuh bagi produk yang
dihasilkan.
2. Dari
perspektif ekonomi, media massa pasti akan lebih memberikan prioritas kepada informasi
yang lebih banyak mendatangkan pendapatan bagi perusahaan media ketimbang pada
informasi model pembangunan yang objek pasarnya hanya terbatas pada kalangan
tertentu yang sangat minim jumlahnya, sebab sistem pasar akan berlaku di sini.
3. Media
massa di Indonesia banyak dijadikan sebagai wahana perjuangan politik oleh
kelompok-kelompok tertentu sehingga independensinya semakin diragukan. Bagi
media yang dimiliki oleh kelompok yang sejalan dengan rezim yang sedang
berkuasa, ia dapat dijadikan corong bagi komunikasi pembangunan; itupun
setidaknya dengan motivasi melanggengkan kekuasaan, bukan hanya untuk tujuan
pembangunan. Di lain pihak jika media massa dikuasai oleh oposisi rezim maka
jelas yang akan dilakukan adalah memanfaatkan media tersebut untuk membangun
basis politiknya sendiri, menarik simpati massa dan juga memberikan opini
negatif terhadap konsep dan implenetasi pembangunan yang sedang dijalankan.
PENUTUP
Dalam kondisi
sebagaimana dikemukakan di atas, ada dua rekomendasi yang dapat menjadi pilihan
bagi pemerintah Indonesia dalam memanfaatkan media untuk mengkomunikasikan
model pembangunan berkelanjutan yaitu:
1.
Memanfaatkan pilihan media yang lain
untuk sarana komunikasi pembangunan yaitu media komunitas. Media ini memang
sudah banyak dipakai selama ini namun perlu kreatifitas untuk mengembangkan
media ini agar tidak monoton dan lebih menarik bagi masyarakat dalam membangun
keterlibatan mereka.
2.
Memanfaatkan media massa untuk
komunikasi pembangunan namun dibutuhkan perencanaan media yang tepat agar apa
yang hendak dikomunikasikan dapat dikemas dalam bentuk yang lebih kompetitif
dengan pesan lain yang selalu mendominasi pasar media massa. Pemerintah bisa
memanfaatkan orientasi ekonomi pada media massa untuk menjadikan pesan
pembangunan dapat diterima secara baik oleh pasar media massa.
DAFTAR
PUSTAKA
McPhail,
Thomas L. (Edit.);2009. Development Communication,
Reframing the Role of the Media, Blackwell Publishing
Ltd, United Kingdom.
Brandon,
Peter S. & Lombardi, Patrizia;2005. Evaluating
Sustainable Development In The Built Environment, Blackwell Science Ltd,
Oxford, United Kingdom.
Elliott,
Jennifer A.;2006. An Introduction to Sustainable Development, Third edition. Routledge,
Abingdon, Oxon.
Sayer,Jeffrey
& Campbell,Bruce;2004. The Science of
Sustainable Development, Local Livelihoods and the Global Environment,
Cambridge
University Press, Cambridge,United Kingdom.
Mefalopulos,Paulo;
2008. Development Communication Sourcebook,Broadening the Boundaries of
Communication,The World Bank, Washington DC, USA.
Hallin,Daniel
C.& Mancini,Paolo; 2004. Comparing
Media Systems, Three Models Of Media And Politics, Cambridge University
Press, Cambridge,United Kingdom.
UU
No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar