Jumat, 23 Maret 2012

QUO VADIS REFORMASI DEMOKRASI INDONESIA

PENDAHULUAN
Dewasa ini, demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang banyak diminati negara-negara di dunia, terutama negara-negara yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan pemerintahan yang totaliter. Perkembangan terakhir yang dapat dilihat misalnya tuntutan perubahan sistem pemerintahan yang sedang melanda negara-negara di wilayah Timur Tengah seperti Mesir dan Libya. Minat ini dipengaruhi oleh keyakinan bahwa demokrasi dapat mengayomi berbagai aspirasi yang dimiliki dan disampaikan oleh rakyat; sehubungan dengan kesadaran akan kebebasan berbicara dan menyampaikan pendapat sebagai hak asasi yang dimiliki setiap orang.
Pada dasarnya konsep tentang demokrasi itu sama namun cara pandang dan penerapan demokrasi di setiap negara akan berbeda. Hal ini sangat ditentukan oleh sejarah, budaya, pandangan hidup dan dasar serta tujuan negara masing-masing. Dengan demikian maka cara pandang serta penerapan demokrasi di Indonesia pastinya berpijak pada landasan idiil Pancasila dan landasan Konstitusional UUD 1945.
Sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia menunjukkan bahwa sekalipun dasar pijakannya itu tetap sebagaimana disebutkan di atas, namun aplikasinya sangat beragam, tergantung penafsiran para pemimpin bangsa tentang konsep demokrasi itu. Berdasarkan hal tersebut maka di Indonesia pernah dikenal tiga model demokrasi yang pernah diterapkan yaitu demokrasi liberal, demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila. Pemberlakuan ketiga model ini membawa dampak positip maupun negatip pada setiap generasi seiring pergeseran budaya dan pandangan hidup yang berkembang dalam masyarakat.
Untuk memahami perubahan-perubahan yang terjadi dalam perkembangan demokrasi di Indonesia, perlu dilihat alasan-alasan yang mendasari tuntutan atas perubahan itu baik dari masyarakatnya sendiri maupun dari para penyelenggara negara. Salah satu tuntutan atas perlunya perubahan model demokrasi di Indonesia terjadi ketika ditumbangkannya rezim orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada Tahun 1998. Hal ini membuka kemungkinan bagi berlangsungnya reformasi demokrasi .
Tulisan ini tidak menggambarkan secara utuh perkembangan perubahan model demokrasi di Indonesia tetapi lebih fokus membicarakan tentang kondisi reformasi demokrasi saat ini serta agenda reformasi demokrasi yang perlu dijalankan, didasarkan pada teori-teori demokrasi.


KONSEP DEMOKRASI

Istilah demokrasi secara etimologis berasal dari kata bahasa Yunani demos yang berarti rakyat dan kratos atau cratein yang berarti pemerintahan. Dengan demikian maka demokrasi berarti pemerintahan rakyat atau lebih sering disebut pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Konsep demokrasi ini pertama kali muncul dari pemikiran mengenai hubungan negara dan hukum dengan masyarakat di Yunani Kuno pada masa kehidupan para filsuf seperti Socrates, Hippocrates, Plato dan Aristoteles. Plato sendiri mengungkapkan bahwa demokrasi merupakan pemerosotan bentuk negara oligarki dalam konsep negara idealnya. Orang-orang kaya dalam pemerintahan oligarki tidak pernah puas memperkaya diri maka orang-orang yang tersingkir dari persaingan menimbun harta akan semakin melarat, sedangkan jumlah orang-orang yang melarat itu semakin lama semakin besar. Kemudian akan tiba saatnya rakyat menyadari bahwa keadaan mereka semakin memburuk, oleh sebab itu mereka lalu bangkit dan bersatu melawan orang-orang yang kaya yang telah memeras dan menindas mereka selama itu. Sesudah mereka berhasil menaklukkan dan membunuh orang-orang kaya itu, maka dibentuklah suatu pemerintahan yang penguasa dan rakyatnya sederajat sebab pemerintah dipilih oleh rakyat dan berasal dari rakyat.(Rapar, 2002:64)
Munir Fuadi dalam bukunya Konsep Negara Demokrasi (2010:2) mengatakan bahwa sebenarnya yang dimaksud dengan demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dalam suatu negara dimana semua warga negara memiliki hak, kewajiban, kedudukan dan kekuasaan yang baik dalam menjalankan kehidupannya maupun dalam berpartisipasi terhadap kekuasaan negara, dimana rakyat berhak untuk ikut serta dalam menjalankan negara atau mengawasi jalannya kekuasaan negara baik secara langsung misalnya melalui ruang-ruang publik (public sphere) maupun melalui wakil-wakilnya yang telah dipilih secara adil dan jujur dengan pemerintahan yang dijalankan semata-mata untuk kepentingan rakyat,  sehingga sistem pemerintahan dalam negara tersebut berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat.
Selanjutnya Munir juga mengemukakan beberapa pemikiran para ahli tentang pengertian demokrasi yaitu: (2010:2-3)
1. Pendapat Joseph Schmeter
Demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai suatu putusan politik dimana para individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
2. Pendapat Sidney Hook
Yang dimaksud dengan demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana putusan-putusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
3. Pendapat Philippe C. Schmitter
Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintakan tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang terpilih.
4. Pendapat Henry B. Mayo
Yang dimaksudkan dengan demokrasi adalah suatu sistem dimana kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif  oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
Beberapa pengertian yang dikemukakan di atas pada dasarnya memiliki satu makna yang sama yaitu bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana rakyat memiliki ruang untuk menentukan sendiri apa yang perlu dan tidak perlu dilakukan negara, baik secara langsung maupun melalui perwakilan-perwakilan. Dalam demokrasi, hak-hak rakyat dihormati dan dijunjung tinggi.
Demokrasi sesungguhnya bukan hanya seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi demokrasi juga mencakup seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk dalam sejarah panjang dan berliku. Demokrasi sering disebut pelembagaan dari kebebasan. Dalam negara yang demokratis, warganya bebas mengambil keputusan melalui kekuasaan mayoritas. (Alamudi, 1991)
Dalam demokrasi, menurut Winataputra (2006:13) seringkali terjadi pertarungan antara nilai-nilai ideal, nilai instrumental, dengan konteks alam, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan agama serta kualitas psiko-sosial para penyelenggara negara. Sebaliknya, menurut Zamroni (2001), demokrasi akan tumbuh kokoh bila di kalangan masyarakat tumbuh kultur dan nilai-nilai demokrasi, seperti toleransi; bebas mengemukakan dan menghormati perbedaan pendapat; memahami keanekaragaman dalam masyarakat; terbuka dalam berkomunikasi; serta menjunjung nilai dan martabat kemanusiaan. Demokrasi  juga harus memiliki nilai percaya diri atau tidak tergantung pada orang lain, saling menghargai, mampu mengekang diri  dalam kebersamaan dan keseimbangan.
Masyarakat yang menerima dan melaksanakan terus menerus nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan menghasilkan budaya demokrasi yang memiliki lima prinsip yaitu: 
1. Hak Asasi Manusia
Budaya demokrasi tidak akan hidup tanpa HAM. HAM adalah filosofi dasar terbentuknya sistem demokrasi. Demokrasi adalah alat. Tujuan hakiki adalah kesejahteraan dan kebebasan. Nilai tersebut termaktub pada HAM. Batas HAM adalah hak asasi orang lain. HAM tidak bebas utuh. Di sini letak toleransi dan tenggang rasa sebagai bagian dari budaya lokal harus bisa tumbuh.
2. Transparansi
Prinsip demokrasi adalah sistem yang bekerja untuk publik. Maka tidak perlu ada penutupan akses. Transparansi dalam multi aspek adalah hak konstitusional warga negara.
3. Partisipasi
Publik ikut berpartisipasi dalam demokrasi, mulai dari kritik,saran, dan pujian. Partisipasi ini dapat dilihat dalam sistem Pemilu. Partisipasi adalah kunci membangun demokrasi yang stabil karena tidak ada negara yang kuat tanpa masyarakat yang kuat di belakangnya.
4. Pluralitas
Demokrasi tidak diikat oleh satu persamaan tetapi oleh ragam perbedaan. Demokrasi tumbuh subur dalam alam multi etnis, suku dan agama. Demokrasi harus mengikat perbedaan ini dalam sistem yang fair dan toleran. Pengakuan pada eksistensi orang lain mutlak diberikan. Negara demokrasi tidak memberi perhatian lebih kepada satu etnis, suku dan agama tertentu tetapi diberikan secara setara dan fair untuk semuanya.
5. Egaliter
Demokrasi bukan sistem monarki absolut dimana raja selalu benar dan rakyat selalu salah. Demokrasi menghargai egaliter. Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Konstitusi tidak pilih kasih. Egaliter bermakna kesederajatan dalam berbangsa dan bernegara.
Budaya demokrasi di masyarakat akan terbentuk apabila nilai-nilai demokrasi itu sudah berkembang luas, merata,dihayati dan dijalankan sebagai sikap dan perilaku hidup. Budaya demokrasi akan membentuk suatu tata kehidupan yang demokratis yang oleh A. Ubaedillah dan Abdul Rozak haruslah menampakkan ciri-cirinya sebagai berikut: (Munir, 2010:13-14)
a) Penghormatan terhadap pluralisme dalam masyarakat, dengan,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,nnn  menghilangkan sikap sektarian dan sikap mau menang sendiri.
b) Semangat musyawarah dalam mencapai suatu putusan tertentu.
c) Cara yang diambil haruslah selaras dengan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini demokrasi tidak hanya berkepentingan dengan aspek proseduralnya saja melainkan demokrasi berkepentingan dengan tujuan atau hasil yang dicapai.
d) Norma kejujuran dalam bermufakat. Dengan prinsip kejujuran dan ketulusan dalam bermusyawarah, kita diharapkan untuk menghargai perbedaan-perbedaan yang ada dan dapat mengambil putusan yang menguntungkan semua pihak .
e) Norma kebebasan, persamaan hak dan kesamaan perlakuan di antara anggota masyarakat.
f) Toleransi terhadap prinsip “coba dan salah” (trial and error) dalam mempraktikkan demokrasi.
Selanjutnya, ketika suatu sistem demokrasi telah mulai tumbuh, demokrasi tersebut harus dipupuk, disirami dan dipelihara agar dapat survive dan menjadi dewasa. Beberapa prasyarat agar suatu demokrasi dapat tumbuh survive yaitu: (Munir, 2010:15)
1. Konsep negara hukum, karena demokrasi hanya dapat hidup dan berkembang dengan baik jika unsur-unsur negara hukum terpenuhi di negara dimana sistem demokrasi akan diterapkan.
2. Intensitas konflik harus ditekan sekecil mungkin.
3. Stabilitas ekonomi dan sosial harus dipertahankan.
4. Konsep masyarakat madani (civil society) dimana dalam masyarakat seperti itu berlaku prinsip terbuka, egaliter, bebas dari rasa takut, toleransi dan menghormati keberagaman.
5. Konsensus dasar dan organisasi masyarakat yang plural harus ada.
6. Budaya demokrasi yang genuine di negara yang bersangkutan sehingga dapat menangkis berbagai pola perilaku masyarakat yang tidak demokratis.
7. Konsep ranah publik (public sphere) yang luas yakni yang merupakan tempat dimana rakyat dan kelompok penekan dapat dengan bebas menyuarakan aspirasinya.
8. Kultur oposisi, dimana para oposan terhadap pemerintah dapat mengkritik pemerintah tanpa ada intimidasi dari pihak manapun.
9. Kehidupan beragama yang yang saling menghargai.
10. Tingkat kemakmuran masyarakat yang baik.
Dilihat dari segi sejauh mana dan bagaimana keterlibatan rakyat dalam suatu proses pengambilan keputusan, konsep negara demokrasi minimal memunculkan tiga macam demokrasi yaitu demokrasi perwakilan, demokrasi langsung dan demokrasi partai tunggal. (Munir, 2010)
Demokrasi perwakilan atau disebut juga demokrasi tidak langsung merupakan stereotype dari demokrasi kontemporer dan universal karena banyak dianut sekarang. Para pejabat negara yang dipilih oleh rakyat menjalankan kekuasaan, kewenangan dan fungsinya mewakili kepentingan-kepentingan rakyat yang diwakilinya baik dalam distrik-distrik tertentu maupun secara keseluruhan. Rakyat memilih wakil-wakilnya yang duduk dalam parlemen yang akan mewakili kepentingan rakyat dalam menetukan kebijakan-kebijakan yang dijalankan oleh pemerintahan.
Demokrasi langsung (direct democracy) berbeda dari demokrasi perwakilan sebab dalam sistem ini, rakyat menentukan sendiri secara langsung setiap putusan yang menyangkut kepentingan publik. Sistem pengambilan keputusan dalam demokrasi langsung berasal dari masyarakat sendiri melalui voting maupun konsensus atau gabungan keduanya.
Demokrasi partai tunggal sebenarnya sangat jauh dari jiwa demokrasi yang sesungguhnya. Model demokrasi ini hanya mengijinkan satu partai tunggal yang boleh hidup di dalam satu negara. Terkadang juga ada lebih dari satu partai tetapi direkayasa sedemikian rupa sehingga partai yang lainnya tersebut hanya sebagai pelengkap. Demokrasi partai tunggal mengklaim dirinya bertindak atas nama rakyat dan untuk kepentingan rakyat.
Ada juga ahli yang membedakan demokrasi atas dua model yaitu demokrasi kompetitif dan demokrasi konsensus. Sistem demokrasi kompetitif menghendaki permasalahan dalam masyarakat diputuskan berdasarkan suara terbanyak dan terhadap masalah yang penting akan dilakukan referendum. Demokrasi kompetitif ini akan menghasilkan oposisi bagi pihak yang kalah suara. Sedangkan sistem demokrasi konsensus menghendaki keputusan yang diambil harus mengakomodasikan aspirasi semua kepentingan yang ada agar diperoleh keselarasan di antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Suatu demokrasi konsensus cenderung menghasilkan suatu keputusan yang win-win solution.
Berbagai konsep demokrasi yang dikemukakan di atas akan dijadikan landasan berpikir untuk pembahasan mengenai reformasi demokrasi di Indonesia. Konsep-konsep tersebut akan dijadikan pembanding terhadap konsep negara demokrasi yang dianut di Indonesia hingga alasan-alasan mendasar yang memunculkan pemikiran tentang perlunya reformasi demokrasi. Selain itu konsep-konsep dasar tersebut juga akan menjadi instrumen yang penting dalam menilai sejauh mana penerapan konsep demokrasi di Indonesia.
                       

QUO VADIS REFORMASI DEMOKRASI INDONESIA

Cita-cita untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis sudah ada sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang juga telah dimuat dalam UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Berbagai hak dan kewajiban warga negara serta pemerintah dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis telah tertuang di dalam pasal-pasal UUD tersebut.  
Sekalipun demikian, dalam kenyataannya cita-cita tersebut belum dapat terwujud secara baik karena implementasi yang keliru serta multi tafsir atas konsep demokrasi yang ideal bagi Bangsa Indonesia. Muncullah berbagai konsep demokrasi yang pernah diterapkan di Indonesia seperti demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin dan yang terakhir adalah demokrasi Pancasila yang muncul di era Orde Baru.
Berbagai wacana tentang model demokrasi yang cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang plural namun terikat dalam satu semboyan Bhineka Tunggal Ika mulai banyak dikembangkan, disesuaikan juga dengan pengalaman historis, perkembangan ekonomi, serta interaksi dan  kecenderungan global masyarakatnya. Wacana-wacana tersebut mulai berkembang sejak runtuhnya rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden Soeharto. Indonesia memasuki satu babak baru pemerintahan yang lebih dikenal dengan masa reformasi.
Di era reformasi sekarang ini, kita  mendambakan suatu masyarakat yang damai, aman, dan sejahtera. Untuk mencapai masyarakat seperti itu, setiap warga negara harus berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Oleh karena itu, setiap warga negara  dituntut memiliki kemampuan, kreativitas dan keterbukaan. Dalam masyarakat seperti ini, setiap warga masyarakat harus terbebas dari rasa takut, bebas berkreasi untuk menyumbangkan kemampuannya kepada negara. Masyarakat seperti inilah yang sering disebut sebagai masyarakat madani, suatu masyarakat yang aman, adil, damai dan sejahtera. Jadi masyarakat yang demokratis merupakan syarat penting terciptanya masyarakat madani (civil society). Demikianlah apa yang dikatakan oleh Dadan Wildan, seorang Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara.
Sebagai prasyarat terciptanya masyarakat madani berarti demokrasi sebenarnya bukan tujuan dari reformasi melainkan alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Melalui sistem pemerintahan yang demokratis, masyarakat diikutsertakan secara aktif dalam upaya mencapai kesejahteraan mereka sendiri.
                Reformasi demokrasi memang belum berakhir sebab kita masih terus mencari bentuk yang tepat sesuai dengan kondisi masa kini. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada penilaian yang positip maupun negatip dalam proses pencarian model ini. Beberapa angka statistik telah menunjukkan indikasi perbaikan kondisi sosial ekonomi. Namun tetap mulai terdapat banyak suara yang  menilai bahwa pencapaian tujuan nasional terutama di bidang pertumbuhan dan keadilan ekonomi sosial berjalan sangat lambat dalam era reformasi dan mulai mempertanyakan efektifitas demokrasi. Mulai terdapat banyak suara yang baik secara eksplisit maupun implisit menghimbau diputar kembalinya roda proses reformasi dengan argumentasi bahwa stabilitas politik dan ekonomi untuk negara semajemuk Indonesia hanya dapat dicapai secara efektif melalui sistem pemerintahan otokrasi yang represif. Bahkan beberapa suara di pemerintahan saat ini secara terbuka mengeluhkan bahwa demokrasi ternyata tidak meningkatkan daya saing nasional dalam menarik investasi asing. 
Hal senada juga disampaikan oleh Irwan Prayitno. Menurut dia, demokrasi di Indonesia masih berada pada masa transisi dimana berbagai prestasi sudah muncul dan diiringi ”prestasi” yang lain. Sebagai contoh, munculnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dirasakan mampu menimbulkan efek jera para koruptor dengan dipenjarakannya beberapa koruptor. Namun di sisi lain, para pengemplang dana bantuan likuiditas bank Indonesia (BLBI) mendapat pengampunan yang tidak sepadan dengan ”dosa-dosa” mereka terhadap perekonomian.
Agar dapat mengarahkan demokrasi di Indonesia kepada terciptanya civil society, maka dibutuhkan suatu kajian ilmiah yang memberikan pedoman kepada semua pelaku demokrasi agar tidak keluar dari agenda yang sudah ditetapkan. Pedoman ini berguna juga dalam rangka menilai sejauh mana tingkat keberhasilan reformasi demokrasi di Indonesia sehingga kita tidak salah mengarahkan reformasi ini ke dalam suatu lingkaran setan yang justru akan menghambat tercapainya cita-cita bangsa.  Berikut ini akan dikemukakan secara ringkas berbagai agenda reformasi yang dikemukakan oleh Forum untuk Refomasi Demokratis  yang bergabung dalam International IDEA, sebagai salah satu bahan kajian dalam menilai dan memahami reformasi demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia.                                                                             

1. Konstitusionalisme dan Aturan Hukum

Konstitusi yang disahkan pada suatu masa bisa jadi kehilangan relevansinya pada masa yang lain, dan masa semacam itu telah tiba bagi Indonesia dan Undang-Undang Dasar (UUD) yang disahkan pada 1945. UUD ini, yang semula dirancang sebagai dokumen sementara, telah dianggap sebagai titik rujukan bagi penguasa otoriter yang mengekang negeri ini selama lebih dari tiga dasawarsa.  Konstitusi juga menjamin sistem politik dan hukum, hubungan antara warga negara dan negara, dan mengatur kekuasaan dan hubungan antara kepresidenan, para pembuat undang-undang, dan para penegak hukum. Diakui bahwa pembangunan demokrasi adalah upaya yang berlangsung lambat, bahkan seumur hidup, namun beberapa tujuan obyektif dapat dicapai dalam waktu yang tepat untuk menunjang reformasi demokratis. Reformasi konstitusional dan reformasi hukum terdapat di antara tujuan-tujuan strategis ini.

2. Otonomi Daerah

Wilayah-wilayah di luar Jawa, khususnya wilayah-wilayah bergejolak yang kaya akan sumber-sumber alam, telah menuntut kontrol lokal yang lebih besar atas urusan-urusan mereka sendiri. Hal ini membangkitkan ketakutan di pusat bahwa, jika tidak diberi otonomi, Indonesia akan pecah di bawah tekanan gerakan-gerakan separatisme. Pada 1999, DPR menyetujui dua undang-undang tentang desentralisasi. UU No. 22 mencakup desentralisasi administratif dan UU No. 25 membahas administrasi keuangan. Walaupun hal ini menunjukkan kesungguhan pemerintah pusat tentang desentralisasi, masih banyak hal yang tidak jelas mengenai cakupan dan implikasi dari pelaksanaannya. Supaya desentralisasi dapat terwujud, kedua prosesnya harus mengandung kebijakan yang terinci dengan jelas untuk menjamin Undang-Undang (UU) itu mudah dilaksanakan, menjaga demokratisannya, dan menjamin pendanaan yang cukup untuk menyokong penerapannya. Harus ada juga beragam mekanisme untuk mencegah meluasnya potensi-potensi konflik inter dan intra-regional.

3. Hubungan Sipil-Militer

Di bawah rezim Soeharto, angkatan bersenjata Republik Indonesia, atau Tentara Nasional Indonesia (TNI), mendominasi semua tingkatan kenegaraan dan kemasyarakatan dengan menempatkan diri sebagai “pengawal bangsa”. Kini mereka menemukan diri mereka dalam situasi yang sulit, berhadapan dengan lingkungan politik yang baru dengan citra yang tercoreng, karena telah menjadi pemain utama yang mempertahankan rezim Soeharto. Strategi jangka panjang harus menyertakan dialog sehingga peranan militer dapat didefinisikan dalam demokrasi yang baru muncul di Indonesia. Tujuan utamanya adalah mengembalikan tentara ke barak. Beberapa cara dapat ditempuh agar tujuan ini dapat tercapai. Termasuk di antaranya menyingkirkan basis konstitusional dan hukum yang memungkinkan keterlibatan TNI dalam setiap cabang pemerintahan;
menegakkan kontrol sipil sepenuhnya atas fungsi-fungsi angkatan bersenjata, termasuk promosi jabatan, pengumpulan data intelijen dan pembuatan kebijakan pertahanan; mengurangi atau menghapuskan struktur teritorial TNI; dan menarik militer dari bisnis swasta.

4. Masyarakat Sipil

Untuk membangun pemerintahan yang demokratis sangatlah penting ada jaminan satu akses yang memungkinkan keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat dalam proses-proses pembuatan keputusan. Oleh karena itu sangatlah perlu untuk memperbaiki kapasitas masyarakat sipil dengan memperbaiki peran, fungsi, dan posisi organisasi-organisasi masyarakat sipil di Indonesia.

5. Pembangunan Sosial-Ekonomi

Reformasi terhadap tata pemerintahan telah dipandang sebagai modal untuk menyelesaikan persoalan pemulihan ekonomi dan pembangunan sosial-ekonomi. Hal ini menuntut suatu penggeseran beberapa aspek tata pemerintahan yang tadinya murni ekonomis, menuju satu agenda yang mempertimbangkan langkah-langkah ekonomi dan politik secara simultan. Reformasi sosial-ekonomi menuntut disertakannya langkah-langkah pemberantasan korupsi, penciptaan lembaga-lembaga yang otonom termasuk pelayanan hukum yang berakar dalam budaya penegakkan hukum (rule of law), reformasi atas pelayanan sipil, dan desentralisasi atas otoritas administratif. Reformasi ini perlu merangkul aspek-aspek yang tepat untuk sebuah perekonomian yang berkelanjutan. Sangat penting pula untuk menyusun reformasi secara strategis, menetapkan prioritas-prioritas yang bisa ditangani, sambil menghindari terlalu melambungnya harapan yang mengandung persyaratan-persyaratan yang bersifat saling meniadakan.

6. Gender

Kaum perempuan Indonesia sangat kecil tingkat keterwakilannya dalam berbagai tingkat pengambilan keputusan dan pengaruh, dan aksesnya tidak setara terhadap sumberdaya dan fasilitas yang memungkinkan mereka untuk memiliki dan memperoleh jaminan atas hak-hak dan kesempatan yang setara. Tujuan dari agenda reformasi yang menyangkut gender ini adalah untuk menjamin bahwa ketimpangan yang sekarang ada dapat dikoreksi dan persoalan-persoalan perempuan dikeluarkan dari tempatnya sekarang yang berada di luar proses pembuatan keputusan dan ditempatkan di latar depan pada setiap tingkatan
pemerintahan dan kemasyarakatan.

7. Pluralisme Agama

Dengan berakhirnya rezim Soeharto, organisasi-organisasi keagamaan meletup menjadi euforia aktivitas politik dengan munculnya partai-partai berlatar belakang agama. Selain itu konflik serius muncul di berbagai tempat seperti di Kepulauan Maluku, dan di beberapa tempat di Sulawesi dan telah disebut-sebut sebagai konflik agama. Dengan mempertimbangkan realitas konflik keagamaan dan kekerasan yang menyertainya di berbagai tempat di Indonesia, tiga strategi dimunculkan di hadapan kekuatan-kekuatan demokratis di Indonesia, baik yang nasional maupun yang internasional, untuk membangkitkan pertumbuhan ideologi
pluralisme agama. Ketiganya adalah: dialog antar-kepercayaan dan antar-masyarakat, aktivitas partisipatif dan pengembangan budaya nasional yang berdasarkan pluralisme agama. 


KESIMPULAN
Demokrasi pada dasarnya menghendaki adanya partisipasi serta ruang publik yang terbuka bagi berkembangnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Reformasi Demokrasi yang dibangun selama ini di Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang berarti sekalipun masih ada kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi sebenarnya sangat dinamis dan akan terus berkembang dari waktu ke waktu.
Supaya reformasi dapat dinilai tingkat keberhasilannya serta memiliki tujuan yang jelas maka perlu adanya instrumen-instrumen yang dijadikan pedoman penyelenggaraan reformasi demokrasi di Indonesia. Instrumen-instrumen tersebut merupakan agenda reformasi yang penting untuk dipedomani yaitu konstitusionalisme dan aturan hukum, otonomi daerah, hubungan sipil-militer, masyarakat sipil, pembangunan sosial ekonomi, gender dan pluralisme agama.
Kiranya tulisan sederhana ini dapat membuka wawasan berpikir kita tentang konsep demokrasi serta jalannya agenda reformasi demokrasi di Indonesia, agar kita juga dapat terlibat aktif dalam proses pendewasaan demokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

J.H. Rapar, Filsafat Politik, Plato, Aristoteles, Agustinus, Machiavelli, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Dr. Munir Fuady,SH,MH,LL.M., Konsep Negara Demokrasi, Bandung, 
PT. Refika Aditama, 2010
Forum untuk Reformasi Demokratis (International IDEA),
Penilaian Demokratisasi di Indonesia,Pengembangan Kapasitas Seri 8, Ameepro Graphic Design and Printing,2000

http://www.setneg.go.id/index.php

http://anneahira.com/prinsip-prinsip-budaya-demokrasi.htm
http://nasional.kompas.com

http://www.kabarindonesia.com







Kamis, 22 Maret 2012

REFORMASI BIROKRASI MENUJU GOOD GOVERNANCE

PENDAHULUAN


Keinginan mewujudkan good governance dalam kehidupan pemerintahan telah lama dinyatakan oleh para pejabat Pemerintah pusat, dan Kabupaten/Kota. Presiden SBY bertekad menjadikan good governance sebagai bagian terpenting dari program 100 harinya dilantik sebagai Presiden dengan memberikan instruksi kepada semua menteri untuk memberantas KKN dan mewujudkan pemerintah yang bersih. Para Walikota/Bupati serta sejumlah kalangan di luar pemerintahan juga banyak yang menyatakan ingin mewujudkan good governance sebagai praktek tata-pemerintahan sehari-hari di lingkungan pemerintah daerah.
Sementara itu, dalam proses demokratisasi, good governance sering mengilhami para aktivis untuk mewujudkan pemerintahan yang memberikan ruang partisipasi yang luas bagi aktor dan lembaga di luar pemerintah sehingga ada pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang dan saling melengkapi antara negara, masyarakat sipil dan mekanisme pasar agar memungkinkan adanya check and balance dan juga menghasilkan sinergi yang baik antar ketiganya dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.
Dalam mewujudkan good governance, setiap unsur baik pemerintah, pihak swasta maupun masayarakat sipil perlu memahami terlebih dahulu pemikiran mendasar tentang konsep birokrasi dan juga konsep good governance agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi dualisme visi yang akan memperkeruh jalannya reformasi birokrasi menuju good governance di Indonesia. Hal inilah yang menjadi pemikiran mendasar bagi penulisan ini.

KONSEP BIROKRASI

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirarki dan jenjang jabatan. Dalam definisinya yang lain, birokrasi adalah cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan yang banyak liku-likunya. (Poerwadarminta,1987:144).
Bagi Max Weber, birokrasi adalah salah satu bentuk organisasi belaka. Penerapan birokrasi senantiasa dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai. Pemikiran Weber ini berangkat dari cara pandang masyarakat yang melihat warna negatif pada birokrasi dalam perbandingannya dengan konsep aslinya.(Pandji Santosa,2008:2)
Pendapat lain dikemukakan oleh Fritz Morstein Marx. Menurutnya, birokrasi merupakan tipe organisasi yang dipergunakan pemerintah moderen untuk melaksanakan tugas-tugasnya yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah.(Pandji Santosa,2008:2)
Berangkat dari pemikiran di atas yang melihat birokrasi sebagai sebuah organisasi, Ferrel Heady dengan mengutip rumusan Thomson mengatakan bahwa organisasi birokratik disusun sebagai satu hierarki otorita yang begitu terperinci, yang mengatasi pembagian kerja dan juga telah amat diperinci.(Pandji Santosa,2008:2)
Peter A. Blau dan Charles H. Page memformulasikan birokrasi sebagai sebuah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinasikan secara sistematik dari pekerjaan banyak orang. Cara pandang keduanya menggambarkan bahwa birokrasi tidak hanya ada pada organisasi pemerintah tetapi juga pada organisasi-organisasi niaga moderen yang dihasilkan dari proses rasionalisasi.(Pandji Santosa,2008:2)
Dennis Wrong memperinci lagi cara pandang Max Weber tentang birokrasi dengan mencatat bahwa birokrasi organisasi yang diangkat sepenuhnya untuk mencapai satu tujuan tertentu diorganisasikan secara hirarkis dengan jalinan komando yang tegas dari atas ke bawah, menciptakan pekerjaan jelas yang menugasi setiap orang dengan tugas yang spesifik, peraturan-peraturan umum dan ketentuan-ketentuan yang menuntun semua sikap dan usaha untuk mencapai tujuan, karyawan dipilih terutama berdasarkan kompetensi dan keterlatihannya, serta kerja dalam birokrasi cenderung merupakan pekerjaan sepanjang hidup.(Pandji Santosa,2008:2-3)
Pengertian birokrasi lainnya yang dikutip dari wikipedia versi Bahasa Inggris mengartikan birokrasi sebagai “Kumpulan struktur organisasi, prosedur, protokol, dan peraturan-peraturan untuk mengelola kegiatan, biasanya pada organisasi skala besar dan pemerintahan”. Definisi ini melihat birokrasi tidak diartikan sempit sebagai “birokrat” atau “pegawai”, saja tetapi dilihat sebagai suatu sistem yang ada dalam organisasi besar dan pemerintahan dimana bagian-bagiannya memiliki keterkaitan erat dalam proses kegiatannya mencapai tujuan yang diharapkan.
Banyaknya teori tentang birokrasi mungkin akan mengaburkan pembaca dalam memahami konsep birokrasi. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Ferrel Heady bahwa kekaburan dalam teori birokrasi berasal dari perbedaan pendekatan dalam menggambarkan karakteristik birokrasi dan kegagalan kita untuk menangkap adanya perbedaan cara pendekatan itu. Headdy menunjukkan tiga macam pendekatan dalam merumuskan birokrasi. Pertama, pendekatan struktural yang menganggap birokrasi sebagai satu susunan yang terdiri atas hierarki dan pembagian kerja yang amat diperinci. Kedua, pendekatan behavioral (perilaku) seperti perilaku positip yang lekat dengan pencapaian tujuan organisasi birokratik (Fredrich), disfungsional-patologis dalam perilaku birokrat (Merton), dan juga ketidaktepatan adaptasi yang berhubungan dengan pengembangan aspek-aspek kemanusiaan di dalam organisasi yang dikemukakan oleh Michael Crozier. Ketiga, pendekatan pencapaian tujuan; birokrasi dilihat sebagai suatu organisasi yang memaksimalkan efisiensi dalam administrasi atau satu metoda pelembagaan perilaku sosial yang terorganisasi dalam kerangka usaha mencapai efisiensi administrasi. (Pandji Santosa,2008:4)

KONSEP GOOD GOVERNANCE

Pemikiran tentang good governance muncul dalam Konsensus Washington pada awal tahun 1900-an dalam pertemuan negara-negara donor yang dipromotori oleh Bank Dunia. Dalam pertemuan tersebut terungkap bahwa banyak bantuan asing bocor akibat praktik bad governance seperti pemerintahan yang tidak akuntabel, tidak transparan,penyalahgunaan wewenang, korupsi dan lain-lain. Oleh karena itu disepakati bahwa penerima bantuan harus diberi persyaratan yaitu kesediaan untuk mempraktikkan good governance.
Pierre Landell-Mills dan Ismael Seregeldin mendefinisikan good governance sebagai penggunaan otoritas politik dan kekuasaan untuk mengelola sumber daya demi pembangunan sosial ekonomi. Sedangkan Robert Charlick mengartikan good governance sebagai pengelolaan segala macam urusan publik secara efektif melalui pembuatan peraturan dan/atau kebijakan yang absah demi untuk mempromosikan nilai-nilai kemasyarakatan. (Pandji Santosa,2008:130)
Ada tiga pilar governance yaitu pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Good governance sebagai paradigma baru administrasi publik menekankan adanya kolaborasi dalam kesetaraan dan keseimbangan antar pemerintah, sektor swasta dan masyarakat madani (civil society). Dengan demikian maka good governance juga dapat diartikan sebagai suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini disampaikan juga oleh Bob Sugeng Hadiwinata bahwa asumsi dasar good governance haruslah menciptakan sinergi antar sektor pemerintah (menyediakan persangkat aturan dan kebijakan), sektor bisnis(menggerakkan roda perekonomian), dan sektor civil society (aktifitas swadaya guna mengembangkan produktifitas ekonomi, efektifitas dan efisiensi) (Pandji Santosa,2008:131).
Secara umum ada beberapa karakteristik yang melekat dalam praktek good governance. Pertama, praktek good governance harus memberi ruang kepada pihak di luar pemerintah untuk berperan secara optimal sehingga memungkinkan adanya sinergi di antara mereka. Kedua, dalam praktek good governance terkandung nilai-nilai yang membuat pemerintah maupun swasta dapat lebih efektif bekerja dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Nilai-nilai seperti efisiensi, keadilan, dan daya tanggap menjadi nilai yang penting. Ketiga, praktek good governance adalah praktek pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi serta berorientasi pada kepentingan publik. Karena itu praktek pemerintahan dinilai baik jika mampu mewujudkan transparansi, penegakan hukum, dan akuntabilitas publik.
Beberapa prinsip dasar sebagai syarat terciptanya good governance adalah sebagai berikut: (Pandji Santosa,2008:131)
1. Partisipatoris: Setiap pembuatan peraturan dan/atau kebijakan selalu melibatkan unsur masyarakat (melalui wakil-wakilnya).
2. Rule of law: Harus ada perangkat hukum yang menindak para pelanggar, menjamin perlindungan HAM, tidak memihak, berlaku pada semua warga.
3. Transparansi: Adanya ruang kebebasan untuk memperoleh informasi publik bagi warga yang membutuhkan (diatur oleh undang-undang). Ada ketegasan antara rahasia negara dengan informasi yang terbuka untuk publik.
4. Responsiveness: Lembaga publik harus mampu merespon kebutuhan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan basic needs(kebutuhan dasar) dan HAM (hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya)
5. Konsensus: Jika ada perbedaan kepentingan yang mendasar di dalam masyarakat, penyelesaian harus mengutamakan cara dialog/musyawarah menjadi konsensus.
6. Persamaan Hak: Pemerintah harus menjamin bahwa semua pihak, tanpa terkecuali dilibatkan di dalam proses politik, tanpa ada satu pihakpun yang dikesampingkan.
7. Efektifitas dan Efisiensi: Pemerintah harus efektif (absah) dan efisien dalam memproduksi output berupa aturan, kebijakan, pengelolaan keuangan negara, dan lain-lain.
8. Akuntabilitas: Suatu perwujudan kewajiban dari suatu instansi pemerintahan untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misinya. Implementasi akuntabilitas dilakukan melalui pendekatan strategis, yang akan mengakomodasi perubahan-perubahan cepat yang terjdi pada organisasi dan secepatnya menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut, seperti antisipasi terhadap tuntutan pihak-pihak yang berkepentingan.
Good governance sebagai sebuah gerakan juga didorong oleh kepentingan berbagai lembaga donor dan keuangan internasional untuk memperkuat institusi yang ada di Negara dunia ketiga dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang dibiayai oleh beberapa lembaga itu. Mereka menilai bahwa, kegagalan-kegagalan proyek yang mereka biayai merupakan akibat lemahnya institusi pelaksana di Negara-negara dunia ketiga yang di sebabkan oleh bad governance seperti tidak transparan, rendahnya partisipasi warga, rendahnya daya tanggap terhadap kebutuhan warga, diskriminasi terhadap stake holder yang berbeda dan inefesiensi. Karena itu, lembaga keuangan internasional dan donor sering mengkaitkan pembiayaan proyek-proyek mereka dengan kondisi atau cirri-ciri good governance dari lembaga pelaksana. Dengan banyaknya perspektif yang berbeda dalam menjelaskan konsep good governance maka tidak mengherankan jika kemudian terdapat banyak pemahaman yang berbeda-beda mengenai good governance.

REFORMASI BIROKRASI KE ARAH GOOD GOVERNANCE

Sektor layanan publik di Indonesia pada saat ini masih sangat memprihatinkan. Banyak kekurangan yang terdapat dalam sektor ini dan terkadang upaya peningkatan dan realisasi nilai-nilai good governance masih jauh dari yang diharapkan. Tentu bukan pekerjaan yang mudah untuk mewujudkan pemerintahan serta pelayanan publik yang baik. Tradisi pemerintahan yang ada sekarang ini masih sangat jauh dari ciri-ciri yang dijelaskan pada bagian terdahulu. Pembagian peran pemerintah dengan non-pemerintah sering masih sangat timpang dan kurang proporsional sehingga sinergi belum optimal. Lebih tragis lagi pembagian peran tersebut justru membuka peluang baru bagi munculnya praktek-praktek KKN dengan modus yang baru pula. Kemampuan pemerintah melaksanakan efektifitas dan efisiensi pelayanan birokrasi, keadilan dan sikap responsif terhadap kebutuhan masyarakat masih sangat lemah. Praktek KKN masih terus terjadi dalam kehidupan semua lembaga pemerintahan, baik yang berada di pusat maupun di daerah.
Reformasi di bidang pelayanan publik yang dalam ilmu administrasi publik dikenal dengan konsep New Public Service menjadi titik srategis untuk membangun good governance. Pembangunan praktek penyelenggaraan pelayanan melalui reformasi pelayanan public benar-benar diyakini dapat membawa pemerintah Indonesia menuju pada praktek good governance. Reformasi pelayanan public di Indonesia dapat dijadikan leverage yang akan memiliki dampak yang luas terhadap perubahan aspek-aspek kehidupan pemerintahan lainnya. Perubahan pada praktek penyelenggaraan pelayanan public menjadi lokomotif bagi upaya mewujudkan good governance di Indonesia.
Keberhasilan dalam mewujudkan praktek good governance dalam ranah pelayanan public mampu membangkitkan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat luas bahwa membangun good governance bukan hanya mitos tetapi dapat menjadi suatu kenyataan. Kepercayaan diri sangat penting dalam kondisi kejiwaan bangsa seperti sekarang ini, mengingat kegagalan-kegagalan program reformasi pemerintahan selama ini telah menimbulkan sikap apatisme warganya dalam penyelenggaraan pemerintahan. Masyarakat merasa pesimis bahwa pemerintahan saat ini benar-benar dapat mewujudkan Indonesia baru yang bercirikan praktek good governance. Meluasnya praktek bad governance di banyak daerah seiring dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah sering meruntuhkan semangat pembaharuan yang dimiliki oleh sebagian warga bangsa, dan sebaliknya, semakin menumbuhkan pesimisme dan apatisme di kalangan mereka.
Sejak terjadinya krisis moneter yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1990 an, masalah corporate governance mendapatkan perhatian yang cukup besar dari masyarakat dan pemerintah. Hal ini karena adanya anggapan bahwa masalah-masalah yang dihadapi oleh perusahaan yang ada di Indonesia, yang secara lansung juga menyebabkan terjadinya krisis moneter tersebut, adalah karena kurang diterapkannya prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) di dalam banyak perusahaan di Indonesia.
Selain itu tuntutan atas adanya penerapan good governance itu juga telah merupakan salah satu isu untuk menarik minat masuknya modal asing ke dalam pasar modal Indonesia. Itu berarti bahwa makin baiknya penerapan prinsip-prinsip good governance merupakan indikasi adanya perlakuan yang baik terhadap pemodal. Salah satu tema utama good governance adalah masalah keterbukaan. Good corporate governance merupakan konsep yang menekankan pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar, akurat, dan tepat waktu serta kewajiban perusahaan untuk mengungkapkan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, dan transparan mengenai semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder. Prinsip corporate governance diharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan, yang pada akhirnya meningkatkan kepercayaan pemakai laporan keuangan, termasuk investor .
Tuntutan perubahan pelayanan publik tidak hanya ada di tingkat pusat tetapi sudah lebih banyak terjadi di tingkat daerah dengan adanya desentralisasi pemerintahan. Para kepala daerah dituntut untuk merencanakan kegiatan-kegiatan yang kreatif, inovatif, perintisan, berorientasi pelanggan serta berorientasi pada pelayanan dan pemberdayaan. Itu berarti para kepala daerah juga harus memiliki perilaku kepemimpinan yang standar yang mencakup penyebaran informasi, perencanaan, pengorganisasian, pemecahan masalah, perumusan peranan dan tujuan, monitoring, memberi motivasi, mencegah konflik dan mengembangkan kelompok. Berbagai ciri dasar ini akan membantu terselenggaranya pemerintahan yang baik di tingkat daerah agar tujuan perbaikan dapat dinilai secara menyeluruh.
Reformasi birokrasi di Indonesia sebagaimana sudah dijelaskan di atas diharapkan dapat berjalan secara baik melalui kerja sama yang saling menguntungkan antara ketiga pilar pembangunan yaitu, pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat sipil. Kerja sama ini harus pula dibarengi oleh komitmen bersama untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur melalui cara-cara yang sesuai dengan karakter Bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta menghormati keberagaman budaya dan adat-istiadat. Negara ini ada karena rakyatnya dan akan tetap ada bila rakyatnya punya komitmen untuk tetap mengadakan negara ini. Oleh karena itu, marilah berkomitmen melakukan perubahan berdasarkan satu visi bersama mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur sesuai cita-cita luhur Bangsa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1987
Dr. Pandji Santosa,M.Si, Administrasi Publik, Teori dan Aplikasi Good Governance, Refika Aditama, Bandung, 2008