ABSTRAK
Perencanaan
Pembangunan merupakan studi interdisipliner yang melibatkan ilmu-ilmu lain
dalam pendekatannya. Sebaliknya, pendekatan Perencanaan Pembangunan juga dapat
dipakai untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang dialami disiplin ilmu
yang lain. Salah satu cabang ilmu yang cukup besar pengaruhnya di Indonesia
adalah Ilmu Politik. Tulisan ini menggambarkan adanya kesamaan unsur-unsur yang
ada dalam ilmu perencanaan pembangunan dan ilmu politik serta merekomendasikan
pemanfaatan pendekatan perencanaan pembangunan untuk menjawab
permasalahan-permasalahan politik yang ada di Indonesia. (Key word :Perencanaan
Pembangunan, Politik, Perencanaan Pembangunan Politik.)
PENDAHULUAN
Perencanaan pembangunan nasional
merupakan suatu proses yang tidak mudah sebab akan berhadapan dengan
permasalahan-permasalahan yang kompleks dan komprehensif dari negara tempat
perencanaan itu dibuat dan diimplementasikan. Itu berarti bahwa perencanaan
pembangunan nasional akan berinteraksi dengan aspek-aspek lain yang memiliki
keterkaitan dengannya, dimana interaksi ini dapat memberikan dukungan terhadap
proses perencanaan maupun juga dapat menghambat proses perencanaan. Dukungan
positip tentu sangat membantu untuk menghasilkan suatu dokumen perencanaan yang
baik dan bermanfaat, namun sebaliknya interaksi negatif dapat berakibat buruk
bagi proses maupun output dari perencanaan pembangunan.
Conyers dan Hills menjelaskan
keterkaitan perencanaan pembangunan dengan aspek-aspek lain melalui
pernyataannya bahwa “Salah satu implikasi yang paling signifikan dari
keterkaitan antara perencanaan, pembuatan kebijakan dan pelaksanaan adalah
kenyataan bahwa perencanaan tidak dapat dianggap terpisah dari lingkungan
sosial, administrasi dan khususnya lingkungan politik dimana ia harus
beroperasi. Hal ini penting, terutama untuk mempertimbangkan sistem politik di
negara yang bersangkutan (misalnya cara dimana para pemimpin politik berkuasa,
apakah menggunakan sistem satu partai atau multi partai dan derajat
sentralisasi atau desentralisasi), ideologi politik pemerintah yang berkuasa
dan struktur sosial masyarakat. “ (Conyers dan Hills, 1984, hal.17). Pernyataan
keduanya ini mau menegaskan bahwa aspek politik suatu negara merupakan aspek
yang cukup signifikan berpengaruh terhadap perencanaan pembangunan sebab dalam
perencanaan pembangunan dikenal juga istilah proses politik perencanaan dan
juga perencanaan pembangunan politik. Untuk proses politik perencanaan telah
banyak kajian yang menjelaskannya sedangkan untuk istilah kedua yakni
perencanaan pembangunan politik belum banyak kajian terhadap hal ini.
Tulisan ini hendak menjelaskan
tentang adakah kemungkinan pengembangan perencanaan pembangunan politik di
Indonesia sebagai jawaban atas ketidakseimbangan proses politik dan proses teknokratis
dalam perencanaan pembangunan dimana proses teknokratis selalu berada di bawah
tekanan proses politik. Hal ini tidak
dimaksudkan untuk meniadakan atau melemahkan interaksi proses politik dengan proses
teknokratis namun semata-mata mau memberikan peran yang lebih seimbang antara proses
perencanaan teknokratis dan proses politik dalam perencanaan pembangunan
nasional. Tulisan ini akan dimulai dengan menjelaskan konsep perencanaan
pembangunan dan politik dan selanjutnya akan membahas bagaimana perkembangan
politik di Indonesia serta urgensi pengembangan perencanaan pembangunan politik
sebagai bagian dari perencanaan pembangunan nasional.
TINJAUAN PUSTAKA
Perencanaan Pembangunan
Perencanaan sebagai suatu teori
telah dimunculkan dalam berbagai literatur yang ditulis oleh Faludi (1973),
Paris (1982), Alexander (1986,1993) serta Campbell dan Fainstein (1996).
(Rustiadi dkk,2009). Diana Conyers dan Peter Hills (1984,hal.3) juga memberikan
definisinya tentang perencanaan. Menurut mereka, perencanaan adalah suatu
proses berkelanjutan yang melibatkan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan
tentang alternatif pemanfaatan sumber daya yang ada dengan maksud mencapai
tujuan tertentu di masa yang akan datang. Menurut Kay dan Alder dalam Rustiadi
dkk (2009), perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai
di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk
mencapainya. Sementara itu George R. Terry dalam Riyadi dan Supriyadi (2003), mengatakan
bahwa perencanaan adalah upaya untuk memilih dan menghubungkan fakta-fakta dan
membuat serta menggunakan asumsi-asumsi mengenal masa yang akan datang dengan
jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk
mencapai hasil yang diinginkan. Selain itu ada definisi yang lain menurut
Friedman yaitu bahwa perencanaan adalah cara berpikir mengatasi permasalahan
sosial dan ekonomi untuk menghasilkan sesuatu di masa depan dimana sasaran yang
dituju adalah keinginan kolektif dan mengusahakan keterpaduan dalam kebijakan
dan program. (Tarigan,2012).
Beberapa definisi di atas
menggambarkan unsur-unsur penting yang ada di dalam perencanaan. Riyadi dan
Supriyadi menyimpulkan bahwa di dalam definisi-definisi yang dikemukakan para
ahli, terdapat lima unsur utama dari perencanaan yaitu:
1. Adanya
asumsi-asumsi yang didasarkan pada fakta-fakta. Perencanaan hendaknya disusun
berdasarkan asumsi-asumsi yang didukung dengan fakta-fakta atau bukti-bukti
yang ada. Hal ini penting karena hasil perencanaan merupakan dasar bagi
pelaksanaan suatu kegiatan atau aktifitas.
2. Adanya
alternatif-alternatif atau pilihan-pilihan sebagai dasar penentuan kegiatan
yang akan dilakukan. Dalam menyusun rencana, perlu memperhatikan berbagai
alternatif/pilihan sesuai dengan kegiatan yang akan dilaksanakan.
3. Adanya
tujuan yang ingin dicapai. Perencanaan merupakan suatu alat/sarana untuk
mencapai tujuan melalui pelaksanaan kegiatan.
4. Bersifat
memprediksi sebagai langkah untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang
dapat mempengaruhi pelaksanaan perencanaan. 5. Adanya
kebijaksanaan sebagai hasil keputusan yang harus dilaksanakan.
Sementara itu menurut LAN-DSE dalam Riyadi dan Supriyadi
(2003), unsur-unsur perencanaan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Perencanaan
berarti memilih atau membuat pilihan.
Ø Memilih
prioritas.
Ø Memilih cara
atau alternatif yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan.
2. Perencanaan
berarti pengalokasian sumber daya.
Ø Optimalisasi
pemanfaatan sumber daya alam,manusia dan anggaran.
Ø Pengumpulan dan
analisis data sumber daya yang tersedia.
3. Perencanaan
berorientasi atau alat mencapai tujuan.
Ø Tujuan harus
jelas (ekonomi,politik,sosial,ideologi atau kombinasi dari semuanya)
4. Perencanaan
berhubungan dengan masa yang akan datang.
5. Perencanaan
merupakan kegiatan yang terus-menerus (kontinyu).
Ø Dalam proses
perencanaan dan pelaksanaan, sering diperlukan reformulasi rencana.
Sebagaimana definisi perencanaan,
definisi pembangunan juga ada bermacam-macam. Menurut Bryant dan White
dalam Suryono (2010), pembangunan berarti
upaya meningkatkan kemampuan manusia untuk mempengaruhi masa depannya dengan
memiliki lima implikasi utama yaitu:
1. Pembangunan
berarti membangkitkan kemampuan manusia secara optimal baik individu maupun
kelompok (capacity).
2. Pembangunan
berarti mendorong tumbuhnya kebersamaan, kemerataan nilai dan kesejahteraan
(equity).
3. Pembangunan
berarti menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri
sesuai dengan kemampuannya. Kepercayaan ini dinyatakan dalam bentuk kesempatan
yang sama, kebebasan memilih dan kekuasaan untuk memutuskan (empowerment).
4. Pembangunan
berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri
(sustainability).
5. Pembangunan
berarti mengurangi ketergantungan negara satu kepada negara lain, menciptakan
hubungan yang saling menguntungkan dan menghormati (interdependence).
Bryant
dan White menegaskan bahwa lima prinsip dasar di atas harus berorientasi pada
pembangunan yang berpusat pada manusia yaitu bahwa proses pembangunan harus
meningkatkan kemampuan manusia dalam menentukan masa depannya sendiri.
Katz (Suryono,2010) mendefinisikan
pembangunan sebagai perubahan sosial yang besar dari suatu keadaan dengan
keadaan lainnya yang dipandang lebih bernilai. Apa yang dipandang lebih
bernilai itu adalah sifat spesifik dari waktu ke waktu, dari budaya yang satu
ke budaya yang lain, atau dari negara yang satu ke negara yang lain. Hal senada
disampaikan Rogers (Suryono,2010). Menurutnya, pembangunan merupakan suatu
proses perubahan sosial dalam suatu masyarakat, yang diselenggarakan dengan
jalan memberi kesempatan yang seluas-luasnya pada warga masyarakat untuk
berpartisipasi, untuk mendapatkan kemajuan baik secara sosial maupun material,
bagi mayoritas warga masyarakat dengan mengendalikan lingkungan hidup mereka
secara lebih baik (termasuk masalah pemerataan, kebebasan dan berbagai masalah
kualitas hidup yang lain).
S.P.Siagian
dalam bukunya Administrasi Pembangunan (2009) berpendapat, pembangunan adalah
rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar
yang ditempuh oleh suatu negara bangsa menuju modernitas dalam rangka pembinaan
bangsa (nation-building). Pengertian ini memunculkan tujuh ide pokok dari
pembangunan yaitu pertama, pembangunan merupakan suatu proses; kedua, pembangunan merupakan upaya yang
secara sadar ditetapkan sebagai sesuatu untuk dilaksanakan; ketiga, pembangunan dilakukan secara
terencana, baik dalam arti jangka panjang, jangka sedang dan jangka pendek; keempat, rencana pembangunan mengandung
makna pertumbuhan dan perubahan; kelima,
pembangunan mengarah kepada modernitas; keenam,
modernitas yang ingin dicapai melalui berbagai kegiatan pembangunan bersifat
multidimensional; ketujuh, semua hal
di atas ditujukan kepada usaha pembinaan bangsa agar bangsa/negara bersangkutan
semakin kukuh fondasinya dan semakin mantap keberadaannya sehingga menjadi
negara yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Mencermati berbagai uraian, baik tentang
konsep perencanaan maupun konsep pembangunan menurut para ahli di atas, dapat didefinisikan
sendiri perencanaan pembangunan sebagai suatu konsep yang utuh. Riyadi dan
Supriyadi (2003) berpendapat bahwa perencanaan pembangunan merupakan suatu
proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan
pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk
melaksanakan suatu rangkaian kegiatan/aktifitas kemasyarakatan, baik yang
bersifat fisik (material) maupun non fisik (mental dan spiritual) dalam rangka
mencapai tujuan yang lebih baik.
Dengan kata lain, perencanaan
pembangunan dapat didefinisikan sebagai suatu proses berkelanjutan yang terdiri
dari aktifitas-aktifitas pemilihan alternatif-alternatif kebijakan berdasarkan
data-data dan fakta-fakta tentang adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki
untuk mencapai tujuan modernitas yang bersifat multidimensional yang dapat
dilihat dari adanya pertumbuhan dan perubahan kepada suatu keadaan yang
dipandang lebih bernilai dalam konteks waktu, budaya dan ruang. Definisi ini
memunculkan beberapa unsur penting yang wajib ada di dalam perencanaan pembangunan yaitu :
1. Perencanaan
pembangunan merupakan suatu proses yang berkelanjutan.
2. Perencanaan
pembangunan terdiri dari aktifitas-aktifitas pemilihan alternatif-alternatif
kebijakan.
3. Perlu
adanya data-data dan fakta-fakta tentang sumber daya yang dimiliki dalam
menyusun suatu perencanaan pembangunan.
4. Adanya
tujuan di masa yang akan datang berupa modernitas yang multidimensional.
5. Perencanaan
pembangunan harus dapat membawa perubahan dan pertumbuhan.
6. Perubahan
dan pertumbuhan tersebut harus mengarah kepada keadaan yang dipandang lebih
bernilai dalam konteks waktu, budaya maupun ruang.
Politik
Politik sebagaimana kita ketahui bersama terdiri dari
orang-orang yang berperilaku dan bertindak politik (consist of people acting
politically) yang diorganisasikan secara politik oleh kelompok-kelompok
kepentingan dan berusaha mencoba mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan
melaksanakan suatu kebijakan dan tindakan yang bisa mengangkat kepentingannya
dan mengenyampingkan kepentingan kelompok lainnya. Kelompok masyarakat ini
mempunyai kepentingan yang diperjuangkan agar pemerintah terpengaruh.(Miftah
Thoha, 2011). Cara pandang tentang perilaku kelompok-kelompok kepentingan ini mendapat
pertentangan dari teori-teori keadilan dalam perspektif filsafat Barat
kontemporer, mulai dari Utilitarianisme, Persamaan Liberal, Libertarianisme,
Marxisme, Komunitarianisme hingga Kritik Feminisme. Salah satu contohnya adalah
Teori Keadilan yang dikemukakan oleh Rawls. Dalam bukunya yang berjudul A Theory
of Justice (terbit pertama kali tahun 1971), Rawls mengajukan dua prinsip
keadilan yang dijabarkan dari sebuah prinsip keadilan umum. Prinsip Pertama, Tiap-tiap orang
memiliki hak yang sama atas keseluruhan sistem yang paling luas dari kebebasan
dasar yang sama sesuai dengan sistem kebebasan serupa bagi semua orang. Prinsip Kedua, Ketimpangan sosial dan
ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga keduanya:
a) Memberikan keuntungan terbesar bagi yang paling
tidak diuntungkan.
b)
Membuka posisi dan jabatan bagi semua di bawah kondisi persamaan kesempatan
yang fair.
Prinsip
pertama tidak lain adalah prinsip kebebasan, yang sebenarnya merupakan standar
hak-hak politik dan sipil yang dikenal luas dalam masyarakat demokrasi liberal,
seperti hak untuk memilih, mencalonkan diri dalam jabatan, membela diri,
kebebasan berbicara, berpindah dan sebagainya, sedangkan prinsip kedua dikenal
sebagai prinsip perbedaan (the difference principles), sebuah prinsip yang
dianggap kontroversial karena memberikan tekanan pada pengaturan distribusi
ekonomi (Kymlicka dalam Wahyudi, 2004).
Terlepas
dari kontroversi dan perdebatan seputar difference
principles dari Rawls, dewasa ini, demokrasi merupakan sistem politik yang
banyak diminati negara-negara di dunia, terutama negara-negara yang sebelumnya
berada di bawah kekuasaan pemerintahan yang totaliter. Minat ini dipengaruhi
oleh keyakinan bahwa demokrasi dapat mengayomi berbagai aspirasi yang dimiliki
dan disampaikan oleh rakyat; sehubungan dengan kesadaran akan kebebasan
berbicara dan menyampaikan pendapat sebagai hak asasi yang dimiliki setiap
orang. Pada dasarnya konsep tentang demokrasi itu sama namun cara pandang dan
penerapan demokrasi di setiap negara akan berbeda. Hal ini sangat ditentukan
oleh sejarah, budaya, pandangan hidup dan dasar serta tujuan negara
masing-masing.
Munir Fuadi dalam
bukunya Konsep Negara Demokrasi (2010:2) mengatakan bahwa sebenarnya yang
dimaksud dengan demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dalam suatu negara
dimana semua warga negara memiliki hak, kewajiban, kedudukan dan kekuasaan yang
baik dalam menjalankan kehidupannya maupun dalam berpartisipasi terhadap
kekuasaan negara, dimana rakyat berhak untuk ikut serta dalam menjalankan
negara atau mengawasi jalannya kekuasaan negara baik secara langsung misalnya
melalui ruang-ruang publik (public sphere) maupun melalui wakil-wakilnya yang
telah dipilih secara adil dan jujur dengan pemerintahan yang dijalankan
semata-mata untuk kepentingan rakyat,
sehingga sistem pemerintahan dalam negara tersebut berasal dari rakyat,
dijalankan oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat.
Setidaknya menurut Ling dan Shih
(Hara,2000), ada empat pendekatan dalam memahami demokrasi di Asia Tenggara.
Keempat pendekatan itu adalah institusionalis, internasionalis, demokrasi gaya
Asia, dan illiberal democracy. Dua pendekatan pertama sering disebut
conversionism karena kesamaan dasarnya yang melihat perlunya Asia Tenggara mengabsorbsi nilai-nilai dan kelembagaan
demokrasi Barat agar demokrasi bisa berjalan dengan baik. Budaya politik
haruslah budaya politik rasional yang berorientasi pada problem solving, bukan
pada nilai-nilai komunal dan religius. Budaya rasional diperlukan untuk
mendorong masyarakat madani yang aktif. Budaya ini terutama harus muncul di
lembaga-lembaga politik seperti pemilu, parlemen, pengadilan,parpol dan media.
Pendekatan ketiga mengklaim bahwa demokrasi liberal berangkat dari nilai-nilai
Barat yang individualis dan impersonal yang tidak cocok dengan nilai-nilai Asia
yang menekankan komunalisme, personalisme, penghormatan pada atasan dan
perlunya campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi dan masyarakat.(Neher
dalam Hara,2000). Klaim terhadap demokrasi gaya Asia ini biasanya diperkuat dengan
argumen bahwa Asia Tenggara memerlukan kestabilan dan pembangunan (Milner dalam
Hara,2000). Demikian juga berkembang anggapan bahwa masyarakat belum siap
berdemokrasi karena itu diperlukan pemerintahan yang aktif dalam membimbing
masyarakat atau semacam tutelary
government (Kausikan dalam Hara,2000). Juga biasa diungkapkan argumen
tentang kedaulatan dan otonomi negara untuk mengatur dirinya sendiri sebagai
cara untuk menolak demokrasi yang dikampanyekan oleh negara-negara Barat
(Mohamad dalam Hara,2000). Menurut Hara,
pendekatan terakhir ini sebenarnya lebih dekat kepada persoalan demokratisasi
yang dihadapi Asia Tenggara terutama dalam asumsi bahwa
demokrasi di Asia Tenggara adalah produk yang bercampur antara nilai lokal dan
nilai demokrasi liberal. Asia Tenggara meminjam institusi dan norma-norma
politik-Barat, tetapi penerapannya berdasarkan kondisi lokal baik kondisi budaya,
historis, sarana dan strategi. Hasilnya adalah sebuah negara yang mengatur banyak
hal, teknokratis dan mengontrol diskursus politik di masyarakat.
Prof. Dr. Ginandjar Kartasasmita
pada orasi ilmiah dalam acara wisuda sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE)
Ahmad Dahlan Jakarta (2008), mengatakan bahwa dalam teori demokratisasi dikenal
dua tahap, yaitu tahap transisi dan tahap konsolidasi. Transisi seperti
dikatakan oleh O’Donnell dan Schmitter (1991) adalah masa antara dua rezim
politik. Transisi demokrasi dimulai sejak bergulirnya proses desolusi
(tumbangnya)sebuah rezim otoriter pada ujung yang satu dan ditegakkannya rezim
demokrasi pada ujung yang lainnya. Pada tahapan ini penekanan ada pada
penegakan demokrasi secara prosedural yakni berfungsinya berbagai
institusi-institusi politik secara demokratis. Tahap konsolidasi menurut
berbagai literatur merupakan konsep yang tidak kalah sulitnya dibanding proses
transisi. Bahkan banyak negara yang jatuh kembali ke rezim otoriter karena
gagal menyelesaikan proses konsolidasi demokrasi. Menurut Linz dan Stepan (1996), konsolidasi
demokrasi berarti bahwa demokrasi bukan hanya telah tegak sebagai sebuah sistem
politik tetapi juga telah membudaya di kalangan masyarakat. Bahkan betapapun
besarnya tantangan dan kesulitan yang dihadapi masyarakat tidak akan berpaling
dari demokrasi ke sistem politik lain. Tahap konsolidasi menghendaki perhatian
pada segi-segi substantif, karena di benak kebanyakan rakyat yang telah lama
mengalami penindasan, ketidakadilan dan kemiskinan,demokrasi melambangkan lebih
dari sekadar penghapusan institusi-institusi politik yang represif dan
penggantian pemimpin-pemimpin otoriter. Demokrasi merepresentasikan kesempatan
dan sumberdaya bagi perbaikan kualitas hidup serta bagi kehidupan sosial yang
lebih adil dan manusiawi. Oleh karena itu, konsolidasi demokrasi harus menjamin
terwujudnya esensi demokrasi: pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan
pertanggungjawaban sistemik (systemic responsiveness).
Berbagai uraian tentang politik di atas, bila ditelusuri
lebih jauh sebenarnya berangkat dari pemikiran filsafat politik yang diletakkan
oleh Plato. Filsafat politik Plato berupaya membahas dan menguraikan berbagai
segi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan negara. Pemikiran Plato tentang
negara idealnya dalam buku Republic merupakan
suatu ideal,suatu idaman, suatu cita-cita yang merupakan jawaban atas
pertanyaan ke mana negara hendak digiring dan bukannya untuk menjawab
pertanyaan bagaimana mengurus atau mengatur negara itu. Pertanyaan kedua
tersebut justru baru ditemukan pada buku Politicus
dan The Laws. Dengan demikian maka
pertama-tama Plato membangun suatu ideal, baru kemudian ia memberi petunjuk
yang perlu untuk berjalan menuju ke ideal itu.(Rapar,2002).
PEMBAHASAN
Membahas konsep perencanaan
pembangunan dan politik, kita justru menemukan adanya kesesuaian antara
keduanya. Pertama, berkaitan dengan
tujuan. Salah satu unsur pokok perencanaan pembangunan adalah tujuan yang
hendak dicapai di masa yang akan datang. Dalam konteks politik, terutama yang
dapat ditemukan dalam filsafat politik Plato, negara ideal Plato merupakan tujuan dari politik itu sendiri.
Perbedaannya adalah bahwa perencanaan pembangunan hanya menyebutkan soal tujuan
tanpa menjelaskan apa sebenarnya tujuannya itu sebab perencanaan pembangunan
melibatkan berbagai aspek; sedangkan politik sudah menyebutkan secara jelas
tujuannya yakni adanya negara yang ideal. Kedua,
langkah-langkah kebijakan untuk mencapai tujuan. Kalau dalam politik dapat
ditemukan petunjuk-petunjuk untuk mencapai negara ideal, maka dalam perencanaan
pembangunan kita juga menemukan adanya alternatif-alternatif pilihan kebijakan
untuk mencapai tujuan. Hal yang berbeda di sini yaitu bahwa kalau perencanaan
pembangunan itu memberikan tawaran alternatif-alternatif pilihan yang akan
dipertimbangkan melalui suatu proses pengambilan keputusan atau juga proses
formulasi kebijakan, sedangkan dalam politik hanya diberikan standar atau petunjuk-petunjuk
untuk mencapai negara ideal itu. Selanjutnya kita akan sedikit mengulas
perkembangan politik di Indonesia, bukan untuk memperlihatkan perbedaan antara
kedua konsep yang telah dibahas di atas melainkan untuk menemukan adanya
kesesuaian-kesesuaian yang lain namun belum terorganisir dalam satu konsep yang
utuh.
Jenedjri M. Gaffar dalam bukunya Demokrasi Konstitusional(2012),
menggambarkan tentang potret demokrasi di Indonesia pasca reformasi. Setelah
sepuluh tahun reformasi berjalan, demokrasi mulai digugat dan kritis
dipertanyakan. Ada yang melihat bahwa praktik demokrasi membangkitkan semangat
kedaerahan, memperlemah persatuan nasional serta tidak mampu mewujudkan
pembangunan ekonomi yang menyejahterakan. Sistem nondemokrasi dipandang lebih
berhasil melaksanakan pembangunan ekonomi. Hipotesis Lee Kuan Yew (the Lee
hypothesis) menyatakan bahwa negara yang membatasi kebebasan, memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi dibanding negara-negara yang lebih tidak otoriter. Dasar gugatan dan ketidakpercayaan
terhadap demokrasi adalah bahwa demokrasi merupakan suatu cara untuk mencapai
tujuan tertentu, namun tujuan tersebut tidak berkaitan dengan demokrasi itu
sendiri sehingga dapat dicapai dengan cara yang lain, bahkan melalui
otoritarian. Demokrasi hanya dilihat sebagai mekanisme, terlepas dari nilai dan
prinsip dasar lahir dan berkembangnya konsep dan praktik demokrasi. Akibatnya,
praktik demokrasi hanya sekedar mekanisme mendapatkan legitimasi kekuasaan
dengan menghalalkan segala cara, termasuk perbuatan yang bertentangan dengan
nilai dan prinsip dasar demokrasi. Padahal menurut Amartya Sen, peraih nobel
bidang ekonomi 1998, demokrasi bukan sekadar suatu mekanisme, melainkan sistem
yang membutuhkan kondisi-kondisi tertentu. Di Indonesia, para pendiri bangsa
melihat demokrasi secara utuh sebagai suatu sistem yang memiliki nilai dan
prinsip dasar di samping mekanisme instrumental. Adanya prinsip-prinsip dasar
demokrasi dalam UUD 1945, baik pembukaan maupun pasal-pasal, memberikan
keyakinan bahwa demokrasi yang kita anut bukanlah demokrasi sebagai mekanisme
semata, melainkan sebagai suatu sistem.
Ginanjar (2008), mengajukan dua
alasan mengapa demokrasi tidak memberikan kesejahteraan ekonomi bagi
masyarakat.
1. Demokrasi yang dijalankan tidak benar, dalam
arti tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi.
2. Kebijakan-kebijakan
publik yang dijalankan tidak ditujukan untuk menghasilkan perbaikan
kesejahteraan. Demokrasi hanyalah sebuah sistem politik, maka untuk menghasilkan
kemajuan sosial ekonomi perlu diikuti oleh kebijakan-kebijakan publik yang
ditujukan untuk kemajuan sosial ekonomi.
Demokrasi kita tidak berjalan secara
demokratis, dalam arti tidak semua anggota masyarakat menikmati hak politik yang
sama. Partai-partai politik menguasai seluruh kegiatan politik tanpa menyisakan
pada kekuatan demokrasi lainnya, yang sama pentingnya dalam sebuah demokrasi
yaitu civil society atau masyarakat
madani. Akibatnya partai politik berfungsi menjadi makelar politik dan sebagai
akibatnya menyebabkan ”mark up” dalam biaya politik; yang menimbulkan gejala
mahalnya ongkos politik di Indonesia, yang berarti hanya kaum elit yang
menguasai kekayaan dan sumberdaya kekuasaan yang dapat menjalankan peran
politik. Politik
uang telah menyingkirkan pertimbangan-pertimbangan obyektif dan rasional yang
semestinya menjadi pertimbangan utama
dalam berdemokrasi.
Ginanjar juga menjelaskan bahwa Proses
pengambilan keputusan di dalam partai-partai politik itu sendiri belum
mencerminkan proses demokrasi, sehingga yang sekarang terjadi kekuasaan
otokrasi digantikan oleh kekuasaan oligarki. Badan-badan, baik yang ada dalam
konstitusi maupun yang diatur dalam undang-undang, anggota-anggotanya harus
melalui pertimbangan atau persetujuan DPR (partai politik) mulai dari MA, MK,
BPK, KY, Gubernur BI, KPK, KPU, BP Migas dan banyak lagi lembaga negara yang
diatur oleh undang-undang (yang nota bene dibuat oleh DPR); demikian pula
jabatan-jabatan penting seperti Panglima TNI
dan Kapolri, sehingga menyebabkan DPR memiliki kekuasaan yang amat
sangat luar biasa. DPR juga memegang kewenangan yang mestinya urusan eksekutif,
seperti peralihan fungsi hutan dan pengangkatan duta besar kita, bahkan sampai
persetujuan duta besar negara asing ke Indonesia. Yang menjadi
masalah, siapa atau lembaga mana yang mengawasi DPR dalam menyelenggarakan
kekuasannya itu? Desentralisasi juga dirasakan
menimbulkan makin besar ketimpangan antar daerah, terutama antara daerah-daerah
yang kaya dengan daerah-daerah yang miskin sumber daya, baik sumber daya
manusia maupun sumber daya alam. Otonomi daerah hanya memakmurkan para pejabat
di daerah dan bukan rakyat dan juga telah terjadi“desentralisasi” korupsi. Di
sisi lain amandemen konstitusi telah melahirkan berbagai lembaga konstitusi
baru yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan memperkuat
sistem ketatanegaraan kita. Dalam prakteknya yang terjadi sekarang adalah
konflik-konflik antar lembaga negara, oleh karena tidak jelasnya peranan dan
fungsi serta batas-batas kewenangan yang diberikan kepada lembaga-lembaga
negara.
Melihat
dinamika politik yang berkembang di Indonesia saat ini maka kita dapat menilai
konteks politik kita dari perspektif unsur-unsur yang ada dalam perencanaan
pembangunan. Pertama, dari aspek
tujuan, sudah jelas bahwa tujuan politik kita sudah termanifestasi dalam tujuan
negara Indonesia yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Memakai istilah negara ideal Plato
maka tujuan negara Indonesia ini merupakan idealisme seluruh rakyat yang harus
diwujudkan dalam penyelenggaraan negara. Kedua,
Politik merupakan suatu proses yang tidak pernah berhenti selama masih ada
interaksi antara negara dengan masyarakatnya. Politik selalu berkembang sejalan
dengan perkembangan aspek-aspek lainnya, selalu menyesuaikan diri dengan
lingkungan politik yang terikat dengan ruang dan waktu. Sejarah perkembangan
politik di Indonesia telah membuktikan adanya proses yang berkelanjutan itu. Ketiga, alternatif-alternatif kebijakan
politik. Berbagai kebijakan politik di Indonesia merupakan pilihan-pilihan dari
alternatif-alternatif yang tersedia misalnya memilih antara desentralisasi
kekuasaan atau sentralisasi kekuasaan, memilih antara Pemilu langsung atau
pemilihan oleh lembaga perwakilan. Keempat,
adanya data-data dan fakta-fakta politik yang mendukung pemilihan alternatif
kebijakan pembangunan politik seperti data-data partai, data-data ormas,
data-data tentang civil society sebagai salah satu bagian dari kekuatan politik
dan sebagainya. Kelima, adanya perubahan
dan pertumbuhan dalam politik. Kita melihat adanxya perubahan-perubahan yang
terjadi dalam sistem politik kita terlebih paling nampak setelah adanya
reformasi pada tahun 1999 pasca tumbangnya rezim Soeharto. Keenam, Perubahan-perubahan yang terjadi di bidang politik harus
mengarah kepada sesuatu yang dianggap lebih bernilai dalam konteks ruang dalam
hal ini dalam konteks Indonesia; dalam konteks waktu saat ini dan masa yang
akan datang serta dalam konteks budaya Indonesia.
Bila dicermati lebih jauh, kita akan
menemukan bahwa masih terdapat perdebatan yang kompleks tentang unsur ketiga
sampai dengan unsur keenam di atas. Pendekatan-pendekatan dalam perencanaan
pembangunan belum dimanfaatkan dalam proses pemilihan alternatif-alternatif
kebijakan politik. Contohnya dalam hal memilih alternatif desentralisasi
kekuasaan, kita tidak menemukan adanya pendekatan bottom-up yang terstruktur,
atau kajian-kajian melalui pendekatan teknokratis (mengenai ketersediaan sumber
daya yang ada di daerah, kajian mengenai biaya politik yang harus dikorbankan
atas nama desentralisasi, kajian mengenai dampak sosial atas adanya
desentralisasi) sebelum keputusan itu diambil. Yang terjadi adalah keputusan
yang diambil hanya didasarkan pada perkembangan tuntutan demokrasi sehingga
kajian-kajian teknokratis baru dilakukan pada tahap evaluasi dimana hasilnya
menunjukkan adanya kegagalan di berbagai daerah. Hal lain yang penting untuk
dikoreksi adalah standar untuk mengukur tingkat perubahan dan pertumbuhan politik
serta standar nilai dari perubahan-perubahan politik yang terjadi. Bila politik
itu merupakan aspek yang telah direncanakan dengan baik maka standar ukuran dan
nilai dari perubahan serta pertumbuhan politik jelas sudah ditetapkan pada saat
proses perencanaannya sehingga kita dapat mengukur tingkat pencapaian tujuan
suatu perubahan politik di Indonesia. Hal sebaliknya justru terjadi di
Indonesia. Kita tidak memiliki standar yang jelas untuk mengukur tingkat
pertumbuhan politik kita serta kekaburan atas standar nilai politik yang sesuai
dengan lingkungan dan budaya Indonesia sendiri. Kita hanya mengadopsi
standar-standar yang dipakai oleh lembaga-lembaga internasional dalam mengukur
perkembangan politik kita. Lebih parah lagi kita meminjam standar nilai
bangsa-bangsa lain untuk menilai politik kita, padahal kita tahu bahwa sistem
politik yang kita anut jauh berbeda dengan sistem politik bangsa lain.
Demokrasi yang kita punya adalah demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal,
dengan demikian maka untuk menilai standar politik kita, ukuran yang kita pakai
seharusnya nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila itu sendiri.
Sebagai jawaban atas persoalan di
atas, penulis menawarkan perlu adanya suatu perencanaan pembangunan politik di
Indonesia. Namun tulisan ini tidak membahas lebih lanjut tentang model
perencanaan pembangunan politik itu. Adanya kesamaan-kesamaan unsur yang ada
dalam perencanaan pembangunan dan politik membuka peluang bagi adanya pendekatan
perencanaan pembangunan dalam sistem politik kita. Perencanaan pembangunan
politik akan dapat menjawab persoalan-persoalan mendasar dari perkembangan
politik kita seperti aspek tujuan pembangunan politik, aspek proses politik,
aspek standar evaluasi politik dan standar nilai politik yang lebih sesuai dengan
lingkungan masyarakat dan budaya kita. Pendekatan-pendekatan yang ada dalam
perencanaan pembangunan diyakini mampu memberikan solusi terhadap kekaburan
politik dalam negeri kita.
CONCLUSION
Berdasarkan uraian tentang konsep
perencanaan pembangunan, konsep politik serta perkembangan politik yang ada di
Indonesia, kita dapat menarik beberapa kesimpulan yaitu:
1. Perencanaan
pembangunan dan politik memiliki unsur-unsur yang kurang lebih sama yaitu unsur
proses berkelanjutan, data-data dan fakta, tujuan, alternatif-alternatif
kebijakan, pertumbuhan dan perubahan serta nilai-nilai.
2. Persoalan
politik di Indonesia berkisar di seputar masalah tujuan politik,
pilihan-pilihan politik, standar evaluasi politik serta kesesuaian nilai-nilai
politik dengan nilai-nilai budaya Bangsa Indonesia.
3. Atas
kesamaan unsur-unsur dari perencanaan pembangunan dan politik di atas maka
persoalan-persoalan politik di Indonesia dapat dijawab menggunakan
pendekatan-pendekatan yang ada dalam perencanaan pembangunan yang dapat kita
sebut sebagai “Perencanaan Pembangunan Politik.”
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar E. Hara, Pendekatan-pendekatan Dalam Studi Demokrasi
di Asia Tenggara dan Relevansinya untuk Indonesia, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Fisipol
UGM Volume 4, Nomor 1, Juli 2000.
Agus Suryono, 2010. Dimensi-dimensi Prima Administrasi
Pembangunan, UB Press, Malang.
Agus Wahyudi, Filsafat Politik Barat dan Masalah Keadilan.
Catatan kritis atas pemikiran Will Kymlicka, Makalah disampaikan dalam
Diskusi “Keadilan dalam Masyarakat Modern” di Fakultas Filsafat UGM 30 Agustus
2004.
Diana
Conyers and Peter Hills,1984. An
Introduction to Development Plannning in the
Third Word, John Wiley series on public administration in developing countries, John Wiley & Sons Ltd. New
York.
Ernan Rustiadi, dkk,
2011. Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah, Crestpent Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.
Ginandjar Kartasasmita,
Strategi Pembangunan Ekonomi: antara
pertumbuhan dan demokrasi, Orasi Ilmiah Dalam Acara Wisuda Sarjana Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ahmad Dahlan Jakarta 26 April 2008.
J.H. Rapar,2002. Filsafat
Politik, Plato, Aristoteles, Agustinus, Machiavelli,
PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Janedjri M.
Gaffar, 2012. Demokrasi Konstitusional, Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta.
Miftah Thoha, 2011. Birokrasi dan Politik di Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Munir Fuady,2010. Konsep
Negara Demokrasi, PT. Refika Aditama, Bandung.
Riyadi dan Deddy S., 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah: Strategi Menggali Potensi Dalam Mewujudkan Otonomi Daerah, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Robinson Tarigan, 2012.
Perencanaan Pembangunan Wilayah,
edisi revisi, Bumi Aksara, Jakarta.
S.P.
Siagian,2009. Administrasi Pembangunan
(konsep,dimensi dan strateginya), Bumi Aksara, Jakarta.