PENDAHULUAN
Isu pemberdayaan
perempuan telah menjadi topik yang hangat dewasa ini, mulai dari lingkup global
hingga ke tataran lokal. Hal ini merupakan reaksi atas adanya diskriminasi
gender yang sudah lama terjadi. Pemberdayaan perempuan dilihat sebagai salah
satu cara yang efektif dalam memperjuangkan adanya kesetaraan gender, khususnya
dalam konteks perempuan sebagai korban diskriminasi oleh sistem atau struktur
sosial di dalam masyarakat. Kita dapat melihat bahwa dalam berbagai kesempatan,
sering kali perempuan mengalami diskriminasi misalnya dijadikan objek
eksploitasi, mengalami kekerasan, subordinasi, serta adanya upaya marginalisasi
perempuan. Kemudian permasalahan lain yang kerap dialami perempuan yaitu double
burden (beban ganda) dimana peningkatan jumlah perempuan yang bekerja di
wilayah publik, tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah
domestik. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda. (Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2012).
Salah satu dilema yang
kemudian muncul dalam upaya pemberdayaan perempuan adalah dilema kultural. Malinowski
(1960), berpendapat bahwa budaya
merupakan komposisi integral dari sebagian hal otonom dan sebagian lain yang
dikordinasikan oleh organisasi. Budaya terintegrasi oleh serangkaian prinsip
seperti yang ada pada satu kelompok masyarakat yang memiliki hubungan darah, kedekatan
dalam ruang yang terkait dengan kerja sama, spesialisasi dalam kegiatan dan
penggunaan kekuasaan dalam organisasi politik.
Di satu sisi kita
menolak adanya diskriminasi terhadap perempuan tetapi di sisi lain, kita hidup
dalam suatu budaya yang menempatkan perempuan pada posisi kedua setelah
laki-laki. Tulisan ini hendak mengulas isu pemberdayaan perempuan dalam konteks
kultur tersebut. Secara khusus salah satu budaya yang dapat dijadikan objek
kajian adalah budaya Lamaholot di wilayah Flores Timur dan Lembata, Propinsi
NTT. Kita akan terlebih dahulu mengenal tentang apa itu budaya Lamaholot dan dimana
perempuan diposisikan dalam budaya itu, barulah dikomparasikan dengan isu
pemberdayaan perempuan untuk melihat benang merah antara keduanya serta
memberikan kesimpulan dan rekomendasi pada bagian akhirnya.
BUDAYA LAMAHOLOT
Raymond Williams
(John Storey, 2009) mendefinisikan budaya dalam tiga rujukan. Pertama, budaya bisa digunakan untuk
merujuk kepada sebuah proses umum dari perkembangan intelektual, spiritual dan
estetika. Kedua, budaya juga bisa
menunjukkan tentang cara hidup tertentu baik itu seseorang, kelompok orang
maupun cara hidup pada periode tertentu. Dan yang ketiga yakni budaya merujuk kepada karya dan praktek intelektual, terutama
kegiatan artistik. Dengan demikian, dalam perspektif budaya Lamaholot, kita
dapat melihat tiga aspek di atas dalam pembahasan kita tentang pemberdayaan
perempuan. Pertama, kita bisa melihat tentang perkembangan intelektual,
spiritual dan estetika Lamaholot. Kedua, kita juga bisa melihat cara hidup
orang-orang Lamaholot dan bagaimana pergeseran cara hidupnya. Dan yang terakhir
kita bisa melihat tentang karya dan praktek intelektual terutama di bidang
artistik. Tentu saja ketiga aspek di atas tidak dapat dibahas seluruhnya dalam
tulisan ini. Kita hanya melihat aspek-aspek tertentu yang erat kaitannya dengan
konsep pemberdayaan perempuan.
Untuk
memahami konteks perkembangan intelektual yang ada dalam budaya Lamaholot, kita
merujuk pada cara pandang Aguste Comte tentang tahap perkembangan
intelektual. Menurut Comte, proses evolusi ini melalui tiga tahapan utama:
1.
Tahapan teologis, yaitu tahapan dimana akal budi manusia mencari kodrat
manusia serta semua gejala yang ada di sekitarnya dan menemukan bahwa ada kekuatan yang mengendalikan semua itu yaitu
dewa-dewa atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia mencari sebab pertama dan sebab
akhir dari segala akibat. Singkatnya, pengetahuan absolute, mengandaikan bahwa
semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal supranatural.
2.
Tahapan metafisis, yaitu tahap transisi
antara tahap teologis dan positivis. Tahap ini ditandai dengan suatu
kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal
budi. Atau dengan kata lain akal budi mengandaikan bukan hal supranatural,
melainkan kekuatan-kekuatan abstrak, hal-hal yang benar-benar nyata melekat
pada semua benda.
3.
Tahapan positivistic, yaitu akal budi telah meninggalkan pencarian yang sia-sia
terhadap pengertian-pengertian yang absolut, asal dan tujuan alam semesta,
serta sebab-sebab gejala dan memusatkan perhatiannya pada studi tentang
hukum-hukumnya, yakni hubungan-hubungan
urutan dan persamaanya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan,
digabungkan secara tepat sebagai sarana
pengetahuan.
Dalam tahapan teologis,
Comte juga menguraikannya dalam tiga bagian. Yang
pertama fetisisme dan dinamisme yang menganggap alam semesta ini mempunyai jiwa,
serta animisme yang mempercayai dunia sebagai kediaman roh-roh atau bangsa
halus. Yang kedua politeisme yang mengelompokkan semua kejadian alam
berdasarkan kesamaan-kesamaan di antara mereka, sehingga politeisme
menyederhanakan alam semesta yang beraneka ragam. Yang terakhir, monoteisme
yaitu kepercayaan yang menganggap hanya ada satu tuhan.
Vatter dalam
catatannya menulis bahwa dalam struktur desa tradisional Lamaholot, sebuah desa
harus memiliki korke untuk upacara keagamaan dan rumah pertemuan yang menyertainya
atau sering disebut bale. Idealnya
struktur korke yang baik harus berdiri di pusat desa, sering berlawanan arah
dengan candi dari suku yang mengklaim
statusnya sebagai tuan tanah. Tuan tanah jugalah yang mengambil peran utama
dalam setiap urusan. Selanjutnya Arndt menyatakan bahwa jika candi tersebut
berada di luar desa, itu menandakan lokasi bekas desa. Sebelum candi biasanya
ditemukan sejumlah tumpukan batu yang sangat penting artinya bagi agama yang
disebut dengan Nuba Nara. Persembahan
kepada bipartit keilahian yang disebut dengan Lera Wulan (Matahari dan Bulan = langit) Tana Ekan (bumi), dilakukan di korke tersebut. (Barnes, 2009).
Bagi
orang Lamaholot, Nuba Nara merupakan simbol dan tempat bersemayamnya wujud
tertinggi yang disebut dengan Lera Wulan
Tana Ekan. Oleh karena itu berbagai ritus pasti dilakukan di tempat
tersebut. Salah satu di antara berbagai ritus itu yakni ritus Tuno Manuk (bakar ayam) yang merupakan rekonsiliasi antara manusia
dengan Lera Wulan Tana Ekan atas hubungan yang rusak oleh keserakahan manusia. Tradisi tuno manuk ini digelar di Desa Demondei,
Kecamatan Wotan Ulumado, Flores Timur, NTT. Dalam ritus ini, setiap kaum pria
wajib membawa seekor ayam jantan sehat. Wakil dari perantau pun mempersembahkan
seekor ayam jantan. Sebelum dibawa ke rumah adat, ayam didoakan terlebih dahulu
di depan pintu rumah sekitar pukul 18.00 oleh seluruh anggota keluarga. Ayam-ayam
itu lalu dibawa pemilik atau yang mewakili ke rumah adat yang disebut koke bale. Sambil berdoa, ayam-ayam itu
disembelih oleh ketua adat. Darah ayam disiramkan di atas sebuah batu bulat
ceper yang disebut nuba nara.
Sepanjang ritual itu, masyarakat memperagakan tarian tradisional yang disebut Lian Namang. Mereka berbalas pantun;
berisikan cinta dan suka-duka hidup dengan kata-kata berupa kiasan. Saat
matahari terbit, ratusan ayam itu dicincang. Bagian hati dikumpulkan dan
dipersembahkan kepada Lera Wulan-Tanah Ekan oleh ketua adat pada puncak acara.
Puncak upacara ditandai dengan makan perjamuan bersama pada sore hari.
Semua laki-laki duduk membentuk lingkaran di dekat koke bale. Ayam yang matang
dibagikan kepada semua laki-laki yang duduk melingkar. Daging dan nasi disimpan
dalam daun waru sebagai pengganti piring. Hanya laki-laki yang mengambil bagian
dalam perjamuan itu. Seusai perjamuan adat, tetua adat bergerak menuju sumber
air dan pohon besar. Arwah leluhur diyakini tinggal di hutan, pohon, batu, dan
sumber air. Mereka menjaga dan melindungi kelestarian alam sekitar.(Kewa Ama,
2012).
Siklus hidup
orang Lamaholot mulai dari prakelahiran sampai dengan pascakematian juga sangat
kental dengan ritus-ritus budaya, selain ritus-ritus keagamaan yang baru muncul
setelah masuknya Agama Katolik di Flores Timur dan Lembata. Dalam masa
kehamilan, dikenal adanya upacara penyucian diri yang disebut dengan Hoing Temodok. Proses pembersihan ibu
hamil ini dilakukan dalam bentuk pengakuan dosa suami istri di korke tempat
bersemayamnya Lera Wulan Tana Ekan, pembersihan diri oleh marang, persembahan sesaji kepada roh-roh leluhur, pemberian
motivasi rohani dan jasmani kepada ibu hamil (gelete geluwer) dan makan bersama. Ada banyak juga larangan
terhadap ibu hamil seperti tidak boleh mengkonsumsi makanan tertentu (misalnya
gurita, pisang, babi landak), dilarang duduk di depan pintu rumah, dilarang
keluar pada malam hari, dilarang duduk dekat tungku api, dilarang mengambil
kayu bakar yang masih terikat, larangan mengunjungi orang meninggal serta masih
banyak larangan yang lain.
Suban Tukan dalam
bukunya Keluarga Lamaholot Opulake Opubine menggambarkan tentang sistem
perkawinan Lamaholot yang exogami yaitu tidak boleh saling tukar menukar wanita
serta tidak boleh dari suku sendiri, sehingga dikenal adanya opulake yaitu suku yang menyerahkan
wanita dan menerima mas kawin serta opubine
yaitu suku pria yang menerima wanita dan memberi mas kawin berupa gading
gajah. (Magdalena G.,2004). Hubungan ini
akan terus berlangsung turun temurun sehingga tidak dapat dipertukarkan posisi
opulake dan opubine tersebut. Dalam hal mas kawin berupa gading gajah, ia
merupakan lambang harga diri dari seorang wanita yang patut dihargai dan
dijunjung tinggi. Selain itu ada juga implikasi negatifnya yaitu bahwa karena
wanita sudah dibelis dengan nilai yang sangat mahal maka dia bisa diperlakukan
semaunya suami tanpa ada intervensi dari keluarga perempuan. Sering terjadi
perempuan sangat dibatasi ruang geraknya dalam ritus-ritus adat misalnya saja
tidak diperbolehkan berbicara dan menyampaikan pendapat dalam urusan adat,
wanita baru boleh makan setelah kaum pria selesai makan dan tempatnya juga
harus di belakang, tidak boleh di antara kaum pria yang duduk di atas
balai-balai.
Karya estetika yang masih banyak
ditemui dalam budaya Lamaholot adalah sarung tenun. Sarung tenun ini ada
berbagai macam. Untuk perempuan, orang Ile Ape misalnya, dikenal ada beberapa
jenis sarung. Ada yang disebut dengan Wate
Hebak, Wate Kerokong, Wate biasa, juga ada Bala Ohi. Untuk pria disebut Senai
atau Nowing. Dari semua jenis itu,
yang paling lama dikerjakan adalah jenis Bala Ohi, karena untuk menenun sarung
jenis ini tidak gampang dan butuh ketelitian yang tinggi, bisa sampai satu
tahun baru selesai, disertai banyak pantangan bagi perempuan yang menenunnya. Harga
sarungpun, bervariatif tergantung jenis sarungnya. Selembar Wate Hebak
kini mencapai harga Rp. 1 juta, Wate Krokong sekitar Rp. 500 ribuh kalau
sarung biasa untuk dipakai di rumah, dihargai dengan Rp. 100 sampai Rp. 200
ribu, tetapi untuk selembar Wate Bala Ohi harganya bisa mencapai Rp. 15 juta.
Semua aktifitas dari proses menenun inipun hanya bisa dilakukan oleh kaum
perempuan.
ISU PEMBERDAYAAN
PEREMPUAN
Pemberdayaan
adalah sebuah strategi yang pertama kali diusulkan secara internasional pada
tahun 1980 oleh sekelompok aktivis dari Selatan untuk menantang hegemoni
feminis utara dalam wacana internasional tentang perempuan.(Elliott, 2008). Hal
ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan
negara-negara di dunia terhadap praktek diskriminasi terhadap perempuan jauh
sebelumnya, yang diwujudkan dalam deklarasi dan konvensi internasional.
Salah satu deklarasi
yang melandasi perlawanan terhadap diskriminasi perempuan adalah The Universal Declaration of Human Rights
(Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), oleh Majelis Umum PBB di tahun 1948. Dalam
perkembangannya, konvensi yang menjadi landasan hukum tentang hak perempuan
adalah Convention on the Elimination of
All Forms of Discrimination Against Women (Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB
tahun 1979. Konvensi tersebut disebut juga Konvensi Wanita, atau Konvensi
Perempuan atau Konvensi CEDAW (Committee on the Elimination of Discrimination
Against Women). Selanjutnya, Hak Asasi Perempuan yang merupakan Hak Asasi
Manusia kembali dideklarasikan dalam Konferensi Dunia ke-IV tentang Perempuan
di Beijing tahun 1995. Selanjutnya pada tahun 2000, 189 negara anggota PBB
menyepakati Millennium Declaration
untuk melaksanakan MDG’s (Millennium Development Goals). Ada delapan komitmen kunci yang ditetapkan
dan disepakati dalam MDGs, salah satunya tertulis dalam Tujuan 3 MDG’s yaitu
mendorong tercapainya kesetaraan dan keadilan gender dan pemberdayaan
perempuan. (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2012).
Esther
(Elliott,2008) mendefinisikan pemberdayaan perempuan sebagai proses peningkatan
kapasitas untuk menguasai sumber daya, untuk membuat keputusan tentang pilihan
hidup strategis, dan untuk menantang kekuatan rezim gender yang membatasi
pilihan seseorang, otonomi dan kesejahteraan pada saat mencari untuk mencapai
hasil hidup yang diinginkan. Inti dari konsep pemberdayaan perempuan adalah
membangun kekuatan batin mereka dari bawah ke atas, bukan oleh proses top-down yang
dipaksakan kepada mereka dari luar. Pemberdayaan ini memiliki dua dimensi pokok
yaitu dimensi diri sendiri untuk individu perempuan dan dimensi kolektif dengan
yang lain dalam rangka mobilisasi dan aksi. Tujuan utama pemberdayaan perempuan
adalah transformasi ketika perempuan, secara individual maupun kolektif,
terlibat dalam introspeksi diri, menyuarakan kebutuhan dan kepentingan mereka,
dan menjadi agen yang aktif untuk mengubah kekuatan hubungan dan ketimpangan
sosial.
Konteks hukum
negara kita sebenarnya telah mengakomodir kesetaraan gender terutama seperti
yang terlihat dalam pasal 27 UUD 1945. Sayangnya masih banyak UU juga yang
memperlihatkan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Tidak hanya itu, berdasarkan
data Komnas Perempuan tahun 2012, telah
teridentifikasi ada sekitar 282 peraturan daerah yang diduga bias gender.
Sejumlah peraturan perundangan tersebut tidak mampu mengakomodir kesetaraan
gender yang telah dijamin oleh UUD. Langkah-langkah dalam perbaikan tatanan
hukum tentu harus dilaksanakan secara terintegrasi.
Langkah-langkah
hukum kemudian tidak begitu saja bisa menjawabi persoalan diskriminasi terhadap
perempuan sebab bisa jadi langkah-langkah tersebut justru melemahkan bahkan
menghapuskan dimensi budaya tertentu yang sangat tinggi nilainya terhadap jati
diri bangsa Indonesia yang tergambar dalam semboyan kebinekaan. Apalagi kita
menyadari bahwa ragam kultur di Indonesia sangat bervariasi dan begitu banyak
jumlahnya yang tidak dapat didekati oleh satu tataran hukum yang universal.
Itulah sebabnya ada banyak UU dan PP yang masih diperdebatkan dan belum
dilaksanakan secara optimal. Dalam kondisi semacam ini maka kita butuh
pendekatan yang lain yaitu pendekatan kultural dalam upaya pemberdayaan
terhadap kaum perempuan di Indonesia. Alasan mendasarnya adalah bahwa
pendekatan ini lebih mungkin diterima masyarakat dimana bias gender ini
cenderung lebih dominan pada masyarakat yang masih tradisional seperti
masyarakat di wilayah pedesaan dan di wilayah-wilayah tertinggal.
Yang
harus dilakukan dengan pendekatan budaya ini adalah menafsirkan dan menjelaskan
representasi budaya. Dalam antropologi, yang perlu ditafsirkan adalah
representasi budaya yang bersifat kolektif yang dikaitkan dengan sebuah
kelompok sosial secara keseluruhan. Sedangkan penjelasan tentang representasi
budaya dapat dilihat dalam dua pengertian yaitu membuat ia menjadi jelas dan untuk menunjukkan bagaimana hasil dari
mekanisme yang relatif umum di tempat kerja dalam situasi khusus yang
diberikan. (Sperber,1996).
KESIMPULAN
Berdasarkan alur
pikir tentang budaya sebagai sebuah proses umum dari perkembangan intelektual,
spiritual dan estetika, budaya sebagai cara hidup tertentu baik itu seseorang,
kelompok orang maupun cara hidup pada periode tertentu, dan budaya yang merujuk
kepada karya dan praktek intelektual, terutama kegiatan artistik, maka konteks
pemberdayaan perempuan Lamaholot tidak saja menggunakan pendekatan hukum formal
yang terbukti belum mampu mengangkat martabat perempuan melainkan dibutuhkan
juga pendekatan kultural. Pendekatan kultural ini lebih bisa diterima oleh masyarakat sebab ia mampuh
menginterpretasikan dan menjelaskan representasi budaya Lamaholot yang dapat
ditemukan dalam wujud ritus-ritus adat mulai dari prakelahiran sampai dengan
pascakematian, dalam wujud hubungan sosial dan kekerabatan di dalam masyarakat, dalam wujud cara hidup kelompok suku dan juga
dalam wujud karya-karya artistik seperti sarung tenun, musik tradisional serta
tarian-tarian tradisional.
Interpretasi
dan penjelasan tentang representasi budaya Lamaholot akan memberikan gambaran
yang sebenarnya dari kultur tersebut sehingga setiap orang yang terlibat dalam
usaha pemberdayaan bagi perempuan Lamaholot mampuh menemukan cara terbaik untuk
membangun kekuatan batin bagi perempuan Lamaholot baik secara individu maupun
kelompok agar mereka mampuh memiliki kapasitas untuk menguasai sumber daya, untuk
membuat keputusan tentang pilihan hidup strategis bagi diri mereka, dan untuk
menantang kekuatan rezim gender yang membatasi pilihan seorang perempuan, yang
membatasi otonomi perempuan dan yang membatasi usaha mencapai kesejahteraan sebagai
cita-cita hidup yang diinginkan. Lebih jauh lagi, interpretasi dan penjelasan
tentang representasi budaya Lamaholot mampuh memberikan kesadaran kepada
perempuan Lamaholot sendiri tentang jati diri mereka yang sebenarnya sebab
terbukti bahwa nilai belis yang tinggi sebenarnya mau menunjukkan posisi
perempuan sebagai pribadi yang harus dijunjung tinggi. Tingginya nilai seorang
perempuan juga dapat ditemukan dalam interpretasi bahasa yang ada dalam
syair-syair adat misalnya istilah puken
tawan wai matan. Kiranya korelasi pemberdayaan perempuan dalam konteks
budaya Lamaholot yang menawarkan pendekatan kultural dalam tulisan ini dapat
menyegarkan pikiran para praktisi dan pemikir pemberdayaan perempuan untuk
mampu mengambil langkah yang tepat dalam upaya pemberdayaan kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
Elliott,
Carolyn M.(Edt.); 2008. Global Empowerment of Women. Responses to Globalization and Politicized
Religions, Routledge, New York.
Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 2012. Pembangunan Manusia Berbasis
Gender 2012, CV. Permata Andhika, Jakarta.
Magdalena
G.,Maria;2004. Hak dan Peranan Wanita
Dalam Hukum Perkawinan Adat Lamaholot (Skripsi), Universitas Indonusa Esa
Unggul, Jakarta.
Malinowski,
Bronislaw; 1960. A Scientific Theory of
Culture and Other Essays, Oxford University
Press, NewYork.
Sperber,
Dan; 1996. Explaining Culture, A
Naturalistic Approach, Blackwell Publishing, Oxford, Inggris.
Storey,
John; 2009. Cultural Theory and Popular Culture,
An Introduction (Fifth edition), Pearson
Education Limited, Edinburgh Gate, England.
Jurnal :
Barnes,
R.H.; 2009. A temple, a mission, and a
war (Jesuit missionaries and local culture in East Flores in the nineteenth
century), Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) 165-1
(2009):32-6, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde.
Website:
Kornelis Kewa Ama; 2012. Tuno Manuk, Harmonisasi Langit dan
Alam Semesta. Website: http://nasional.kompas.com. Diakses tanggal 6 April 2013.
Sholihatun Najidatil Umam; 2011. Tahap Perkembangan Intelektual August Comte.
Website: http://didanel.wordpress.com.
Diakses tanggal 6 April 2013.
Yogi Making;2013. Tenun Ikat Warisan Budaya yang Kian Hilang. Website: http://www.floresbangkit.com. Diakses
tanggal 6 April 2013.
Yusuf
Efendi;2010. Hoing Temodok: Upacara Penyucian Diri Ibu Hamil Suku Lamaholot
NTT. Website: http://melayuonline.com.
Diakses tanggal 6 April 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar